Hijrah Rasulullah SAW ke Thaif
Hijrah Rasulullah SAW ke Thaif
Oleh: Dr.Said Ramadhan Al Buthy (dikutip dari buku Fiqih Sirah)
Setelah Rasulullah mendapatkan bermacam penderitaan dari kaum Quraisy, beliau hijrah ke Thaif dengan harapan mendapatkan dukungan dan menerima ajaran Islam yang dibawanya.
Setelah sampai di Thaif, Rasulullah menemui pemuka bani Tsaqif yang berkuasa berkuasa di daerah tersebut. Beliau berdialog dengan mereka dan mengajak mereka beriman kepada Allah. Tetapi ajakan beliau tersebut ditolak mentah-mentah dan dijawab secara kasar. Kemudian Rasulullah saw bangkit dan meninggalkan mereka, seraya mengharap supaya mereka menyembunyikan berita kedatangannya ini dari kaum Quraisy, tetapi merekapun menolaknya.
Mereka lalu mengerahkan kaum penjahat dan para budak untuk mencerca dan melemparinya dengan batu, sehingga mengakibatkan cidera pada kedua kaki Rasulullah saw. Zaid bin Haritsah berusaha melindungi Rasulullah tapi malah dia terlka di bagian kepalanya.
Setelah Rasulullah saw sampai di kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah kaum penjahat dan para budak yang mengejarnya berhenti dan kembali. Tetapi tanpa diketahui ternyata beliau sedang diperhatikan oleh dua orang anak Rabi’ah yang sedang berada di dalam kebun. Setelah istirahat dan merasa tenang, Rasulullah saw berdoa disana.
Berkat do’a Rasulullah saw itu tergeraklah rasa iba di dalam hati kedua anak lelaki Rabi’ah yang memiliki kebun itu. Dipanggillah pelyannya yang Nasrani, yang bernama Addas ” Addas, ambilkan anggur dan berikan kepada orang itu! “Ketika Addas meletakkan anggur itu di hadapan Rasulullah saw, dan berkata kepadanya, “Makanlah!” Rasulullah saw mengulurkan tangannya seraya mengucapkan, “Bismillah”. Kemudian dimakannya.
Mendengar ucapan beliau itu, Addas berkata, “Demi Allah, kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh penduduk daerah ini. “Rasulullah saw bertanya tentang asal daerah dan agamanya.
Addas menjawab bahwa dia seorang Nasrani dari Ninawa. Rasululullah bertanya lagi apakah ia dari negeri orang saleh bernama Yunus anak Matius. Rasulullah saw menjelaskan bahwa Yunus bin Matius adalah saudaranya. Ia seorang Nabi dan aku pun seorang Nabi. “Seketika itu juga Addas berlutut di hadapan Rasulullah saw, lalu mencium kepala, kedua tangan dan kedua kaki beliau.
Kisah mereka ini disebutkan Allah di dalam firman-Nya :
“Dan ingatlah ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya), lalu mereka berkata, “Diamlah kamu (untuk mendengarkanya). “Ketika pembacaan telah selesai, maka kembali mereka kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.“ QS al-Ahqaf : 29-
Dan di dalam firman-Nya yang lalu :
“Katakanlah (hai Muhammad), “Telah diwahyukan kepadaku bahwa telah mendengarkan sekumpulan jin (akan al-Quran) lalu mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Quran yang menakjubkan.“ QS al-Jin : 1
Kemudian Rasulullah saw bersama Zaid berangkat menuju ke Mekkah. Ketika itu Zaid bin Haritsa bertanya kepada Rasulullah saw, “Bagaimana engkau hendak pulang ke Mekkah, sedangkan penduduknya telah mengusir engkau dari sana? “Beliau menjawab, “Hai Zaid, sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi-Nya.”
Lalu Nabi saw mengutus seorang lelaki dari Khuza’ah untuk menemui Muth’am bin ‘Adi dan mengabarkan bahwa Rasulullah saw ingin masuk ke Mekkah dengan perlindungan darinya. Keinginan Nabi saw ini diterima oleh Muth’am sehingga akhirnya Rasulullah saw kembali memasui Mekkah.
Beberapa Ibrah
Dari peristiwa hijrah yang dilakukan Rasulullah sw ini dan dari siksaan dan penderitaan yang ditemuinya dalam perjalanan ini, kemudian dari proses kembalinya Rasulullah saw ke Mekkah, kita dapat menarik beberapa pelajaran berikut :
Pertama, bahwa semua bentuk penyiksaan dan penderitaan yang dialami Rasulullah saw, khususnya dalam perjalanan hijrah ke Thaif ini hanyalah merupakan sebagian dari perjuangan tabligh-nya kepada manusia.
Diutusnya Rasulullah saw bukan hanya untuk menyampakan aqidah yang benar tentang alam dan penciptaannya, hukum-hukum ibadah, akhlak, dan mu’amalah tetapi juag untuk menyampaikan kepada kaum Muslimin kewajiban bersabar yang telah diperintahkan Allah dan menjelaskan cara pelaksanaan sabar dan mushabarah (melipatgandakan kesabaran) yang diperintahkan Allah di dalam firman-Nya :
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat (cara) aku shalat.”
Sabda Nabi saw :
“Ambillah dariku manasik (cara pelaksanaan ibadah haji) mu.”
Jika hal ini dikaitkan dengan kesabaran, maka seolah-olah Rasulullah saw melalui kesabaran yang telah dicontohkannya, memerintahkan kepada kita, “Bersabarlah sebagaimana kamu melihat aku bersabar. “Sebab bersabar merupakan salah atu prinsip Islam terpenting yang harus disampaikan kepada semua manusia.
Dalam memandang fenomena hijrah Rasulullah saw ke Thaif ini, mungkin ada orang menyimpulkan bahwa Rasulullah saw telah menemui jalan buntu dan merasa putus asa, sehingga dalam menghadapi penderitaan yang sangat berat itu ia mengucapkan doa tersebut kepada Allah, setelah tiba di kebun kedua anak Rabi’ah.
Tetapi sebenarnya Rasulullah saw telah menghadapi penganiayaan tersebut dengan penuh ridha, ikhlas dan sabar. Seandainya Rasulullah saw tidak sabar menghadapinya tentu beliau telah membalas jika suka tindakan orang-orang jahat dan para tokoh Bani Tsaqif yang mengerahkan mereka. Namun ternyata Rasulullah saw tidak melakukannya.
Di antara dalil yang menguatkan apa yang kami kemukakan ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a , ia berkata :
Jawab Nabi saw, “Bahkan aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dengan sesuatu pun.”
Ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada para sahabatnya dan ummatnya sesudahnya, kesabaran dan seni kesabaran dalam menghadapi segala macam penderitaan di jalan Allah.
Mungkin timbul pertanyaan lain: Apa arti pengaduan yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw? Apa maksud lafadzh-lafadzh doanya yang mengungkapkan perasaan putus asa dan kebosanan akhibat berbagai usaha dan perjuangan yang hanya menghasilkan penderitaan dan penyiksaan?
Jawabnya, bahwa pengaduan kepada Allah adalah ‘ibadah. Merendahkan diri kepada- Nya dan menghinakan diri di hadapan pintu-Nya adalah perbuatan taqarrub ketaatan.
Sesungguhnya penderitaan dan musibah yang menimpah manusia mempunyai beberapa hikmah. Di antaranya, akan membawa orang yang mengalami musibah dan penderitaan itu kepada pintu Allah dan meningkatkan ‘Ubudiyah kepada-Nya. Maka tidak ada pertentangan antara kesabaran terhadap penderitaan dan pengaduan kepada Allah. Bahkan kedua sikap ini merupakan tuntutan yang diajarkan Rasulullah saw kepada kita. Melalui kesabarannya terhadap penderitaan dan penganiayaan, Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada kita bahwa kesabaran ini adalah tugas kaum Muslimin secara umum, dan para da’i secara khususnya. Melalui pengaduan dan taqarrub kepada Allah, Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada kita kewajiban ‘ubudiyah dan segala konsekuensinya kepada kita.
Perlu disadari betatapun tingginya jiwa manusia, dia tidak akan melampaui batas kemanusiaannya. Manusia selamanya tidak dapat menghindari diri dari fitrah, perasaannya, perasan senang dan sedih, perasaan menginginkan kesenangan dan tidak menghendaki kesusahan.
Ini berarti bahwa Rasulullah saw kendatipun telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi berbagai penganiayaan dan penyiksaan di jalan Allah, tetapi beliau tetap memiliki perasaan sebagai manusia, merasa sakit bila tertimpa kesengsaraan, dan merasa bahagia bila mendapatkan kesenangan.
Tetapi Rasulullah saw rela menghadapi penderitaan berat dan meninggalkan kesenangan demi mengharap ridhah Allah dan menunaikan kewajiban ‘ubudiyah . Di sinilah letak pemberian pahala dan terlihatnya arti taklif (pembebanan) kepada manusia.
Kedua, jika anda perhatikan setiap peristiwa Sirah Rasulullah saw bersama kaumnya, akan akan dapati bahwa penderitaan yang dialami oleh Rasulullah saw kadang sangat berat dan menyakitkan. Tetapi pada setiap penderitaan dan kesengsaraan yang dialaminya selalu diberikan penawar yang melegakan hati dari Allah swt. Penawar ini dimaksudkan sebagai hiburan bagi Rasulullah saw agar faktor-faktor kekecewaan dan perasaan putus asa tidak sampai merasuk ke dalam jiwanya.
Dalam peristiwa hijrah Rasulullah saw ke Thaif dengan segala penderitaan yang ditemuinya, baik berupa penyiksaan ataupun kekecewaan hati, dapat anda lihat adanya penawar Ilahi terhadap kebodohan orang-orang yang mengejar dan menganiayanya. Penawar ini tercermin pada seorang lelaki Nasrani, Addas, ketika datang kepadanya seraya membawa anggur, kemudian bersimpuh di hadapannya seraya mencium kepada, kedua tangan dan kakinya, setelah Nabi saw mengabarkan kepadanya bahwa dirinya adalah seorang Nabi.
Peristiwa ajaib simbol-simbol takdir yang terdapat di dalam peristiwa ini! Kebaikan, kedermawanan dan kemuliaan datang begitu cepat memintakan ma’af atas kejahatan, kebodohan dan kedzaliman yang baru saja dialaminya. Kecupan mesra itu datang setelah umpatan-umpatan permusuhan.
Sesungguhnya kedua anak Rabi’ah termasuk musuh bebuyutan Islam. Bahkan termasuk di antara orang-orang yang mendatangi Abu Thalib, paman Rasulullah saw meminta agar Abu Thalib menghentikan Muhammad saw atau membiarkan mereka bertarung melawan Muhammad, sampai salah satu di antara kedua keompok hancur binasa. Tetapi naluri kebiadaban itu berubah dengan serta merta menjadi naluri kemanusiaan yang dibawa oleh agama ini, karena masa depan agama berkaitan erat dengan pemikiran, bukan dengan naluri.
Demikianlah, agama Nasrani datang memeluk Islam dan mendukungnya, karena satu agama yang benar dengan agama yang benar lainnya ibarat seseorang dengan saudara kandungnya. Jika hubungan antara dua orang bersudara itu adalah hubungan darah, maka hubungan antara satu agama benar dengan agama benar lainnya adalah hubungan akal dan pemahaman yang benar.
Setangkai anggur yang telah dipetik ini menjadi simbol bagi ikatan Islam yang agung dan penuh kasih sayang, setiap buah anggur melambangkan sebuah pemerintahan Islam.
Ketiga, tindakan Zaid bin Haritsa yang melindungi Rasulullah saw merupakan contoh yang harus dilakukan oleh setiap kaum Muslimin dalam bersikap terhadap pemimpin dakwah. Ia harus melindungi pemimpin dakwah dengan dirinya sekalipun harus mengorbankan kehidupannya.
Demikianlah sikap para sahabat terhadap Rasulullah saw. Sekalipun beliau sudah tidak ada di antara kita sekarang, namun kita dapat melakukannya dalam bentuk yang lain, yaitu, dengan kesiapan diri kita dalam menghadapi segala penderitaan dan penyiksaan di jalan dakwah Islam, dan menyumbangkan perjuangan berat sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah saw.
Tetapi setiap jaman dan masa harus ada para pemimpin dakwah Islam yang menggantikan kepemimpinan Nabi saw dalam berdakwah, di mana prajurit yang setia dan ikhlas di sekitar mereka mendukung para pemimpin terssebut dengan harta dan jiwa sebagaimana yang telah dilakukan kaum Muslimin kepada Rasulullah saw.
Keempat, apa yang dikisahkan oleh Ibnu Ishaq tentang beberapa jin yang mendengarkan bacaan Rasulullah saw ketika sedang melakukan shalat malam di Nikhlah, merupakan dalil bagi eksistensi jin , dan bahwa mereka mukallaf (dibebani kewajiban melaksanakan syariat Islam). Jin ada yang beriman dan ada juga yang ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalil ini telah mencapai tingkatan qath’i (pasti) dengan disebutkannya di dalam beberapa nash al-Quran yang jelas, seperti beberapa ayat pada awal surat al-Jin dan seperti firman Allah di dalam surat al-Ahqaf ayat 29-31:
Berikut ini teks yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Ibnu Abbas :
“Bahwa Nabi saw berangkat bersama sejumlah sahabatnya menuju pasar ‘Ukazh . Dalam pada itu, setan-setan ikut kembali. Mereka bertanya mengapa dihalangi memperoleh kabar langit dan dilempari bintang?
Rasulullah menjawab,“ Tak ada yang menghalangi kamu kecuali apa yang telah terjadi. Maka pergilah ke segala penjuru dunia, dari ujung timur sampai ke ujung barat, dan perhatikanlah peristiwa apakah yang terjadi itu?“ Lalu mereka pergi melacak dari ujung timur sampai ke ujung barat, mencari apa gerangan yang menghalangi mereka dari mendapatkan kabar langit itu ? Maka berangkatlah mereka yang pergi ke Tihamah menuju kepada Rasulullah saw di Nikhlah hendak ke pasar ‘Ukazh, ketika itu Rasulullah saw sedang mengimami para sahabatnya dalam shalat subuh. Ketika mendengar bacaan al-Quran dengan penuh perhatian mereka mendengarkannya. Kemudian mereka berkata, “Inilah yang menghalangi kita dari kabar langit.“ Setelah itu mereka kembali kepada kaum mereka seraya berkata ,“ Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Quran (bacaan) yang menakjubkan yang menunjukkan kepada kebenaran, lalu kami mempercayainya, dan kkami tidak menyekutukan Rabb kami dengan siapapun.“ Lalu Allah menurunkan (ayat) kepada Nbi-Nya,“ Katakanlah ,“Telah diwahyukan kepadaku bahwasannya telah mendengarkan sekumpulan jin (akan al-Quran) …“
Teks yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi sama dengan riwayat ini, hanya saja terdapat tambahan di awal hadits : Rasulullah saw tidak membacakan kepada jin, juga tidak melihat mereka. Ia berangkat bersama sejumlah sahabatnya.
Al-Asqalani berkata: Seolah-olah Bukhari sengaja membuang lafadzh ini, karena Ibnu Mas’du menyebutkan bahwa Nabi saw membacakan kepada jin. Maka riwayat Ibnu Mas’du didahulukan daripada penafikan Ibnu Abbas. Bahkan Muslim telah mengisyaratkan hal ini, kemudian meriwayatkan hadits Ibnu Mas’du setelah hadits Ibnu Abbas ini. Nabi saw bersabda:
“Telah datang kepadaku seorang penyeru dari bangsa jin, lalu aku berangkat bersamanya, kemudian akau bacakan al-Quran kepadanya”.Antara dua riwayat ini dapat dikompromikan dengan mengatakan bahwa peristiwa terjadi beberapa kali.
Riwayat Muslim, Bukhari dan Tirmidzi ini berbeda dengan riwayat Ibnu Ishaq dalam dua segi. Pertama, riwayat Ibnu Ishaq tidak menyebutkan bahwa Nabi saw shalat bersama para sahabatnya. Bahkan riwayat Ibnu Ishaq menjelaskan bahwa Nabi saw shalat sendirian. Padahal, riwayat-riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi saw mengimami sahabatnya. Kedua, riwayat Ibnu Ishaq tidak menentukan shalat subuh, sementara riwayat-riwayat lain menyebutkannya.
Menyangkut riwayat Ibnu Ishaq tidak ada masalah. Tetapi menyangkut riwayat-riwayat lain timbul dua kemusykilan. Pertama, Nabi saw berangkat ke Thaif dan pulang dariny, sebagaimana anda ketahui hanya disertai oleh Zaid bin Haritsa. Maka bagaimana mungkin Nabi saw shalat bersama para sahabatnya? Kedua, shalat lima waktu tidak disyariatkan kecuali setelah Isra’ MI’raj sedangkan Isra’Mi’raj terjadi setelah hijrah Rasulullah saw ke Thaif menurut pendapat Jumhur. Maka bagaimana mungkin Rasulullah saw melaksanakan shalat subuh pada waktu itu?
menyangkut kemusykilan pertama dapat dijawab, bahwa mungkin saja Rasulullah saw ketika sampai di Nihlah (sebuah tempat dekat Mekkah) bertemu dengan para sahabatnya, lalu shalat subuh bersama mereka di tempat tersebut.
Menyangkut kemusykilan kedua dapat dijawab bahwa peristiwa mendengarnya jin terhadap bacaan al-Quran ini terjadi lebih dari sekali. Pernah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan pernah juga diriwayatkan oleh Ibnu Mas’du. Kedua riwayat ini sama-sama sahih. Dan pendapat
inilah yang diambil oleh jumhur ulama peneliti. Ini jika kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa peristiwa Isra’ dan MI’raj terjadi setelah hijrah ke Thaif. Tetapi jika kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi sebelum hijrah ke Thaif, maka tidak lagi ada kemusykilan.
Yang perlu kita ketahui, setelah penjelasan di atas bahwa setiap Muslim wajib mengimani adanya jin, dan bahwa mereka adalah makhluk hidup yang juga dibebani oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana kita, kendatipun semua indera kita tidak dapat menjangkaunya. Sebab Allah memang menjadikan eksistensi merekae di luar jangkauan kemampuan mata kita. Apalagi , mata kita hanya bisa melihat beberapa benda t ertentu, dengan ukuran tertentu , dan dengan syarat-syarat tertentu.
Karena keberadaan makhluk ini didasarkan atas berita yang mutawatir dari al-Quran dan Sunnah, maka kaum Muslim telah sepakat bahwa setiap orang yang mengingkari atau meragukan keberadaan jin adalah murtad dan keluar dari Islam. Sebab mengingkari sesuatu yang bersifat aksiomatik di dalam islam, di samping merupakan pendustaan terhadp kahabr mutawatir yang datang kepada kita dari Allah dan Rasul-Nya.
Jangan sampai ada orang berakal sehat yang terjerumus ke dalam kedunguan karena tidak mau meyakini sesuatu yagn tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, kemudian menolak keberadaan jin hanya karena dia tidak melihat jin.
Kelima, apa pengaruh semua peristiwa disaksikan dan dialami oleh Rasulullah saw selama perjalannya ke Thaif ini pada dirinya ?
Jawabannya, terhadap pertanyaan ini nampak jelas dalam jawaban Rasulullah saw kepada Zaid bin Haritsa ketika Zaid bertanya kepadanya dengan penuh keheranan:
“Bagaimana engkau hendak pulang ke Mekkah, wahai Rasulullah saw, sedangkan penduduknya telah mengusir engkau dari sana?“
Dengan tenang dan penuh keyakinan Rasulullah saw menjawab :
“Hai Zaid! Sesungguhnya Allah-lah yang akan memberi kita jalan keluar sebagaimana yang akan engkau lihat nanti. Sesungguhnya Allah akan menolong agama-Nya dan membela Nabi- Nya.”
Jelas bahwa semua yang disaksikan dan dialaminya di Thaif setelah penyiksaan dan penganiayaan yang dialaminya di mekkah, tidak memiliki pengaruh sama sekali terhadap keyakinannya kepada Allah, atau melemahkan kekuatan teakadnya yang positif di dalam jiwanya
Demi Allah! Ini bukanlah ketabahan manusia biasa yang memiliki kekuatan lebih dalam menghadapi penderitaan dan tekanan. Tetapi ia adalah keyakinan Nubuwwah yang telah menghujam dalam di dalam hatinya. Rasulullah saw mengetahui bahwa segala tindakkannya itu semata-mata untuk menjalankan perintah Allah dan berjalan di atas jalan yang diperintahkan-
Nya, beliau tidak pernah ragu sedikitpun bahwa Allah pasti akan memenangkan urusan-Nya, dan bahwa Dia telah menjadikan ketentuan bagi tiap sesuatu.
Pelajaran yang dapat kita ambil dalam hal ini, bahwa semau penderitaan dan rintangan yang ada di jalan dakwah Islam tidak boleh menghalangi atau menghentikan perjuangan kita, atau mengakibnatkan kegentaran dan kemalasan dalam diri kita, slama kita berjalan di atas petunjuk keimanan kepada Allah. Siapa saja yang telah mengambil bekal kekuatannya dari Allah, maka dia tidak akan pernah mengenal putus asa atau malas. Selama Allah yang memerintahkan, pasti Dia akan menjadi penolong dan pembela.
Kehinaan, kemalasan dan putus asa akibat penderitaan dan rintangan, hanya akan dialami oleh orang yang menganut prinsip dan ideologi yang tidak diperintahkan Allah. Sebab mereka hanya mengandalkan kepada kekuatannya sendiri, kekuatan manusia yang serba terbatas. Segala bentuk kekuatan dan ketabahan manusia akan berubah dan terancam kehancuran dan kelesuan manakala mengalami penderitaan dan kesengsaraan yang panjang mengingat ukuran kekuatan manusia yang serba terbatas.
Recent Comments