Mu’jizat Isra’ dan Mi’raj

Mu’jizat Isra’ dan Mi’raj
Oleh: Dr.Said Ramadhan Al Buthy (dikutip dari buku Fiqih Sirah)
Isra’ ialah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram Masjidil Aqsha sedangkan Mi’raj ialah kenaikan Nabi SAW menembus beberapa lapisan langit tertinggi sampai batas yang tidak dapat dijangkau oleh ilmu semua makhluk, Malaikat, manusia dan jin. Semua itu ditempuh dalam sehari semalam.
Kisah perjalanan ini disebutkan oleh Bukhari dan Muslim secara lengkap di dalam shahihnya. Disebutkan bahwa dalam perjalanan ini Rasulullah saw menunggang Buroq yakni satu jenis binatang yang lebih besar sedikit dari keledai dan lebih kecil sedikit dari unta. Binatang ini berjalan dengan langkah sejauh mata memandang. Disebutkan pula bahwa Nabi saw memasuki Masjidil l-Aqsha lalu shalat dua raka’at di dalamnya. Rasulullah saw naik hingga sampai ke Sidratul Muntaha. Di sinilah kemudian Allah mewahyukan kepadanya apa yang telah diwahyukan di antaranya kewajiban shalat lima waktu atas kaum Muslim, dimana pada awalnya sebanyak lima puluh kali sehari semalam.
Keesokan harinya Rasulullah saw menyampaikan apa yang disaksikan kepada penduduk Mekkah. Orang-orang musyrik malah mendustakan dan menertawakan. Sehingga sebagian mereka menantang Rasulullah saw untuk menggambarkan Baitul-maqdis, jika benar ia telah pergi dan melakukan shalat di dalamnya. Allah memberikan petunjuk dan memperlihatkan gambaran Baitul Maqdis di hadapan Rasulullah saw sehingga beliau bisa menjelaskannya dengan rinci.
Berita ini sampai ke Abu Bakar dan beliau membenarkannya, walaupun lebih dari itu.
Pada pagi harinya di malam Isra’ itu Jibril datang kepada Rasulullah saw mengajarkan cara shalat dan menjelaskan waktu-waktunya.
Beberapa Ibrah
Pertama : Penjelasan tentang Rasul dan Mu’jizat
Banyak penulis yang begitu gemar menggambarkan kehidupan Rasulullah saw sebagai kehiduapn manusia biasa, jauh dari hal-hal yang luar biasa dan mu’jizat. Bahkan tidak memperhatikan sama sekali adanya kemu’jizatan dalam kehidupan nabi saw dengan berdalil kepada ayat :
“Katakanlah, “Sesungguhnya mu’jizat itu hanya berada di sisi Allah …..“ QS al-An’am :
Gambaran seperti ini akan memberikan kesan kepaa para pembaca bahwa Sirah Rasulullah saw sama sekali jauh dari mu’jizat dan bukti-bukti yang biasanya digunakan Allah untuk mendukung para Nabi-Nya yang jujur dan benar.
Jika kita telusuri sumber “teori“ tentang Rasulullah saw ini ternyata kita dapati berasal dari pemikiran sebagian orientalis dan peneliti asing, seperti Gustav Lobon, August Comte dan Goldzieher dan teman-temannya. Timbulnya teori ini disebabkan oleh tidak adanya keimanan kepada pencipta mu’jizat. Sebab jika keimanan kepada Allah telah menghujam di dalam hati, maka akan mudah untuk meyakini segala sesuatu. Bahkan tidak akan ada lagi di dunia ini sesuatu yang berhak disebut mu’jizat.
Tragisnya teori ini telah disambut baik oleh sebagian pemikir muda Muslim, seperti Syaikh Muhammad Abduh, Muhammad Farid Wajdi dn Husain Haikal. Mereka menyebarkan pemikiran-pemikiran asing ini hanya karena tertipu oleh kelicikan tipu daya musuh dan fenomena kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa dan Barat.
Kemudian pemikiran-pemikiran asing yang dikemukakan oleh sebagian pemikir muda Muslim ini oleh para musuh Islam, khususnya orientalis, dijadikan alat utuk membuka medan- medan dan ladang-ladang baru untuk melakuan ghazwul fikri dan menimbulkan keraguan kaum Muslim terhadap agamanya. Senjata bagi serbuan langsung terhadap aqidah Islamiyah dan penanaman pemikiran-pemikiran sekuler di benak kaum Muslimin.
Demikianlah mereka mulai memberikan sifat-sifat tertentu kepada Rasulullah saw , seperti heroik, jenius, pahlawan, dan pemimpin dalam arti kata yang serba menakjubkan. Pada waktu yang sama mereka menggambarkan kehidupan umum Rasulullah saw jauh dari mu’jizat dan hal-hal yang luar biasa yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran, sehingga dengan demikian akan tercipta suatu gambaran baru tentang diri Nabi saw, di dalam benak kaum Muslim. Kadang mereka menamakan Rasulullah saw sebagai seorang jeius, atau seorang komandan, atau seorang pahlawan. Tetapi sesuatu yang tidak boleh muncul sama sekali adalah gambaran bahwa Muhammad saw sebagai seorang Nabi dan Rasul. Sebab semua hakekat kenabian dan segala hal yang berkaitan dengannya seperti wahyu, mu’jizat dan hal-hal yang luar biasa lainnya telah dibunag melalui penonjolan istilah-istilah tertentu, seperti jenius dan pahlawan yang jauh dari mu’jizat ke dalam keranjang mitologi atau dongeng-dongeng yang sudah usang. Ini karena mereka menyadari bahwa fenomena wahyu dan kenabian merupaakan puncak kemu’jizatan.
Pada saat itulah akan muncul anggapan bahwa sebab kemajuan dakwah Rasulullah saw dan banyaknya pengikut yang setia kepadanya, adalah kaerne faktor kejeniusan dan kepahlawanannya. Perhatikanlah! Sesungguhnya sasaran yang ingin mereka capai ini nampak jelas ketika mereka memasarkan istilah “Muhammadaniest“ sebagai danti dari Muslimin.
Tetapi sejauh manakah kebenaran gambaran tentang diri Muhammad saw ini dalam kacamata kajian yang objektif dan logis?
Pertama, jika kita perhatikan kembali fenomena wahyu yang nampak dengan jelas pada kehidupan Rasulullah saw (pada bab terdahulu telah dijelaskan secara rinci), nyatalah bagi kita bahwa sifat-sifat yang paling menonjol dalam kehidupannya ialah sifat kenabian. Kenabian adalah termasuk nilai-nilai keghaiban yang tidak mengikuti kriteria-kriteria kita yang bersifat empirik. Dengan demikian arti mu’jizat yang diluar kebiasaan itu tetap ada pada pangkal keberadaan Nabi saw. Tidak mungkin kita menolak mu’jizat dan hal-hal yang luar biasa dari kehidupan Nabi saw, kecuali dengan menghancurkan makna kenabiasn itu sendiri dari kehidupannya. Ini berarti juga penolakkan terhadap agama itu sendiri, kendatipun kesimpulan ini tidak disebutkan secara eksplisit oleh sebagian orientalis dan cukup dengan menjelaskan kejeniusan dan keberanian Rasulullah saw. Mereka tidak perlu lagi menjelaskan kesimpulan karena telah cukup dengan muqaddimah. Kesimpulan akan terbentuk secara otomatis setelah diteirma muqaddimahnya.
Namun banyak pula di antara mereka yang seara terus terang menyebutkan
“kesimpulan“ karena kebencian yang tak tertahankan lagi. Seperti Syibli Syamil ketika menamakan keimanan kepada agama dengan “keimanan kepada mu’jizat yang mustahil“
Dengan demikian tidak ada gunanya lagi membahas keingkaran atau keimanan mereka terhadap mu’jizat , karena sejak awal mereka sudah meragukan atau menolak dasar agama itu sendiri.
Kedua, jika kita perhatikan Sirah kehidupan Rasulullah saw , maka akan kita dapati bahwa Allah telah memberikan banyakmu’jizat kepada Nabi saw. Keberadaan dan kebenaran mu’jizat-mu’jizat ini tidak dapat kita tolak begitu saja, karena peristiwa-peristiwa mu’jizat itu disampaikan kepada kita dengan sanad-sanad yang shahih dan mutawatir yang mencapai tingkatan pasti dan yakin.
Di antara peristiwa memancarnya air dari jari-jari Rasulullah saw yang mulia. Peristiwa ini diriwayatkan oleh Bukhari di dalam bab Wudhu’, Muslim di dalam bab al-Faha’il (keutamaan), Malik di dalam al-Muqaththa’, dan imam-imam hadits lainya dengen beberapa jalan yang berlainan. Sehingga az-Zarqani meriwayatkan perkataaan al-Qurthubi: Sesungguhnya peristiwa memancarnya air dari jari-jari Rasulullah saw berulang-ulang di beberapa tempat. Peristiwa ini juda diriwayatkan dari jalan yang banyak, yang semuanya mencapai tingkatan pasti, bahkan dapat dikatakan mutawatir ma’nawi.
Mu’jizat Rasulullah saw lainnya ialah peristiwa terbelahnya bulan pada masa Nabi saw ketika orang-orang musyrik memintanya. Perisitwa ini diriwayatkan oleh Bukhari di dalam bab Ahaditsul-Anbiya, Muslim di dalam bab Shifatul – Qiyamah dan imam-imam hadits lainnya. “Para ulama telah sepakat bahwa peristiwa ini terjadi pada masa Nabi saw dan merupakan salah satu mu’jizat yang mengagumkan.
Dan peristiwa Isra’ Mi’raj yang sedang kita bahas ini juga merupakan salah satu mu’jizat Nabi saw, bahkan sebagian besar kaum Muslimin telah sepakat bahwa Isra’ dan Mi’raj ini termasuk mu’jizat Nabi saw yang terbesar.
Tetapi anehnya orang-orang yang memberikan sifat jenius kepada Rasulullah saw dan menolak apa yang disebut mu’jizat dari kehidupannya, berpura-pura tidak mengetahui hadits- hadits mutawatir yang mencapai tingkat derajat Qath’i (pasti) ini: Mereka tidak pernah mau menyinggungnya sama sekali, bai dalam konteks positif ataupun negatif, seolah-olah kitab-kitab hadits tidak pernah memuatnya. Padahal masing-masingnya diriwayatkan lebih dari sepuluh jalan (sanad).
Penyebab utama daris ikap tidak mau tahu ini ialah karena mereka ingin menghindari kemusykilan yang akan mereka hadapi manakala membaa hadits-hadits tentang mu’jizat ini.
Ketiga, mu’jizat ialah sebuah kata yang jika direnungkan tidak memiliki definisi yang berdiri sendiri. Ia hanya suatu makna yang nisbi. Setiap kebiasaan pasti akan berkembang mengikuti perkembangan jaman dan berlainan sesuai dengan perbedaan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Tetapi yang benar, bahwa sesuatu yang biasa dan yang luar biasa itu pada dasarnya adlah mu’jizat.
Galaksi ada mu’jizat planet adalah mu’jizat, hukum gaya tarik adalah mu’jizat, peredaran darah adalah mu’jizat, ruh adalah mu’jizat dan manusia itu sendiri adlaah mu’jizat. Sungguhn tapat ketiak seorang ilmuwan Prancis, chatubriant menamakan manusia ini dengan makhluk metafisk, yakni makhluk ghaib yang misterius.
Seandainya manusia mau berpikir lebih jauh sedikit, niscaya akan nampak baginya bahwa Allah yang menciptakan mu’jizat seluruh alam semesta ini tidak pernah kesulitan untuk menambahkan mu’jizat lain, atau mengganti sebagian sistem yang telah berjalan di dalam semsta ini. Seorang orientalis, William Johns pernah sampai kepada pemikiran seperi ini ketika mengatakan :
“Kekuatan yang telah menciptakan alam semesta ini tidak pernah kesulitan untuk membuang atau menambahkan sesuatu kepadanya. Tetapi yang harus dikatakan bahwa masalah ini tidak tergambarkan, bukan tidak dapat digambarkan sampai ke tingkat adanya alam.“
Akan ada alam. Niscaya dia akan langsung menjawab,“Ini tidak mungkin dapat digambarkan.“ Penolakkannya terhadap gambaran seperti ini akan lebih keras ketimbang penolakkannya terhadap gambaran adanya mu’jizat.
Kedua : Kedudukan Mu’jizat Isra’ dan Mi’raj di antara peristiwa-peristiwa yang telah dialami Rasullah saw pada waktu itu.
Rasulullah saw telah merasakan berbagai penyiksaan dan gangguan yang dilancarkan kaum Quraisy kepadanya. Di antara penderitaan yang terakhir (sampai terjadinya Isra’ dan Mi’raj) ialah apa yang dialaminya ketika hijrah ke Thaif yang telah dijelaskan pada bab terdahulu. Perasaan tidak berdaya sebagai manusia, dan betapa perlunya kepada pembelaan, terungkapkan seluruhnya di dalam doa nabi saw yang diucapkannya setelah tiba di kebun kedua anak Rabi’ah. Suatu ungkapan yang menggambarkan Äubudiyah kepada Allah. Bahkan ia khawatir jangan-jangan apa yang dialaminya ini karena murka Allah kepadanya. Karenanya, diantara untaian doanya, terucapkan kalimat :
“Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua ini tidak aku hiraukan.”
Ketiga, Makna yang terkandung dalam perjalanan isra’ ke baitul-Maqdis
Berlangsungnya perjalanan Isra’ ke Baitul-Maqdis dan Mi’raj ke langit ketujuh dlaam rentang waktu yang hampir bersamaan, menunjukkan betapa tinggi dan mulia kedudukan Baitul-Maqdis di sisi Allah. Juga merupakan bukti nyata akan adanya hubungan yang sangat erat antara ajran Isa as dan ajaran Muhammad saw. Ikatan agama yang satu yang diturunkan Allah kepada para Nabi as.
Peristiwa ini juga memberikan isyarat bahwa kaum Muslim di setiap tempat dan waktu harus menjaga dan melindungi rumah suci (Baitul-Maqdis) ini dari keserakahan musuh-musuh Islam. Seolah-olah hikmah Ilahiyah ini mengingatkan kaum Muslim jaman sekarang agar tidak takut dan menyerah menghadapi kaum Yahudi yang tengah menodai dan merampas rumah suci ini, utuk membebaskannya dari tangan-tangan najis, dan mengembalikannya kepada pemiliknya kaum Muslimin.
Siapa tahu? Barang kali peristwia Isra’ yang agung inilah yang telah mengerahkan Shalahudin al -Ayyubi untuk mengerahkan segala kekuatannya melawan serbuan-serbuan Salib dan mengusirnya dari rumah Suci ini.
Keempat pilihan Nabi saw terhadap minuman susu, ketika Jibril menawarkan dua jenis minuman, susu dan khamar, merupakan isyarat secara simbolik bahwa Islam adalah agama fitrah . Yakni agma yang aqidah dan seluruh huumnya sesuai dengan tuntutan fitrah manusia.
Ia tetap cenderung ingin melepaskan segala bentuk beban dan ikatan-ikatan yang jauh dari tabiatnya.
Kelima, Jumhur Ulama sepakat bahwa Isra’ dan Mi’raj dilakukan dengan jasad dan ruh Nabi saw.
Imam Nawawi berkata di dalam Syarhu Muslim, “Pendapat yang benar menurut kebanyakan kaum Muslim, Ulama Salaf, semua Fuqaha, ahli hadits dan ahli ilmu tauhid , adalah bahwa Nabi saw diisra’kan dengan jasad dan ruhnya.
Pendapat inilah yang diikuti oleh Jumhur Ualama, ahli hadits, ahli fiqih, dan ilmu kalam.
Di antara dalil yang secara tegas menunjukkan bahwa Isra’ dan Mi’raj dilakukan dengan jasad dan ruh, ialah sikap kaum Quraisy yang menentang keras kebenaran peristiwa ini. Seandainya peristiwa ini hanya melalui mimpi , kemudian Rasulullah saw menyatakannya demikian kepada mereka, niscaya tidak akan mengundang keberanian dan pengingkaran sedemikian rupa. Bahkan mimpi seperti itu, pada waktu itu bisa saja dialami oleh orang Muslim dan kafir.
Mengenai bagaimana mu’jizat ini berlangsung, dan bagaimana akal dapat menggambarkannya, maka sesungguhnya mu’jizat ini tidak jauh berbeda dari mu’jizat alam semesta dan kehidupan ini.
Keenam, hati-hatilah dari yang disebut dengan “Mi’raj Ibnu Abbas“. Buku ini berisi kumpulan cerita palsu yang tidak memiliki sandaran kebenaran sama sekali. Penulisnya telah berdusta besar atas nama Ibnu Abbas. Setiap orang yang terpelajar dan berakal sehat pasti mengetahui bahwa Ibnu Abbas r.a. bebas dari segala kedustaan yang ada di dalam buku tersebut.
Recent Comments