Biografi Sahabat Usamah bin Zaid bin Haritsah

Biografi Sahabat Usamah bin Zaid
Ilustrasi foto: indonesian.iloveallaah.com
Bagikan

Usamah Ibn Zaid bin Haritsah – Pemuda Terkasih Putra yang Terkasih

(Dikutip dari: Muhammad Raji Hasan Kinas. 2012. Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi. Penerbit Zaman: Jakarta, 859-865)

 

Usamah ibn Zaid ibn Haritsah sahabat Nabi dari kabilah Kalbi. Ayahnya bernama Zaid ibn Haritsah ibn Syurahbil, orang kesayangan Rasulullah, sedangkan ibunya bernama Barkah al-Habsyiyah. Usamah, yang berkulit hitam, memiliki saudara seibu yaitu Ayman. la punya beberapa nama panggilan, antara lain Abu Muhammad, Abu Zaid, Abu Yazid, dan Abu Kharijah. Ayah dan ibunya adalah budak yang dibebaskan oleh Rasulullah saw.

Ibn Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Usamah ibn Zaid adalah orang yang paling kucintai (dalam riwayat lain, “di antara yang paling kucintai”). Aku berharap ia menjadi orang terbaik bagi kalian. Maka, hendaklah kalian meminta nasihat kebaikan kepadanya.”

Untuk mengetahui betapa besar kecintaan Rasulullah saw. kepada Usamah, kami kutipkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa suatu ketika kepala Usamah terbentur pintu sehingga wajahnya terluka dan berdarah. Rasulullah saw. berkata kepada Aisyah, “Menjauhlah darinya.” Seakan-akan akulah yang menjadi penyebab la terluka. Kemudian Rasulullah saw. menghisap lukanya dan memuntahkannya, lalu bersabda, “Bahkan meskipun Usamah sebudak, aku pasti memakaikan o r a n g bajunya dan kubalut lukanya hingga ia sembuh.

Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ma‘mar dari al-Zuhri dari Urwah dari Usamah ibn Zaid bahwa Rasulullah saw. menunggangi keledai yang dilapisi kain beludru di atasnya dan Usamah duduk di belakangnya. Saat itu beliau hendak menjenguk Sa‘d ibn Ubadah sebelum terjadi Perang Badar.

Imam al-Bukhari menyebutkan dalam Shahih-nya sebuah hadis dari Musa ibn Ismail dari Mu‘tamar dari ayahnya dari Utsman dari Usamah ibn Zaid yang bercerita bahwa Nabi saw. mengambil dirinya dan al-Hasan, kemudian beliau berdoa, “Ya Allah, cintailah keduanya karena aku sangat mencintai keduanya.

Imam al-Tirmidzi juga mengutip sebuah hadis dalam al-Manaqib bahwa ketika Umar ibn al-Khattab menjadi khalifah, memerintahkan Usamah untuk memimpin 5.000 pasukan, sementara kepada putranya, Abdullah ibn Umar, Umar menugaskan untuk memimpin 2.000 pasukan. Putranya berkata, “Engkau melebihkan Usamah atasku, sedangkan aku sudah mengikuti peperangan yang tidak ia ikuti?”

Umar r.a. menjawab, “Usamah itu lebih dicintai oleh Rasulullah ketimbang kamu dan ayahnya lebih beliau cintai dibanding ayahmu.

Peperangan pertama yang diikuti oleh Usamah dengan izin Rasulullah saw. adalah Perang Khandaq. Selain dikenal sebagai orang terkasih putra seorang yang terkasih, ia juga tenar sebagai penunggang kuda yang andal, putra nunggang kuda yang juga andal.

Dalam Perang Hunain, ketika sebagian pasukan muslim meninggalkan Rasulullah di medan perang, Usamah tetap setia berada di dekat Rasulullah bersama al-Abbas dan Ali ibn Abu Thalib hingga akhirnya kaum muslim berbalik menjadi pemenang dalam perang itu.

Suatu ketika, seorang wanita Quraisy dari keluarga Makhzum tertangkap basah mencuri padahal ia sudah masuk Islam. Kabar itu sampai kepada Nabi saw. Kaum Quraisy berusaha agar tangan wanita itu tidak dipotong. Mereka meminta belas kasihan Nabi saw. berkali-kali, mereka juga menyampaikan permohonan kepada Usamah ibn Zaid, salah seorang yang dikasihi Nabi, putra Zaid, yang juga dekat dengan Nabi. Mereka berharap dengan cara itu Nabi akan mengampuninya. Ketika Usamah menghadap, Nabi berkata kepadanya:

“Tak peril! berbicara, wahai Usamah. Ketika peraturan dan hukum Allah telah sampai kepadaku, tidak akan ada sedikit pun yang kuabaikan. Bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti aku akan memotong tangannya.”

Dalam riwayat lain, Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Sesungguhnya Bani Israil akan membiarkan jika ada orang terhormat di antara mereka mencuri, tetapi jika yang mencuri adalah orang yang lemah maka mereka akan membunuhnya. Seandainya Fatimah (mencuri), niscaya akan kupotong tangannya.” Setelah itu beliau memerintahkan untuk memotong tangan wanita dari Bani Makhzum itu.

Sejak kejadian itu, Usamah tidak lagi memberi toleransi dalam menerapkan hukum-hukum Allah.

—-

Dua tahun sebelum Rasulullah wafat, beliau mengirim Usamah sebagai pemimpin pasukan untuk menghadapi pasukan musyrik yang menentang dan menyerang kaum muslim. Itulah pengalaman pertama Usamah dipercaya oleh Rasulullah untuk menjadi pemimpin pasukan.

Usamah berhasil menjalankan misi itu dan pasukannya ndapat kemenangan gemilang. Beritanya pun telah sampai kepada Rasulullah sebelum pasukan kaum muslim kembali. Tentu ini peristiwa yang menggembirakan bagi Rasulullah juga Usamah sebagai orang yang mendapat kepercayaan.

Namun, di balik kemenangan itu terselip sebuah kisah yang sangat Usamah sesali. Ketika menghadap Rasulullah, Usamah menceritakan jalannya peperangan, termasuk ketika ia menghadapi seorang musuh yang tak berdaya. Usamah siap menebas musuh itu dengan pedangnya, ketika tiba-tiba orang itu mengatakan “Ia ilaha illallah.’” Namun, Usamah menganggap ucapan itu hanya muslihat agar tidak dibunuh sehingga ia tetap menebaskan pedangnya.

Mendengar cerita itu, Rasulullah marah dan bersabda, “Usamah, apa hakmu dengan kalimat Ia ilaha illallah ‘’

Usamah menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengucapkan kalimat itu hanya untuk melindungi diri agar tidak dibunuh.”

“Apa hakmu dengan kalimat Ia ilaha illallah’’

Usamah menuturkan, “Demi zat yang mengutusnya dengan membawa kebenaran, beliau terus mengucapkan itu kepadaku hingga aku berharap peristiwa itu tak pernah terjadi. Aku berharap, hari itulah aku memeluk Islam.” Kemudian Usamah berkata, “Aku berjanji kepada Allah bahwa aku tidak akan membunuh orang yang mengucapkan la ilaha illallah

—-

Pada usia yang relatif muda, sekira 20 tahun, Usamah sudah dipercaya oleh Rasulullah untuk menjadi panglima perang, padahal masih banyak sahabat yang lebih berpengalaman perti Abu Bakr atau Umar. Akibat pengangkatan itu, tersiar kabar bahwa sebagian sahabat merasa keberatan. Mereka menganggap Usamah masih terlalu hijau untuk menjadi panglima perang karena masih banyak pemuka Muhajirin dan Anshar yang lebih pantas menjadi pemimpin pasukan.

Kabar itu pun sampai ke telinga Rasulullah sehingga beliau langsung menjawab keberatan mereka dengan mengarakan, “Sebagian orang tidak sepakat dengan pengangkatan Usamah ibn Zaid sebagai panglima. Sebelum ini mereka juga keberatan dengan pengangkatan bapaknya, walau bapaknya itu layak menjadi panglima. Dan, Usamah pun layak untuk posisi itu. Ia adalah orang yang paling saya kasihi setelah bapaknya. Aku berharap ia menjadi salah satu yang terbaik di antara kalian. Maka, bantulah ia dengan memberikan nasihat yang baik.”

Sebelum tentara yang dipimpin oleh Usamah tiba di medan perang, Rasulullah wafat. Abu Bakr r.a. yang menjadi Khalifah, melanjutkan misi Rasulullah. Setelah meminta agar Umar r.a. tetap tinggal di Madinah untuk mendampinginya, Khalifah Abu Bakr r.a. memerintahkan Usamah untuk melanjutkan misi.

Kedatangan tentara Islam yang dikomandoi oleh Usamah untuk menyerang perbatasan Syiria tersebut membuat Kaisar Romawi Heraklius terkejut. Karena pada saat yang bersamaan, Kaisar juga mendapat kabar bahwa Rasulullah wafat. Kaisar heran terhadap kekuatan kaum muslim, ternyata meninggalnya Rasulullah tidak memengaruhi keberanian dan kemampuan pasukan muslim. Pihak Romawi kecut, dan mereka tidak berani mengambil langkah lebih jauh untuk menyerang negeri Muslim di jazirah Arab.

Pasukan Usamah kembali tanpa menelan korban sehingga sebagian Muslim mengatakan, “Tidak pernah kami lihat pasukan yang lebih aman daripada pasukan Usamah.”

—-

Usamah mengalami masa kepemimpinan empat khilafah. la pun menyaksikan perselisihan antara Ali dan Muawiyah. Saat perselisihan memuncak, Usamah memilih tidak memihak siapa pun, karena ia telah berjanji tidak akan membunuh siapa pun yang mengucapkan kalimat Ia ilaha illallah.

Melalui sebuah surat, Usamah berkata kepada Ali ibn Abu Thalib, “Seandainya engkau berada di mulut singa, pasti aku lebih suka masuk ke dalamnya bersamamu. Tetapi mengenai (perselisihan dengan Muawiyah) urusan ini, aku tidak mau turut campur.”

Selama terjadi perselisihan dan peperangan antara pihak Ali dan Muawiyah, Usamah memilih tinggal di rumahnya. Ketika sejumlah kerabat datang dan mengajaknya ikut berperang, Usamah berkata, “Sampai kapan pun aku tidak akan memerangi orang yang mengucap Ia ilaha illallah. ”

Salah seorang menyahut, “Bukankah Allah berfirman, ‘Perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah, dan agama sepenuhnya milik Allah.’”

Usamah menjavvab, “Itu ketika kira melawan orang musyrik. Dan kita telah memerangi mereka hingga fitnah lenyap, dan agama sepenuhnya milik Allah.”

—-

Usamah wafat pada akhir masa pemerintahan Muawiyah, diperkirakan pada 58 atau 59 Hijriah. Ada yang mengatakan bahwa ia wafat pada 54 Hijriah. Abu Umar ibn Abdul Barr berkata, “Menurutku, pendapat itu (54 H.) adalah pendapat yang lebih sahih.” Semoga Allah memberi rahmat kepada Usamah.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: