Ketika Biduk itu Bertambah

Ketika biduk itu bertambah
Ilustrasi foto: ruangmuslimah.co
Bagikan

Ketika Biduk itu Bertambah

Oleh: Ust.Deni Prasetio, SKM

Aisyah adalah satu2nya wanita yang dinikahi Nabi ﷺ saat masih gadis. Beliau adalah orang yang paling dicintai oleh Nabi dari semua manusia.

Suatu hari sahabat Amr bin al-‘Ash bertanya kepada Nabi, “wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Nabi menjawab, “Aisyah”

Dengan derajat seperti ini harusnya Aisyah duduk tenang menghadapi takdir poligami. Gak perlu takut tersaingi oleh para madunya. Namun yang terjadi pasca perang Khaibar, suaminya membawa pulang seorang istri baru, janda muda berumur 17 tahun tapi tidak lebih cantik darinya. Tetap saja Aisyah gusar. Waktu demi waktu cemburu berkumpul. Hingga suatu saat beliau memaki-maki madunya itu di hadapan suaminya. Aisyah berkata kepada, “Cukuplah padamu kalau Shafiyyah itu hanya perempuan kerdil.” Melihat sikap Aisyah, suaminya marah dan memperingatkannya,” Aisyah, kau telah mengeluarkan kata-kata yang bila dilebur dengan air samudera, ia akan ternoda!”

Aisyah pun terdiam menyadari kesalahannya. Ia tahu suaminya tidak suka dengan sikapnya.

Berbeda dengan Zainab, ia berusaha sekuat hati menahan rasa emosi berkecamuk terhadap Shofiyyah, wanita yang dimaki-maki oleh Aisyah. Hingga suatu hari dalam perjalanan haji, Zainab meluapkan rasa cemburunya.

Ketika itu unta yang ditunggangi Shofiyyah tiba-tiba menderum, tak mau berjalan. Maka sang suami pun mendatangi Zainab untuk meminjam untanya yang berlebih. Dengan sinis Zainab menjawab,” Apa? Apakah untaku akan kuberikan kepada seorang perempuan Yahudi ?” Pernyataan itu sungguh menusuk hati sang suami. Selama 3 bulan, Zainab tidak didatangi oleh suaminya. “Sehingga aku putus asa dan mengalihkan tempat tidurku”, kata Zainab.

Lain lagi yang dilakukan oleh Hafshah, beliau ngobrol dengan Aisyah mengungkit2 asal usul Shofiyyah. Omongan ini didengar oleh Shofiyyah yang sedang berlalu disana. Hafshah berkata tentangnya dengan nada sinis, “Dasar anak perempuan Yahudi.” Lantas Shafiyyah menemui Nabi ﷺ dalam keadaan menangis, lalu beliau bertanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis?” Shafiyyah menjawab, “Hafshah memanggilku dengan anak perempuan Yahudi.” Nabi ﷺ  lantas mengatakan, “Sesungguhnya engkau termasuk puteri Nabi, pamanmu seorang Nabi, dan sekarang berada dalam perlindungan seorang Nabi, bukankah itu sudah jadi suatu kebanggaan?” Kemudian Nabi menegur Hafshah, “Wahai Hafshah, bertakwalah kepada Allah.”

Shofiyyah, wanita tawanan perang besar Khaibar, putri pemimpin Yahudi dan juga istri salah satu petinggi Yahudi. Ayah dan suaminya tewas saat peperangan itu. Panglima perang umat Islam yaitu Rasulullah Muhammad ﷺ kemudian memperistrinya dengan sebelumnya memberikan opsi masuk Islam dan menjadi istri beliau atau menjadi tawanan atau bebas bayar tebusan. Shofiyyah memilih opsi pertama. Dan pilihannya sesuai dengan tujuan dakwah Rasulullah saw. Setelah beberapa waktu mengenal Muhammad, Shofiyyah berkata,” Dulu anda adalah orang yang paling kubenci, tapi sekarang kutahu sekarang, anda jauh lebih mulia dibanding ayah dan suamiku.”

Nasab Shofiyyah sampai kepada Nabi Harun. Dan kita tau nabi Harun adalah sodaranya nabi Musa. itu sebabnya Nabi mengatakan Shafiyyah puteri seorang nabi dan punya paman seorang nabi.

Shofiyyah, wanita yang dicemburui amat sangat oleh madunya, Aisyah, Zainab dan Hafshah, menjadi saksi bagi kaum Yahudi tentang kebenaran Islam.

Seandainya nih seandainya…..

Makian Aisyah itu teruntai di sosial media

Amarah Zainab terpampang di broadcast berita

Bullyan Hafshah viral di medsos

Bisa dibayangkan betapa banyak para komentator yang mencoba berempati dengan emosi mereka. Sementara apakah ada yang paham duduk perkara sebenarnya? Tidak ada.

Pernah gak terpikir dalam diri kita bahwa Shofiyyah adalah pelakor? Tentu tidak. Coz kalo terbesit sedikit aja itu sama aja merendahkan derajat laki-laki yang menikahinya. Na’udzubillah min dzalik.

Di masa kapanpun, laki-laki pelaku poligami tidak ada yang semulia Rasulullah ﷺ. Para istri yang dimadu pun tidak ada yang seagung para ummahatul mukminin. Bisa saja Allah membuat kisah begitu damai dan tentram tanpa konflik pada rumah tangga Rasulullah ﷺ. Namun Allah hendak menunjukkan betapa manusiawinya kehidupan mereka.

Yang salah bukan konflik rumah tangga mereka tapi pensikapan kita terhadap konflik rumah tangga yang mencuat ke permukaan. Apa ada diantara para sahabat yang memviralkan makian Aisyah, amarahnya Zainab, atau bullyan Hafshah ? tidak ada. Tapi coba kalian liat seandainya ada curhatan seorang istri yang dimadu nempel di grup ini, jangankan Nursalam, Zikri, Bambang, Rahma, dan Sita yang rajin komen, itu 45 orang yang silent reader langsung pada nanggapin. Yakin saya.

Rasa simpati, empati, dan perasaan2 lainnya sangat tinggi dari kita. Sehingga kepeduliaan yang kebablasan semakin menambah runyam masalah. Al Quran sudah memberi solusi yang efektif. Urusan internal diselesaikan antara suami istri sampai pada tahap pisah ranjang, jika tak kunjung selesai pake mediasi orang ketiga sebagai pihak yang obyektif memberi solusi terbaik. Nah selama masa2 tersebut kedua pihak menahan diri dan bersabar dalam menjalani ujian ini. Bukannya mengumbar aib di depan media seperti yang dilakukan oleh para artis atau nulis di pesbuk seperti kisah layangan putus. Ini sama aja menyiram bensin ke bara api. Yang terjadi bukannya padam tapi makin membara.

Mengadukan masalah rumah tangga ke media sosial lebih banyak membawa dampak keburukan. Walaupun di saat tercetus, empati akan berhamburan. Apalagi jika masalahnya adalah poligami, menu yang paling enak disantap melebihi nasi uduk betawi yang gak pernah nongol. Bermuncullanlah simpati mulai dari rasa kasihan hingga cemoohan sampai hujatan. Dan akhirnya sampai pada muara, “Gara-gara poligami nih!”

Saat kalian membaca 3 kisah diatas apakah kalian menyalahkan Shafiyyah yang menjadi istri baru Nabi ﷺ ? tentu tidak. Shofiyyah bukan pelakor begitu pula dengan para wanita sekarang yang jadi istri kedua, ketiga, dan keempat. Persoalan ada keributan dari istri2 sebelumnya itu manusiawi, toh ummahatul mukminin juga pernah mengalaminya. Kita tak pernah mempermasalahkan pernikahan Nabi ﷺ dengan para istrinya begitu juga yang terjadi sekarang. Kalian tidak boleh menyalahkan siapapun atas konflik dari poligami. Karena poligami itu syariat Allah. Jangan sampai kita menjadi kufur dengan menyalahkan syariat yang Allah tetapkan. Paham kan ?

Tiru saya, gak baca postingan curhatan layangan putus, gak tau komentar para pembela, pokoknya gak tau apa2 kecuali viralnya saja.

Saya mah emang begitu orangnya… ?

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: