Belajar Menghargai Rasulullah

Belajar Menghargai Rasulullah
Ilustrasi foto: bangkitmedia.com
Bagikan

Belajar Menghargai Rasulullah

Oleh: Ust.Deni Prasetio, SKM

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (33:56)

Jika kita mentadaburi Al Qur’an maka ada satu hal yang terasa menakjubkan perihal Nabi-Nya. Secara khusus Allah memanggil Muhammad ﷺ dengan sebutan ‘Hai Nabi’ atau ‘Hai Rasul’, bukan dengan namanya langsung. Jikapun dipanggil dengan namanya selalu diiringi dengan gelar kerasulannya.

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul….” (3:144)

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi ia adalah Rasulullah….” (33:40)

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ

“Muhammad itu adalah Rasulullah….” (48:29)

Panggilan ini berbeda tatkala Allah memanggil nabi-nabi yang lain. Dari Nabi Adam, Nuh, Idris, Yahya, Yusuf, Daud, Sulaiman, Musa kalamullah, Isa ruhullah, bahkan Khalil-Nya Ibrahim as, mereka semua hanya disebut namanya saja. Hal ini menunjukkan kehormatan dan kemuliaan kedudukan nabi Muhammad saw disisi Allah.

Secinta2nya Rahma Savitri kalo manggil suaminya cuma Aa Agus. Gak pernah manggil Aa Agus Rahmanto, SKM, MA. komplit nama plus gelar. Bahkan Febi yang punya gelar panjang aja dipanggilnya Mas Febi. Maka resapilah oleh kalian bagaimana penghormatan Allah atas Rasulullah ﷺ. Dan yang harus kalian pahami yang manggil adlh Allah Pencipta jagat raya, bukan lagi jenderal atau raja.

Yang menarik adalah tatkala Allah ‘memarahi’ Rasulullah, Allah menegurnya dengan keras

عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ   أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ   وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa)?” (80:1-3)

Perhatikan ayat diatas, kesalahan yang diperbuat Rasul merupakan hal yang dibenci-Nya, terlihat dari penggunaan kata kalla pada ayat 11 yang seolah-olah Allah berkata, selama-lamanya engkau Muhammad jangan berbuat seperti itu !. Ada 4 fungsi kata kalla spt yg sudah saya jelaskan dalam tafsir surat al alaq, kalla pada ayat ini masuk pada kategori pertama. Ditambah lagi dengan beralihnya dhamir ghaib (kata ganti org ketiga)  ke dhamir mukhathab (kata ganti orang kedua) pada ayat ke-3 yang memperlihatkan keseriusan teguran ini. Tetapi teguran keras ini tidak mengurangi penghargaan-Nya kepada Rasulullah. Sejak awal surat Allah sebut Rasulullah saw dengan menggunakan dhamir ghaib, ‘Dia’ untuk menegurnya. Beda halnya jika Allah sebut langsung “engkau bermuka masam !”

Kalian kalau lagi marah sama pasangan pasti bahasanya : ummi/abi gimana sih atau kamu gimana sih ?. Menggunakan kata ganti orang kedua, nyebut langsung namanya. Bandingkan dengan cara Allah ‘memarahi’ RasulNya.

Dari sini kita bisa lihat adanya sebuah ungkapan halus yang hendak diajarkan oleh Penguasa alam semesta ini. Jika Zat Yang Maha Kuasa tanpa ada yang menyamai -Nya, Maha Perkasa tanpa ada yang menandingi -Nya, Maha Mulia tanpa ada yang sanggup mengukur kemuliaan-Nya, Maha Kaya sehingga walaupun seluruh permintaan manusia dari awal hingga akhir dikabulkan oleh-Nya, hal itu tidak akan mengurangi kekayaan-Nya kecuali seperti air yang menetes di ujung jari pada lautan yang luas, jika Dia yang mempunyai sifat seperti itu saja memuliakan Rasul-Nya maka sudah selayaknya manusia yang lemah, yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri, menghormati dan memuliakannya. Kalau Sang Pencipta saja menghormati dan memuliakannya maka mengapa sang makhluk enggan ?

Ada beberapa ayat dalam Al Qur’an yang mengungkapkan ketinggian kedudukan Rasul, antara lain :

1.           Penyebutan kata Rasul sesudah kata Allah pada ayat “taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul” menunjukkan kedudukannya yang mulia. Disamping perintah taat kepada Allah berarti pula taat kepada rasul. Pengulangan kata kerja taat pada ‘taatlah kepada rasul’ berarti menunjukkan bahwa semua perkara yang diperintahkan rasul wajib ditaati meskipun didalam Al Qur’an tidak ada petunjuk tentang perkara tersebut. Inilah kemuliaan yang pertama

2.           يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ اللَّهَ

“Hai Nabi bertakwalah kepada Allah….” (33:1)

Perintah ini tidaklah relevan jika diartikan dengan konteks kita. Bagaimana mungkin Rasul diperintahkan bertakwa padahal beliau adalah pemimpin orang yang bertakwa? Sebab suatu perintah tidak akan layak diberikan kepada orang yang sudah melakukannya, seperti menyuruh duduk pada orang yang sudah duduk. Jadi perintah ini bertujuan untuk melestarikan perintah sebagaimana Allah telah memerintahkan orang yang beriman untuk tetap beriman.

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya….” (4:136)

Dengan perintah ini setiap saat ilmu dan derajat Nabi bertambah sehingga ketakwaannya juga bertambah.  Jadi perintah ini menunjukkan ketinggian derajat beliau.

3.           Allah memuliakan segala hal yang berhubungan dengan beliau, seperti istri-istrinya.

النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ ۗ

“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka….” (33:6) 

Kata ‘istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka’ merupakan tasybih baligh (penyerupaan yang baik) sehingga pengertian ummahatul mukminin itu seperti ibu-ibu mereka (orang mukmin) adalah dalam hal wajibnya dihormati dan dimuliakan serta haram untuk dinikahi. Selain itu jika seorang mukmin hendak bicara dengan ummahatul mukminin maka diharuskan menggunakan hijab (33:35), yang demikian itu bertujuan menjaga kesucian istri-istri beliau.

4.           Allah tidak pernah memberikan kepada Nabi-Nya kecuali yang baik, sehingga Dia melarang Nabi makan zakat dan sedekah karena pada hakekatnya ia merupakan harta kotor. Dalam hal hamba sahaya Allah memilihkan yang baik bagi Nabi.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ

“Hai Nabi sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu….” (33:50).

Dikhususkannya hamba sahaya dari peperangan untuk Nabi mengisyaratkan bahwa ia lebih baik daripada hamba sahaya hasil pembelian. Sebagaimana jihad merupakan pekerjaan yang mulia maka hasil dari pekerjaannya pun mulia. Disamping itu kebiasaan bangsa Arab jika menyebut budak yang didapat dari peperangan dgn nama sabyun thayyibah (tawanan yang baik) sedang budak yang didapat dari cara damai dikatakan sabyun khabitsah (tawanan yang tidak baik). Ayat ini menunjukkan budak yang dimiliki Nabi merupakan budak yang baik.

Pada ayat ini nama Nabi disebutkan secara tegas dua kali

وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا

“… dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya….” (33:50)

Padahal untuk yang kedua kalinya cukup dengan menggunakan dhamir (kata ganti) saja. Ini menunjukkan penghormatan Allah kepada beliau dimana Dia mengulangi kebesaran kedudukannya.

5.           Adanya aturan protokol khusus dari Allah bagi kaum muslimin bila hendak masuk ke rumah rasul

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunda-nunda waktu masak (makanannya)….” (33:53)

Penyebutan buyutan nabi (rumah-rumah Nabi), dimana kata rumah disandarkan pada kata nabi merupakan penghormatan Allah kepadanya, seperti kata naqatallah (unta Allah) dan baitullah (rumah Allah). Ini berarti rumah Nabi memiliki kemuliaan yang tidak dimiliki rumah lain sehingga ada hukum-hukum khusus yang berkaitan dengannyan sebagaimana ada hukum khusus yang berlaku dalam baitullah (kabah) dan unta Allah (dlm kisah nabi Saleh).

Pada akhir ayat ini Allah menggunakan issim isyarah (kata tunjuk) jauh yakni dzalikum

إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا

“…sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah”

Yang mengandung makna bahwa masalah tidak memuliakan rumah Nabi sangat besar nilai keburukan dan kerusakannya. Ditambah lagi dengan kata ‘azhiima’ (amat besar dosanya) berbentuk nakirah yang menunjukkan bahwa perkara ini sangat besar dosanya dan tidak dapat diperkirakan ukuran besarnya dalam pandangan Allah. Ayat ini merupakan penghormatan kepada Rasulullah baik ketika beliau masih hidup maupun sudah wafat.

6.           Setelah semua bentuk penghargaan dan penghormatan kepada Rasulullah saw maka penghargaan terakhir ada pada ayat :

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi…” (33:56).

Secara jelas merupakan perintah langsung bagi kaum muslimin untuk menghormati beliau. Penggunaan kata ‘inna’ (sesungguhnya) dalam bentuk jumlah ismiyah mempunyai arti bahwa rahmat Allah yang dilimpahkan kepada Nabi berlangsung terus menerus tidak terputus-putus. Jumlah fi’liyah yang mengikutinya (pada kata ‘yushollu’) semakin memperkuat penghormatan ini, karena ia berarti pujian dan sanjungan yang berulang-ulang dan kekal. Shalawat Allah kepada Nabi-Nya mengandung arti memberi rahmat dan pujian sedang shalawat malaikat merupakan penghargaan yang berganda kepada nabi dari penghuni langit.

So.. demikianlah besarnya penghargaan yang Allah berikan kepada Rasul-Nya maka Dia mencela orang yang tidak menghargainya dan memasukkan mereka ke dalam golongan orang yang tidak beriman yang tidak akan pernah merasakan kenikmatan mencintai-Nya.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (4:65)

Orang yang dapat menerima putusan Rasul dengan lapang hati hanyalah mereka yang menghargai Sang Pemutus.

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي

“Katakanlah : ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku….” (3:31)

Disini Allah mengaitkan antara cinta dengan ittiba’ (mengikuti) Rasul. Kesempurnaan mahabatullah (cinta kpd Allah) terletak kepada kesempurnaan seseorang ber-ittiba’ kepada Rasul-Nya. Barangsiapa yang mengetahui sunnah Rasul dan mengikutinya maka dia adalah orang yang dilanda mahabbah kepada-Nya. Sebaliknya, barangsiapa yang tidak mengetahui sunnah maka dia diliputi mahabbah selain-Nya.

Siapa saja yang tidak memiliki cinta di dalam hatinya maka ketahuilah ia termasuk golongan yang rugi. Sesungguhnya kenikmatan hidup di dunia yang hakiki adalah ketika seorang mukmin merasakan mahabatullah dalam dirinya. Itulah kenikmatan yang telah dicapai oleh para muqarrabin. Merekalah pemilik hati yang tidak pernah terpaut pada dunia. Merekalah golongan yang merasakan kenikmatan memandang wajah-Nya di surga kelak, begitu nikmatnya sehingga mereka lupa akan kenikmatan yang lain. Hanya bagi pemilik hati yang penuh cinta sajalah yang akan mendapatkan ganjaran ini. Sungguh beruntung mereka…. Sungguh beruntung orang yang mencintai Allah hingga mendapat ganjaran ini… Sungguh beruntung orang yang mengikuti Rasul hingga sampailah ia pada maqam mahabbah… Sungguh beruntung orang yang mempelajari sunnah nabi-Nya kemudian mengikutinya… Dimanakah orang-orang seperti itu?

Disampaikan untuk divisi pembinaan rohis FKM UI bulan November 1998

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: