Kesehatan Lingkungan dalam Kesehatan Masyarakat

Kesehatan Lingkungan dalam Kesehatan Masyarakat
Ilustrasi foto: blud.co.id
Bagikan

Kesehatan Lingkungan dalam Kesehatan Masyarakat

Oleh: Muhyidin, SKM

Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan

Kesehatan tidak hanya dipengaruhi olehadanya faktor penyakit (agent) yang masuk ke dalam  tubuh manusia. Dalam trias epidemiologi, status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh keseimbangan antara host (pejamu), lingkungan (environment) dan agent. Lingkungan merupakan  kondisi dan pengaruh luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan organisme. Hendrik L.Blum (1974) menyatakan bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh kombinasi 4 faktor, yaitu lingkungan, perilaku, genetik, dan pelayanan kesehatan.

Faktor-faktor lingkungan dapat dibagi ke dalam 5 kelompok yaitu:

  1. Faktor fisik seperti suhu, kebisingan, radiasi, cahaya dan lain-lain.
  2. Faktor kimia yaitu gas, uap, debu, kabut, fume, asap, aerosol dan benda padat.
  3. Faktor biologi yaitu mikroorganisme, hewan dan tumbuhan.
  4. Faktor fisiologis yaitu sikap, fungsi organ dan cara kerja.
  5. Faktor mental-psikologis yaitu suasana kerja, hubungan antar pekerja, beban kerja, dan lain-lain.

Ilmu kesehatan lingkungan adalah ilmu multidisipliner yang mempelajari dinamika hubungan interaktif antara sekelompok manusia atau masyarakat dan mempelajari upaya untuk penanggulangan dan pencegahannya (Chandra, 2007). Ilmu kesehatan lingkungan mempelajari hubungan interaktif antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan berbagai variable kependudukan seperti perilaku, pendidikan dan umur. Dalam hubungan interaksi tersebut, faktor komponen lingkungan seringkali mengandung atau memiliki potensial timbulnya penyakit. (Ikhtiar, 2017)

Peranan Kesehatan Lingkungan dalam Bidang Kesehatan Masyarakat

Kesehatan lingkungan merupakan bagian dari ilmu kesehatan masyarakat. Menurut CEA Winslow (1920), salah satu sasaran kesehatan masyarakat yaitu lingkungan hidup yang sanitair. Winslow berpendapat bahwa sanitasi memastikan kondisi lingkungan yang sehat sebagai tahap awal dalam kesehatan masyarakat.

Peran kesehatan lingkungan yaitu:

  1. Menyediakan air bersih yang cukup dan memenuhi persyaratan kesehatan.
  2. Makanan dan minuman yang diproduksi dalam skala besar dan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat.
  3. Pencemaran udara akibat sisa pembakaran BBM, batu bara, kebakaran hutan, dan gas beracun yang berbahaya bagi kesehatan dan makhluk hidup lain dan menjadi penyebab terjadinya perubahan ekosistem.
  4. Limbah cair dan padat yang berasal dari rumah tangga, pertanian, peternakan, industri, rumah sakit, dan lain-lain.
  5. Kontrol terhadap arthropoda dan rodent yang menjadi vektor penyakit dan cara memutuskan rantai penularan penyakitnya.
  6. Perumahan dan bangunan yang layak huni dan memenuhi syarat kesehatan.
  7. Kebisingan, radiasi, dan kesehatan kerja.
  8. Survei sanitasi untuk perencanaan, pemantauan, dan evaluasi program kesehatan lingkungan.

Konsep Manajemen Risiko dalam Kesehatan Lingkungan

Pada awalnya analisis risiko digunakan dalam bidang pengendalian radiasi, bukan dalam industri kimia. Analisis risiko yang intensif telah dilakukan tahun 1975 untuk menyelidiki kematian karena kanker yang disebabkan oleh kebocoran reaktor nuklir. Teknik-teknik analisisnya kemudian diadopsi oleh Food and Drug Administration Amerika Serikat. USEPA selanjutnya menerbitkan pedoman tentang analisis risiko karsinogen tahun 1986. Kini analisis risiko digunakan untuk berbagai bahaya lingkungan, termasuk bahaya fisik dan biologis. Bahaya-bahaya fisik, kimiawi dan biologis lingkungan bisa menimbulkan efek yang merugikan kesehatan manusia dan kerusakan lingkungan. Kajian efek kesehatan dikenal dengan health risk assessment (HRA, analisis risiko kesehatan), sedangkan kajian efek lingkungan disebut ecological risk assessment (ERA) (Kemenkes, 2012).

Selanjutnya HIA tumbuh dan berkembang secara lebih spesifik menjadi environmental health risk assessment (EHRA) yang dialihbahasakan menjadi analisis risiko kesehatan lingkungan (ARKL). Di Indonesia, dalam peraturan perundangan, ARKL menjadi bagian analisis dampak kesehatan lingkungan (ADKL). ADKL sendiri dibedakan menjadi ADKL bagian Amdal dan ADKL untuk pencemaran pada umumnya (bukan bagian dari studi Amdal). Untuk ADKL dalam Amdal, yang dimaksudkan sebagai kajian aspek kesehatan masyarakat dalam konteks rencana usaha atau kegiatan baru, telah terbit Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 876/ Menkes/SK/VIII/2001 tentang Pedoman Teknis Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (Kemenkes, 2012).

Mengacu pada Risk Assessment and Management Handbook tahun 1996, analisis risiko mengenal dua istilah yaitu risk analysis dan risk assessment. Risk analysis meliputi 3 komponen yaitu penelitian, asesmen risiko (risk assessment) atau ARKL dan pengelolaan risiko. Di dalam prosesnya, analisis risiko dapat diilustrasikan sebagai berikut:

  • Penelitian dimaksudkan untuk membangun hipotesis, mengukur, mengamati dan merumuskan efek dari suatu bahaya ataupun agen risiko di lingkungan terhadap tubuh manusia, baik yang dilakukan secara laboratorium, maupun penelitian lapangan dengan maksud untuk mengetahui efek, respon atau perubahan pada tubuh manusia terhadap dosis, dan nilai referensi yang aman bagi tubuh dari agen risiko tersebut.
  • Asesmen risiko (risk assessment) atau ARKL dilakukan dengan maksud untuk mengidentifikasi bahaya apa saja yang membahayakan, memahami hubungan antara dosis agen risiko dan respon tubuh yang diketahui dari berbagai penelitian, mengukur seberapa besar pajanan agen risiko tersebut, dan menetapkan tingkat risiko dan efeknya pada populasi.
  • Pengelolaan risiko dilakukan bilamana asesmen risiko menetapkan tingkat risiko suatu agen risiko tidak aman atau tidak bisa diterima pada suatu populasi tertentu melalui langkah – langkah pengembangan opsi regulasi, pemberian rekomendasi teknis serta sosial – ekonomi – politis, dan melakukan tindak lanjut.

Ilustrasi dari paradigma dan proses analisis risiko dapat dilihat dari gambar 1 di bawah ini.

Paradigma atau proses ‘risk analysis’ (National Risk Council, 1986)

Gambar 1. Paradigma atau proses ‘risk analysis’ (National Risk Council, 1986)

Pada gambar 1 di atas diilustrasikan proses risk analysis secara utuh dimulai dari penelitian terkait agen risiko, dosis serta respon/efeknya terhadap kesehatan manusia yang dilakukan oleh peneliti. Sedangkan implementasi risk assessment atau ARKL dan pengelolaan risiko dilakukan oleh praktisi kesehatan lingkungan.

Secara operasional, pelaksanaan ARKL diharapkan tidak hanya terbatas pada analisis atau penilaian risiko suatu agen risiko atau parameter tertentu di lingkungan terhadap kesehatan masyarakat, namun juga dapat menyusun skenario pengelolaannya. Bagan alir penerapan ARKL sebagai bagian dari analisis risiko dapat dilihat pada gambar 2 dan 3.

Bagan Alir Penerapan ARKL

Gambar 2. Bagan Alir Penerapan ARKL

Pada Gambar 2 di atas dijelaskan bahwa ARKL merupakan pendekatan yang digunakan untuk melakukan penilaian risiko kesehatan di lingkungan dengan output adalah karakterisasi risiko (dinyatakan sebagai tingkat risiko) yang menjelaskan apakah agen risiko/parameter lingkungan berisiko terhadap kesehatan masyarakat atau tidak. Selanjutnya hasil ARKL akan dikelola dan dikomunikasikan kepada masyarakat sebagai tindak lanjutnya.

Gambar 3. Kerangka Konseptual ARKL

                                                                                                         Gambar 3. Kerangka Konseptual ARKL

Legal Aspek Kesehatan Lingkungan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang termaktub dalam pasal 27 ayat (2) bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ketenagakerjaan diarahkan pada peningkatan harkat, martabat, dan kemampuan manusia, serta kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur, baik materiil maupun spiritual. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan higiene perusahaan, kesehatan dan keselamatan kerja yaitu:

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1969 Undang-Undang (UU) ini merupakan persetujuan konvensi organisasi perburuhan internasional (ILO) No.120 tentang higiene dalam perniagaan dan kantor-kantor. UU memuat ketentuan-ketentuan antara lain: kebersihan, ventilasi, suhu nyaman, kerapian, persediaan air minum, tempat ganti dan penyimpan pakaian, menyediakan kotak P3K, perlengkapan cuci dan sanitasi serta tempat duduk yang cukup.

Berikut ini adalah peraturan perundang-undangan Kesehatan Lingkungan berdasarkan stratifikasinya:

Undang-Undang terkait Kesehatan Lingkungan

  1. UU No. 3 tahun 1969 – Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No. 120 Mengenai Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor
  2. UU No. 18 tahun 2008 – Pengelolaan Sampah
  3. UU No 1 Tahun 1970 – Keselamatan Kerja.
  4. Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 –
  5. UU No. 18 tahun 2008 – Pengelolaan Sampah
  6. UU No. 16 Tahun 2016 – Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim)
  7. UU No. 17 tahun 2019 – Sumber Daya Air

 

Peraturan Pemerintah terkait Kesehatan Lingkungan

  1. PP No 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Peredaran Pestisida.
  2. PP 11 tahun 1975 – Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi
  3. PP 40 Tahun 1991 – Penanggulangan Wabah Penyakit Menular
  4. PP 41 tahun 1999 – Pengendalian Pencemaran Udara
  5. PP 63 tahun 2000 – Keselamatan dan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion
  6. PP RI No. 4 Tahun 2001 – Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan
  7. PP 74 tahun 2001 – Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
  8. PP 7 tahun 2019 – Penyakit Akibat Kerja
  9. PP 88 tahun 2019 – Kesehatan Kerja

 

Peraturan dan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan terkait Kesehatan Lingkungan

  1. Permenaker 09 tahun 2016 – Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam Pekerjaan pada Ketinggian
  2. Permenaker 37 tahun 2016 – K3 Bejana Tekanan dan Tangki Timbun
  3. Permenaker 38 tahun 2016 – K3 Pesawat Tenaga dan Produksi
  4. Permenaker 06 tahun 2017 – Keselamatan dan Kesehatan Kerja Elevator dan Eskalator
  5. Permenaker 05 tahun 2018 – Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja
  6. Pedoman Teknis Penerapan K3 Lingkungan Kerja (penjelasan tambahan Permenaker No.5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja)
  7. Permenaker 08 tahun 2020 – Keselamatan dan Kesehatan kerja Pesawat Angkat dan Angkut

 

Peraturan dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup

  1. KepmenLH 13 tahun 1995 – Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak
  2. KepmenLH 48 tahun 1996 – Baku Tingkat Kebisingan
  3. KepmenLH 49 tahun 1996 – Baku Tingkat Getaran
  4. KepMen LH No. 50 Tahun 1996 – Baku Tingkat Kebauan
  5. KepMenLH No. 37 Tahun 2003 – Metoda Analisis Kualitas Air Permukaan dan Pengambilan Contoh Air Permukaan
  6. KepmenLH 113 tahun 2003 – Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara
  7. KepmenLH Nomor 45 Tahun 2005 – Pedoman Penyusunan Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan  Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
  8. PermenLH 5 tahun 2006 – Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama
  9. PermenLH 13 tahun 2007 – Persyaratan dan Tata Cara Pengelolaan Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Serta Panas Bumi
  10. PermenLH 13 tahun 2007 – Persyaratan dan Tata Cara Pengelolaan Air Limbah bagi Usaha dan/atau Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Serta Panas Bumi dengan Cara Injeksi
  11. Permen LH No. 2 Tahun 2008 – Pemanfaatan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
  12. PermenLH 3 tahun 2008 – Tata Cara Pemberian Simbol dan Label Bahan Berbahaya dan Beracun
  13. PermenLH 21 tahun 2008 – Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi Usaha/Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik Termal
  14. PermenLH 08 tahun 2009 – Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Termal
  15. Permen LH No. 12 Tahun 2009 – Pemanfaatan Air Hujan
  16. PermenLH 13 tahun 2009 – Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi Usaha dan atau Kegiatan Migas
  17. PerMenLH No 18 tahun 2009 – Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun
  18. Permen LH Nomor 30 Tahun 2009 – Tata Laksana Perizinan dan Pengawasan Pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan beracun serta pengawasan pemulihan akibat pencemaran limbah bahan berbahaya dan beracun oleh Pemerintah Daerah
  19. PerMenLH No. 01 tahun 2010 – Tata Laksana Pengendalian Pencemaran Air
  20. PermenLH 03 tahun 2010 – Baku Mutu Air Limbah bagi Kawasan Industri
  21. PermenLH 19 tahun 2010 – Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi
  22. PerMenLH No. 16 tahun 2012 – Pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup
  23. PermenLH No. 17 Tahun 2012 – Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup Dan Izin Lingkungan
  24. PermenLH 14 tahun 2013 – Simbol dan Label Limbah B3
  25. PermenLH 03 tahun 2013 – Audit Lingkungan Hidup
  26. PermenLH 05 tahun 2014 – Baku Mutu Air Limbah
  27. Permen LH No. 8 Tahun 2013 – Tata Laksana dan Pemeriksaan Dokumen Lingkungan Hidup serta Penerbitan Izin Lingkungan
  28. PermenLH 3 tahun 2014 – Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER)
  29. PermenLH P.38 tahun 2019 – Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
  30. PermenLH P.74 tahun 2019 – Program Kedaruratan Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dan/atau Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
  31. SE MenLHK No.  SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 – Pengelolaan Limbah Infeksiksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari penangangan Corona Virus Disease (Covid19)

Penilaian Pajanan Lingkungan (Environmental Exposure Assessment)

Paparan dalam hal pekerjaan dan lingkungan adalah proses kontak antara individu dan suatu substansi dan dapat terjadi oleh satu atau lebih dari 4 rute yaitu inhalasi (pernafasan), melalui kontak kulit, injeksi dan dengan konsumsi (ingestion). Penilaian pajanan adalah ilmu yang terlibat dalam mengkarakterisasi jalur (pathways), jalur waktu, dan besaran dari kontak individu dengan materi yang diteliti.

Menilai paparan secara jelas sangat penting ketika mempertimbangkan apakah seseorang mungkin menderita penyakit akibat bahan kimia dengan profil toksikologi yang dipahami dengan baik dan eksposur – hubungan respon. Penilaian keterpaparan juga merupakan bagian penting dari studi epidemiologi. Kesalahan klasifikasi paparan dan penggunaan metode kategorikal sederhana telah terbukti melemahkan kemampuan penelitian untuk menentukan apakah ada hubungan antara kontak dan hasil kesehatan yang buruk.

Efek kesehatan yang disebabkan oleh paparan suatu bahan akan bergantung pada cara bahan kimia tersebut bekerja pada tingkat organik, seluler, atau sub-seluler. Ukuran ideal pemaparan harus secara akurat mencerminkan ‘dosis’ atau jumlah material yang relevan secara biologis. Jika efek kesehatannya akut, metrik keterpaparan harus dikaitkan dengan dosis yang diterima dalam waktu singkat. Jika penyakitnya kronis, periode waktu pajanan yang relevan mungkin lebih lama dan karenanya pajanan kumulatif dapat menjadi ukuran yang lebih berguna.

Pengaturan batas pajanan pekerjaan yang diatur secara umum memungkinkan adanya perbedaan dalam efek kesehatan akut dan kronis ini. Batas jangka pendek, biasanya dua sampai tiga kali lebih tinggi dari batas jangka panjang, ditetapkan untuk eksposur pendek, intens dan ‘puncak’. Waktu rata-rata untuk batas ini biasanya 10 –15 menit. Batasan jangka panjang ditetapkan untuk melindungi kesehatan pekerja dari efek kumulatif dan didasarkan pada rata-rata eksposur selama 8 jam untuk mencerminkan durasi shift kerja yang khas.

Biomarker atau penanda biologis adalah indikator terukur dari suatu keadaan atau kondisi biologis. Biomarker sering diukur dan dievaluasi untuk memeriksa proses biologis normal, proses patogenik, atau respons farmakologis terhadap intervensi terapeutik. Biomarker digunakan di banyak bidang ilmiah. Biomarker juga dapat diklasifikasikan berdasarkan aplikasinya, seperti biomarker diagnostik, staging biomarker penyakit, biomarker prognosis penyakit (biomarker kanker), dan biomarker untuk memantau respons klinis terhadap suatu intervensi. Kategori lain dari biomarker termasuk yang digunakan dalam pengambilan keputusan selama pengembangan obat awal.

Peran SDM Bidang Kesehatan Lingkungan

Sumberdaya manusia (SDM) di bidang kesehatan lingkungan dan K3 sangat berperan dalam meningkatkan derajat kesehatan terutama dalam upaya pencegahan terjadinya penyakit akibat kerja (PAK). Berbagai upaya promotif – preventif dan kuratif – rehabilitatif dilakukan yang tentu saja aspek promotif  & preventif memiliki porsi yang lebih besar sebagai upaya kesehatan masyarakat. Dalam bidang K3, upaya promotif & preventif dilakukan dengan melalui manajemen risiko yang ada di tempat kerja untuk mencegah kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Dalam bidang kesehatan lingkungan, upaya tersebut dilakukan dengan pendekatan antisipasi, rekognisi, evaluasi, dan pengendalian. Upaya tersebut untuk memastikan lingkungan kerja tetap dalam batasan yang aman bagi kesehatan manusia dan mencegah terjadinya pencemaran ke lingkungan.

Melalui SDM kesehatan lingkungan dan K3 yang profesional di bidangnya, hal tersebut dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memiliki meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan arah pembangunan kesehatan yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2016 dimana pada periode 2020-2025 proporsi upaya promotif dan preventif lebih besar dibandingkan upaya kuratif dan rehabilitatif.

Arah Pembangunan Kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2016)

Gambar 4. Arah Pembangunan Kesehatan (Kementerian Kesehatan, 2016)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: