Demi Allah, Siapakah yang Lebih Baik: Keluarga Fir’aun yang Beriman Ataukah Abu Bakar?
Demi Allah, Siapakah yang Lebih Baik: Keluarga Fir’aun yang Beriman Ataukah Abu Bakar?
Dari sekian banyak manusia, hanya sedikit orang yang mendapatkan gelar Ash-Shiddiq atau orang yang sangat jujur lagi tulus imannya dan sempurna amalan syariatnya.
Satu yang terkemuka adalah sahabat terdekat Rasulullah ﷺ yaitu Abdullah bin Abi Quhafah At-Taimy atau Abu Bakar.
Selain beliau, di dalam Al-Quran, Allah Ta’ala menyebut para utusan-Nya dengan gelar shiddiq. Di antaranya adalah Nabi Ibrahim as. (QS Maryam, 19:41), kemudian Nabi Ismail as. (QS Maryam, 19:54), dan Nabi Idris as. (QS Maryam, 19:56)
Salah satu ciri paling kentara dari sosok Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah besarnya rasa cinta beliau kepada Rasulullah ﷺ.
Salah seorang putra Abu Bakar, yaitu Abdurrahman, termasuk orang yang tidak bersegera masuk Islam. Pada saat terjadinya Perang Badar, dia berada di pihak kaum kafir Quraisy melawan pasukan kaum Muslim.
Abdurrahman, yang dikenal sangat pemberani dan mahir dalam membidikan anak panah dan melempar tombak, berusaha untuk tidak berhadapan dengan Abu Bakar, ayahandanya. Hal itu dilakukan kerena rasa hormatnya kepada sang ayah.
Kelak, setelah masuk Islam, dia berkata kepada Abu Bakar, “Sungguh, saat terjadinya Perang Badar, dirimu tampak jelas di hadapanku sebagai sasaran senjataku. Namun, aku berpaling darimu dan tidak jadi membunuhmu!”
Apa jawaban Abu Bakar atas pernyataan anaknya ini? Dia berkata, “Andaikan saat itu engkau ada di hadapanku, aku tidak akan berpaling darimu (tidak segan untuk membunuhmu).”
Dari sini tampak jelas bahwa cintanya Abu Bakar Ash-Shiddiq, kepada Allah dan rasul-Nya telah mengalahkan cintanya kepada apapun, termasuk kepada anak kandungnya sendiri.
Pada saat pembukaan kota Mekkah (Fathu Mekkah) pada tahun 8 Hijriyah, yang merupakan hari kemenangan umat Islam, Abu Quhafah (ayahnya Abu Bakar) menyatakan masuk Islam. Keislamannya terhitung terlambat karena saat itu matanya telah buta.
Maka, Abu Bakar menggandeng ayahandanya itu untuk menemui Rasulullah ﷺ untuk mengumumkan keislamannya sekaligus berbai’at kepada beliau.
Saat itu, Nabi ﷺ berkata, “Wahai Abu Bakar, mengapa ayahmu tidak engkau suruh diam saja di rumah, biarlah kita yang mendatangi dia?” Abu Bakar menjawab, “Sesungguhnya, engkau lebih berhak untuk didatangi wahai Rasulullah.”
Abu Quhafah pun masuk Islam di hadapan Nabi ﷺ. Kala itu, menangislah Abu Bakar.
Para sahabat lalu bertanya kepadanya, “Ini adalah hari kebahagiaan. Ayahmu telah masuk Islam. Maka, dia telah selamat dari api neraka. Lalu apa yang menyebabkan engkau menangis?”
Resapilah apa yang dikatakan Abu Bakar, “Karena, aku lebih menyukai bahwa yang berbai’at kepada Nabi ﷺ (masuk Islam) saat ini bukanlah ayahku, akan tetapi Abu Thalib. Sesungguhnya, hal itu akan banyak mendatangkan kebahagiaan bagi beliau.”
Karena kualitas keimanannya Abu Bakar yang sulit dicari bandingannya, Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada para sahabatnya.
“Demi Allah, aku bersumpah kepada kalian, siapakah yang lebih baik: keluarga Fir’aun yang beriman ataukah Abu Bakar?”
Orang-orang pun terdiam.
Ali bin Abi Thalib kemudian menjawab sendiri pertanyaannya, “Demi Allah, satu jamnya Abu Bakar jauh lebih baik daripada seluruh waktu keluarga Fir’aun yang beriman.
Bagaimana tidak, mereka menyembunyikan keimanannya sedangkan Abu Bakar menampakan keimanannya (secara terang-terangan). Dia pun mengorbankan harta berikut jiwanya untuk Allah Ta’ala.” (Al-Bidayah wan Nihayah, 3:272, Imam Ibnu Katsir)
Disarikan dari Akhlâqul Mu’min (Dr. Amru Khalid) dan 150 Qishah Min Hayâti Abu Bakar Ash-Shiddiq (Ahmad ‘Abdul ‘Al Ath-Thahthawi).
Recent Comments