K3 dalam Kesehatan Masyarakat

Peran K3 dalam Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat
Ilustrasi foto: safetynet.asia
Bagikan

Peran K3 dalam Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat

Oleh: Muhyidin, SKM

Dalam disiplin ilmu kesehatan masyarakat, sudah lama dikenal konsep lima tingkat pencegahan penyakit (five level of prevention) yang ditulis oleh Lavel and Clark pada tahun 1960-an. Konsep ini sejalan dengan konsep manajemen risiko dan diterapkan juga dalam ilmu kesehatan kerja yang merupakan bagian dari ilmu kesehatan masyarakat. Kelima program tersebut  harus dilakukan secara komprehensif. Hal ini sejalan dengan hakikat kesehatan kerja yang mencakup 2 hal yaitu mencapai derajat kesehatan pekerja yang setinggi-tingginya dan untuk meningkatkan produksi yang berlandaskan kepada meningkatnya efisiensi dan produktivitas (Sumakmur, 1991).

Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, jumlah kasus kecelakaan kerja (KK) dari tahun 2016 hingga saat ini mengalami peningkatan. Tahun 2016, jumlah KK sebanyak 101.368 kasus dengan jumlah klaim mencapai Rp 833.44 miliar. Tahun 2017 sebanyak 123.041 kasus KK dengan total klaim Rp 971,62 miliar. Kemudian, di tahun 2018 sebanyak 173.415 kasus KK dengan total klaim Rp 1,22 triliun. Hingga akhir September 2019 total KK sebanyak 130.923 kasus dengan klaim Rp 1,09 triliun. Per akhir September 2019, sektor yang berkontribusi relatif besar terjadinya KK adalah industri pengolahan. Yaitu sebanyak 50.358 kasus, perdagangan besar 9.559 kasus, transportasi dan pergudangan 2.694 kasus.

Dengan diterapkannya program kesehatan lingkungan diharapkan tidak adanya penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja.

Penerapan dalam pencegahan penyakit akibat kerja, yaitu sebagai berikut:

  1. Promosi Kesehatan

Promosi kesehatan di tempat kerja mencakup pendidikan kesehatan, pemeriksaan, dan atau intervensi yang bertujuan mengubah perilaku pegagawai menuju arah kesehatan dan mengurangi risiko terkait. Beberapa contoh program dalam tahap ini yaitu penyediaan makanan yang sehat dan bergizi, perbaikan higiene dan sanitasi lingkungan seperti penyediaan air bersih, pembuangan sampah pada tempatnya dan pengadaan program olahraga & rekreasi.

  1. Proteksi spesifik

Program ini diberikan kepada orang-orang atau kelompok yang berisiko terkena penyakit tertentu. Contoh program pada tahap ini yaitu pemberian vaksinasi untuk mencegah penyakit tertentu kepada pegawai dan keluarga, penggunaan masker dan sarung tangan untuk tenaga kesehatan, penyuluhan, dan  isolasi penderita penyakit menular.

  1. Diagnosis dini dan pengobatan segera

Diagnosis ini ditujukan kepada pekerja yang sakit agar dapat teridentifikasi secepatnya sehingga bisa diberikan pengobatan yang tepat agar penyakitnya tidak bertambah parah. Semakin dini deteksi dan pengobatan segera dilakukan, maka peluang untuk sembuh menjadi semakin besar. Contohnya yaitu pemeriksaan pap smear untuk mendeteksi dini penyakit kanker dan pemeriksaan audiometri pekerja untuk mendeteksi adanya penurunan kualitas pendengaran pekerja yang bekerja di tempat bising.

  1. Pembatasan kecacatan

Bagi pekerja yang sakit, maka perlu melanjutkan pengobatannya hingga tuntas. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna akan mengakibatkan penderita menjadi cacat atau mengalami ketidakmampuan. Salah satu cara mencegah kecacatan yaitu dengan meminum obat yang diberikan dokter hingga tuntas. Contoh lainnya yaitu saat terjadi kecelakaan, maka respon tanggap darurat (kebakaran, serangan hewan liar, gempa bumi, jatuh dari ketinggian, dll) secara sigap, cepat dan tepat adalah salah satu cara untuk pembatasan kecacatan.

  1. Pemulihan

Upaya pemulihan (rehabilitatif) bertujuan agar pasien lebih cepat pulih dan dapat melakukan kegiatan sehari-hari seperti sediakala. Proses rehabilitasi terdiri atas:

  • Rehabilitasi fisik: bertujuan agar penderita mendapatkan perbaikan fisik, misalnya setelah kecelakaan yang menyebabkan patah kaki maka perlu dilakukan rehabilitasi fisik agar bisa pulih kembali.
  • Rehabilitasi mental: bertujuan agar penderita dapat menyesuaikan diri dalam hubungan sosialnya. Rehabilitasi ini penting untuk membimbing kejiwaan pasien sebelum kembali ke masyarakat.
  • Rehabilitasi estetik: bertujuan untuk mengembalikan rasa keindahan walaupun fungsi alat tubuh tersebut tidak dapat dikembalikan, misalnya penggunaan mata.

(Baca juga: Manajemen Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja / K3)

Contoh Problem K3 dalam Kesehatan Masyarakat dan Solusinya

Ergonomi dan Kesehatan Masyarakat

Ergonomi berasal dari Bahasa Yunani yaitu “Ergon” yang artinya “Kerja” dan “Nomos” yang artinya “Peraturan/Hukum”. Kalau secara istilah yaitu penyesuaian pekerjaan atau tugas terhadap kapabilitis pekerja. Jadi titik tekannya adalah alat atau pekerjaan tersebut harus sesuai dengan karakteristik manusia atau pekerjanya agar dapat bekerja dengan nyaman. Definisi ergonomi menurut Internasional Ergonomic Association yaitu studi tentang aspek – aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, rekayasa teknik, manajemen dan desain.

Jadi tujuan ergonomi yaitu agar dapat melakukan pekerjaan dengan aman, selamat, efisien, mudah penggunaan dan produktif. Pekerjaan yang tidak ergonomis akan menimbulkan gangguan trauma kumulatif atau Cumulative Trauma Disorder (CTD). The Bureau of Labor Statistik (BLS) melaporkan bahwa CTD tercatat hampir 60% kasus penyakit terkait pekerjaan di tahun 1990 dan 56% cidera di tempat kerja karena trauma yang berulang (US Department of Labor, 1991). Bahaya ergonomic yang harus ditanggung cukup besar, mulai dari biaya medis kompensasi pekerja, biaya disabilitas sementara, pelatihan karyawan baru, penurunan produktivitas, waktu investigasi, biaya pengacara dan litigasi. Kasus pertama terjadi terhadap Karyawan Boeing sebesar US$ 1,2 juta setelah Karyawan tsb kehilangan kegunaan kedua tangannya karena trauma berulang (USA Today, 24 Agustus 1992).

Perancangan produk fasilitas kerja melalui data antropometri telah diatur dalam Permenaker No.5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja. Penggunaan data antropometri tsb dapat diaplikasikan secara luas antara lain dalam hal:

1) Perancangan area kerja (work station, mobile, interior, dll).

2) Perancangan peralatan kerja seperti mesin, peralatan, perkakas dan sebagainya.

3) Perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi, meja , dan sebagainya.

4) Perancangan lingkungan kerja fisik

Secara umum sekurang-kurangnya 90% – 95 % dari populasi yang menjadi target utama malam kelompok pemakai suatu produk haruslah dapat menggunakan produk tsb. Misalkan saat bekerja di kantor, maka kursi ergonomis dapat menyesuaikan dengan kondisi pekerja. Kursi ergonomis tsb harus bisa digunakan oleh orang yang pendek (dengan cara diturunkan posisi kursi dan sandaran lengannya) dan bisa pula digunakan oleh orang yang tinggi / jangkung (dengan cara dinaikkan posisi kursi dan sandaran lengannya). Bisa pula digunakan oleh orang yang gemuk dengan cara dilebarkan sandaran lengan dan dimajukan alas kursinya bisa pula digunakan oleh orang yang lebih kurus atau tubuh ideal.

Solusi Terhadap Masalah K3

Contoh masalah K3 di atas berkaitan juga dengan masalah kesehatan masyarakat. Solusi yang dapat dilakukan terhadap masalah-masalah tersebut yaitu dengan pendekatan hierarcy of control hazard. Tahapan dasar tentang pengendalian resiko dan mengurangi dampak yang dapat ditimbulkan oleh peralatan dan atau pekerjaan yang bertujuan untuk menghilangkan atau menekan resiko sampai ke tingkat yang dapat diterima atau ditoleransi saat menggunakan peralatan atau melaksanakan suatu pekerjaan.

Hierarchy of Control di Tempat Kerja

Hierarchy of Control di Tempat Kerja

Teori ini digunakan agar kita mengetahui secara keseluruhan tindakan yang diambil ada di tahap mana.

  1. Eliminasi bahaya

Tindakan pengendalian yang paling efektif melibatkan penghapusan bahaya dan risiko yang terkait. Cara terbaik untuk menghilangkan bahaya adalah dengan tidak memasukkan bahaya tersebut sejak awal. Pada tahap ini, bahaya diupayakan untuk dieliminasi atau dihilangkan. Menghilangkan sumber bahaya dilakukan dengan meniadakan atau menghilangkan peralatan atau pekerjaan yang menjadi sumber dari bahaya. Cara ini adalah cara yang sangat aman karena dapat menekan resiko ketingkat yang paling aman. Tetapi sering kali tidak dapat dilakukan karena peralatan atau pekerjaan tersebut biasanya merupakan bagian dari proses pekerjaan. Beberapa hal yang bisa dilakukan pada tahap ini antara lain.

Menghilangkan bahaya bisa lebih murah dan lebih praktis pada tahap desain atau perencanaan produk, proses atau tempat kerja. Pada tahap awal ini, ada lebih banyak ruang untuk desain untuk menghilangkan bahaya atau untuk memasukkan tindakan pengendalian risiko yang kompatibel dengan persyaratan desain dan fungsi asli.

Pengusaha juga dapat menghilangkan bahaya dan risiko dengan menghilangkan bahaya sepenuhnya. Misalnya, untuk menghilangkan bahaya bahaya ergonomi, maka dimulai dari desain tempat kerja yang ergonomis mulai dari kursi, meja, papan keyboard, mouse, monitor, telepon dsb. Untuk masalah COVID-19, pada tahap ini dimulai dengan kebijakan WFH (work from home), jika harus ke kantor/tempat kerja maka diberlakukan maksimum 50% dari total pekerja; pelaksanaan skrining untuk yang akan masuk kerja baik dengan melakukan RT PCR atau Rapid Test sehingga pekerja yang masuk kantor betul-betul aman dan tidak menularkan virus tersebut di tempat kerja. Untuk masalah kebisingan dari mesin produksi, pada tahap ini metode eliminasi tidak dapat dilakukan karena secara desain, mesin produksi tersebut pasti menimbulkan kebisingan. Maka dari itu pengendalian dilakukan di tahap berikutnya.

  1. Substitusi bahaya

Jika tidak praktis untuk menghilangkan bahaya dan risiko terkait dengan cara eliminasi, maka tahap berikutnya meminimalkan risiko dengan substitusi. Untuk proses yang ada, perubahan besar dalam peralatan dan prosedur mungkin diperlukan untuk menghilangkan atau menggantikan bahaya. Dalam banyak kasus, eliminasi tidak mungkin dilakukan dan jika memungkinkan, substitusi adalah pendekatan terbaik untuk mitigasi bahaya. Jika memungkinkan, gantikan agen yang tidak terlalu berbahaya sebagai ganti agen yang lebih berbahaya. Ini juga berlaku untuk kondisi dan aktivitas. Contohnya termasuk mengganti toluena untuk benzena, cat berbasis non-timbal untuk yang berbasis timbal. Untuk masalah ergonomi, bila kursi yang digunakan tidak ergonomis, maka bisa diganti dengan kursi yang ergonomis sehingga pekerja dapat bekerja dengan nyaman dan terhindar dari low back pain. Untuk masalah kebisingan, pada saat pemilihan mesin, perusahaan dapat memilih mesin yang kebisingannya lebih kecil yang sesuai dengan persyaratan desain, biaya dan output produksi yang ingin dicapai.

  1. Pengendalian teknik

Ketika bahaya tidak dapat dihilangkan melalui eliminasi atau substitusi, pilihan terbaik berikutnya adalah menggunakan kendali teknik. Dalam hal ini bahayanya tidak dihilangkan, tetapi pekerja dilindungi dari bahaya tersebut. Ide dasarnya adalah merancang lingkungan kerja, dan pekerjaan yang harus dilakukan, sedemikian rupa sehingga paparan terhadap bahaya dihilangkan atau dikurangi. Misalnya, jika mesin memiliki bagian yang bergerak, pelindung dapat ditambahkan untuk mencegah akses fisik ke bagian yang bergerak.

Melindungi bagian yang bergerak sering disebut sebagai “penutup dan isolasi”. Contoh penutup dan isolasi lainnya termasuk:

  • Menggunakan tirai di sekitar lokasi tempat pengelasan dilakukan – melindungi pekerja dari cahaya yang kuat.
  • Menempatkan penghalang di sekitar kipas dan peralatan bising lainnya – mengurangi tingkat kebisingan.
  • Memagar di sekitar gigi sakelar listrik – mencegah akses ke peralatan bertegangan tinggi.
  • Kontrol teknik juga digunakan untuk menghilangkan bahaya. Contoh umum dari hal ini adalah menggunakan lemari asam untuk menahan dan menghilangkan bahaya di udara.

Solusi untuk masalah ergonomi pada tahap ini seperti mengatur pencahayaan saat bekerja di depan komputer, memasang vertical blind untuk mencegah sinar matahari yang mengganggu pandangan mata saat bekerja di depan komputer. Untuk masalah COVID-19, solusi pada tahap pengendalian teknik seperti pemasangan ultraviolet (UV)-C pada sistem pendinginan AC, mengatur tata ruang kerja agar tidak saling berdekatan, pemasangan barikade atau partisi, pemasangan handsfree button untuk tombol lift menggunakan kaki. Sedangkan untuk masalah kebisingan, pada tahap ini dengan pemasangan enclosure (penutup) mesin yang berputar atau bertekanan sehingga mengurangi kebisingan dari sumbernya.

  1. Pengendalian administratif

Pengendalian administratif adalah pengendalian yang mengubah cara pekerjaan dilakukan. Pengendalian tersebut dapat terdiri dari kebijakan, pelatihan, prosedur / pedoman operasi standar, praktik kebersihan pribadi, penjadwalan kerja, dll. Pengendalian ini dimaksudkan untuk meminimalkan paparan bahaya dan hanya boleh digunakan jika paparan tidak dapat sepenuhnya dikurangi melalui eliminasi / penggantian atau pengendalian teknik.

Pengendalian administratif membatasi paparan pekerja dengan menjadwalkan waktu kerja yang lebih pendek di area kontaminan atau dengan menerapkan “aturan” lainnya. Tindakan pengendalian ini memiliki banyak keterbatasan karena bahayanya sendiri tidak benar-benar dihilangkan atau dikurangi. Pengendalian administratif umumnya tidak disukai karena sulit untuk diterapkan, dipelihara, dan bukan cara yang dapat diandalkan untuk mengurangi keterpaparan. Berikut ini beberapa metode pengendalian administratif:

  • Membatasi akses ke area kerja.
  • Membatasi tugas hanya untuk mereka yang kompeten atau memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan.
  • Menjadwalkan pemeliharaan dan operasi eksposur tinggi lainnya untuk saat-saat ketika hanya sedikit pekerja (seperti malam hari, akhir pekan).
  • Menggunakan jadwal rotasi pekerjaan yang membatasi jumlah waktu seorang pekerja terpapar suatu zat.
  • Menggunakan jadwal istirahat kerja yang membatasi lamanya waktu seorang pekerja terpapar suatu bahaya.

Masalah ergonomi, pada tahap ini dapat diselesaikan dengan membuat SOP maksimal lama bekerja di depan komputer, pengaturan peregangan (stretching), pemasangan poster contoh ergonomi yang baik. Untuk masalah COVID-19 dilakukan dengan membuat SOP / protokol kesehatan di tempat kerja saat pandemi, pemasangan poster/spanduk/video tentang bahaya dan pencegahan COVID-19, supervisi di lapangan dan pelatihan rutin kepada karyawan maupun konraktor. Untuk masalah kebisingan bisa dilakukan dengan pembuatan SOP saat bekerja di tempat bising, pemasangan tanda bahaya kebisingan, pelatihan dan pemeriksaan kebisingan serta audiometri kepada secara rutin.

  1. Alat pelindung diri (APD)

APD mengacu pada apa pun yang digunakan atau dikenakan karyawan untuk meminimalkan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan mereka. APD membatasi paparan efek berbahaya dari suatu bahaya tetapi hanya jika karyawan memakai dan menggunakan APD dengan benar. Menggunakan kendali administratif dan APD untuk mengurangi risiko tidak mengendalikan bahaya pada sumbernya. Pengendalian administratif dan APD mengandalkan perilaku dan pengawasan manusia dan, digunakan sendiri, cenderung paling tidak efektif dalam meminimalkan risiko.

Alat Pelindung Diri (APD) termasuk barang-barang seperti respirator, pakaian pelindung seperti sarung tangan, pelindung wajah, pelindung mata, dan alas kaki yang berfungsi sebagai penghalang antara pemakainya dan bahan kimia atau bahan tersebut. Ini adalah item terakhir dalam daftar karena alasan yang sangat bagus. Alat pelindung diri tidak boleh menjadi satu-satunya metode yang digunakan untuk mengurangi paparan kecuali dalam keadaan yang sangat spesifik karena APD dapat “gagal” (berhenti melindungi pekerja) dengan sedikit atau tanpa peringatan.

Penggunaan APD hanyalah sebagai upaya terakhir bila tidak ada tindakan pengendalian praktis lainnya yang tersedia sebagai tindakan sementara sampai memperkenalkan cara yang lebih efektif untuk mengendalikan risiko untuk meningkatkan efektivitas langkah-langkah pengendalian tingkat yang lebih tinggi.

Untuk masalah ergonomi, penggunaan APD tidak diperlukan karena bisa dikendalian hingga pengendalian administratif. Sedangkan untuk masalah COVID-19, penggunaan APD ini sangat berperan penting karena virus yang tidak dapat dilihat langsung oleh mata dan tidak terdeteksi oleh panca indera. Berbagai jenis APD digunakan tergantung dari karakteristik risiko yang dihadapai. Contohnya untuk tenaga medis, jenis APD dengan standar yang lebih tinggi sangat diperlukan dibandingkan masyarakat umum yang cukup dengan penggunaan masker kain 3 lapis.  APD tambahan seperti gaun, faceshield, safety boot, sarung tangan sangat perlu digunakan oleh tenaga medis atau oleh orang yang berisiko tinggi terkena penularan virus. Untuk masalah kebisingan, APD seperti earplug atau earmuff wajib dilakukan untuk kebisingan >85 dBA. Pemilihan APD pun harus dilihat dari NRR (noise reduction rate) nya agar benar-benar efektif dalam menurunkan risiko pajanan kebisingan.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: