7 Langkah Untuk Diagnosis Penyakit Akibat Kerja

7 Langkah Untuk Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Ilustrasi foto: prodiaohi.co.id
Bagikan

7 Langkah Untuk Diagnosis Penyakit Akibat Kerja (PAK)

Oleh: Muhyidin, SKM

Pekerja yang dinyatakan mengalami Penyakit Akibat Kerja (PAK) berhak mendapatkan kompensasi dan dapat diklaim melalui BPJS Ketenagakerjaan seperti halnya Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Masih banyak masyarakat umum maupun pekerja yang belum paham tentang penentuan apakah seseorang mengalami PAK atau tidak. Sehingga pekerja banyak yang hak perlindungan kesehatannya tidak terpenuhi dan jika terkena PAK tidak terbayarkan. Mereka menganggap cukup berobat ke dokter saja di klinik, Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat dan menganggap hal itu hal yang biasa terjadi.

Diagnosis penentuan PAK dapat dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu (Kurniawidjadja & Ramdhan, 2019):

  1. Metode diagnosis PAK dengan tujuh (7) langkah untuk individu dengan pendekatan klinik, dan
  2. Metode diagnosis PAK berlandaskan Postulat Hil untuk kelompok dengan pendekatan epidemiologik.

7 Diagnosis PAK untuk Individu

Metode 7 langkah ini dibuat dan dipraktikan oleh Prof.Meily sejak tahun 1979 dan dirumuskan dalam modul kuliah beliau pada tahun 2005. Saat ini 7 langkah tersebut kemudian menjadi rujukan salah satunya dalam Permenkes No.56 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja (Kurniawidjadja & Ramdhan, 2019).

1. Melakukan diagnosis klinis

Diagnosis klinis ini dilakukan oleh dokter dengan melakukan anamnesis atau menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisik secara umum dan khusus serta pemeriksaan penunjang lainnya. Saat anamnesis dokter bisa menanyakan keluhan dan gejala yang dialami pekerja, riwayat pekerjaan dan pajanan bahaya yang ada di tempat kerja, serta menanyakan riwayat penyakit yang sama dengan saat bekerja atau tidak. Pemeriksaan penunjang seperti foto toraks, biomonitoring melalui darah/urin pekerja, tes spirometeri, tes audiometri dan sebagainya untuk membantu penegakan diagnosis.

2. Menilai pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja

Pada tahap ini perlu diketahui riwayat pekerjaan sebelumnya maupun pekerjaan tambahan lainnya di luar jam kerja saat ini (misalnya hobi mendengarkan musik keras, bersepeda, atau melakukan pekerjaan sambilan seperti ojek online dsb). Durasi pekerjaan, bahaya yang diterima pekerja dan berapa lama pekerja sudah melakukan hal tersebut, kebiasaan merokok dan pemakaian alat pelindung diri (APD) bisa ditanyakan pada tahap ini.

3. Menilai hubungan pajanan dengan diagnosis klinis (penyakit)

Perlu dicari tahu riwayat penyakit yang dialami pekerja apakah baru terjadi atau sudah ada sejak dahulu (misalnya punya asma sejak kecil). Tahap ini juga perlu dicari tahu apakah keluhan muncul ketika hanya di tempat kerja atau saat libur / tidak bekerja keluhan tersebut menghilang / tidak ada. Dokter juga bisa mencari tahu apakah keluhan ini ada pada pekerja lainnya.

4. Menilai besarnya pajanan

Hasil HRA (health risk assessment) baik data primer hasil pengukuran lab maupun data sekunder yang terjamin validitasnya diperlukan untuk diagnosis PAK dan mengindikasikan adanya keluhan yang sama pada pekerja lain dengan survei jalan selintas.

5. Menentukan faktor individu yang berperan

Faktor individu berkontribusi dalam memperberat maupun menjadi pelindung seperti usia, pengalaman kerja, higienitas personal, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok, penggunaan APD, kepatuhan terhadap SOP, riwayat penyakit dan sebagainya.

6. Menentukan pajanan di luar tempat kerja

Pajanan bahaya di luar termpat kerja juga perlu diperhatikan. Misalnya pekerja di pembangkit listrik bagian administrasi dengan pajanan kebisingan di tempat kerjanya rendah <80 dBA tetapi terdiagnosis mengalami penurunan pendengaran atau mengalami NIHL (noise-induced hearing loss). Dengan anamnesis yang teliti dapat diketahui ternyata pekerja tersebut setiap hari naik motor dengan knalpot yang bising atau sering mendengarkan musik dengan volume yang keras. Jika diteliti lebih lanjut ternyata temannya di departemen yang sama apakah mengalami penurunan pendengaran atau NIHL maka dapat ditentukan apakah hal tersebut PAK atau bukan.

7. Menentukan diagnosis Penyakit Akibat Kerja

Selanjutnya penentuan diagnosis PAK dapat dibukan bila pajanan bahaya teridentifikasi, ada hubungan pajanan dan penyakit, pajanan yang dialami cukup besar, serta peran faktor individu dan faktor lain di luar pekerjaan dapat disingkirkan maka penentuan PAK dapat dilakukan. Ketujuh langkah tersebut harus dilakukan untuk menegakkan PAK.

 

Perbedaan Necessary dan Sufficient Cause

Necessary cause adalah faktor risiko yang harus ada dan mendahului suatu akibat sehingga menghasilkan suatu hubungan sebab-akibat. Sedangkan sufficient cause adalah konsep gangguan kesehatan yang multifactor/multikausal, terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan timbulnya penyakit.

Sebagai contoh untuk kasus Covid-19 pada tenaga kesehatan, maka necessary cause-nya yaitu virus SARS-CoV-2 sedangkan sufficient cause-nya yaitu status imun tubuh, penyakit komorbid, faktor perilaku dalam penerapan protokol kesehatan, dan usia lanjut.

Contoh lainnya yaitu NIHL dimana necessary cause-nya yaitu kebisingan di >85 dBA (melebihi Nilai Ambang Batas / NAB) sedangkan sufficient cause-nya yaitu waktu pajanan, riwayat penyakit sebelumnya (gangguan pendengaran, dll), dan mendengarkan musik melalui headset dengan volume yang tinggi.

 

Referensi:

  • Kurniawidjaja L.M & Ramdhan D.H. 2019. Penyakit Akibat Kerja dan Surveilans. Jakarta: UI Publishing
  • Kuniawidjaja L.M. 2015. Teori dan aplikasi Kesehatan kerja, UI Publishing, Jakarta.
  • Buchari. 2007. Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Terkait Kerja.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: