Dasar-Dasar Masyarakat Baru (Bag.2)

Dasar-Dasar Masyarakat Baru (Bag.2)
Oleh: Dr.Said Ramadhan Al Buthy (dikutip dari buku Fiqih Sirah)
Dasar Kedua: Persaudaraan Sesama Muslim
Setibanya di Madinah, Rasulullah Saw. langsung mengikat kalangan Muhajirin dan Anshar dengan tali persaudaraan yang teguh. Beliau menjadikan mereka saling bersaudara dibawah nilai-nilai kebenaran dan kesetaraan.
Rasulullah Saw.-lah yang telah mempersaudarakan Ja’far bin Abi Thalib ra. dengan Mu’adz bin Jabal ra .; Hamzah bin Abdul Muthallib ra. dengan Zaid bin Haritsah ra.; Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. dengan Kharijah ibn Zuhair ra.; Umar bin Khaththab ra. dengan Utban bin Malik ra .; Abdurrahman bin Auf ra. dengan Sa’d bin Rabi’ ra .; dan seterusnya ….
Rasulullah Saw. lalu mengikat tali persaudaraan itu antara semua sahabat beliau secara umum, seperti yang akan kita lihat nanti. Bukan sebatas persaudaraan secara spiritual, Rasulullah bahkan mengikat tali persaudaraan antar semua umat Islam kala itu hingga mencapai ranah material. Ketetapan persaudaraan yang diikat Rasulullah Saw. ini terus ditetapkan sebagai yang lebih utama daripada hubungan persaudaraan sedarah (termasuk dalam hak waris), akhirnya hukum itu di-naskh ketika pecah Perang Badar Kubra. Tepatnya, ketika turun ayat AI-Qur’an yang menyatakan, “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu, maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan itu sebaglonnya leblh berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat} di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuotu,” (QS AI -Anfal [8]: 75).
Ayat inilah yang me-nasakh semua ketetapan hukum yang pernah berlaku sebelumnya. Dan, hukum waris antara para sahabat yang dijadikan saudara oleh Rasulullah Saw pun diangap tidak berlaku lagi. Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari lbnu Abbas ra., ” Ketika orang-orang Muhajirin baru tiba di Madinah, tiap-tiap mereka berhak mewarisi harta peninggalan saudaranya dari kalangan Anshar-dengan mengenyampingkan hubungan darah-sebagaimanya ditetapkan Rasulullah Saw. Tapi, ketika turun ayat AI-Qur’an yang berbunyi: “Bagi tiap-tiap harta peninggalon dari harta yang ditinggalkan ibu bapak don karib kerabat, Kami jadikan peworis-pewarisnyo … ” (QS An-Nisa· (4): 33), dilanjutkan dengan firman Allah, “Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengon mereka, maka berilah kepado mereka bagionnya … ,” (QS An-Nisa· [4}: 33). Yang dimaksud dengan “bersumpah” adalah bersumpah untuk menolong, melindungi, dan menasihati. Maka, sejak saat itu hukum warisan berdasarkan persaudaraan yang pernah ditetapkan Rasulullah Saw. dihapus, dan hubungan darah kembali digunakan bagi sesama muslim.”
Beberapa Ibrah
Inilah dasar kedua yang dijadikan landasan oleh Rasulullah Saw. dalam membangun masyarakat sekaligus negara Islam di Madinah. Posisi penting dasar kedua ini dapat kita lihat dalam beberapa poin di bawah ini:
Pertama, negara mana pun yang ada di bumi tidak mungkin akan berdiri tegak kecuali di atas persatuan dan kesatuan warganya. Padahal, persatuan dan kesatuan tidak akan mungkin terwujud jika tidak ada ikatan persaudaraan dan rasa kasih-sayang yang kuat. Sebuah komunitas yang tidak diikat olch tali persaudaraan dan kasih-sayang yang tulus pasti tidak akan dapat menyatukan pandangan dcngan baik. Dan, ketika sebuah komunitas atau bangsa tidak memiliki tali pengikat yang baik, mereka pun tidak akan pemah dapat membangun sebuah negara yang kuat.
Persaudaraan yang kokoh juga harus dibangun dengan berlandaskan akidah dan iman yang sejalan. Persaudaraan antara dua orang yang memiliki ideologi atau iman berbeda, hanyalah persaudaraan semu. Terlebih jika ideologi atau keyakinan berbeda yang dianut oleh masing-masing mereka ternyata menuntut penganutnya untuk menerapkan aturan moral tertentu dalam kehidupan yang mereka jalani.
Karena itulah mengapa persaudaraan para sahabat dibangun Rasulullah Saw. berlandaskan akidah Islam yang beliau bawa dari hadirat Allah Swt., yang meletakkan scmua manusia di tengah barisan penghambaan kepada-Nya tanpa memandang apa pun selain takwa dan amal saleh. Ketika sekelompok orang yang memiliki akidah dan keyakinan berbeda dipaksa diikat dalam “persaudaraan”~ mereka pasti akan mengedepankan egoisme dan kepentingan pribadi masing-masing.
Kedua, sebuah masyarakat, seperti apa pun dan di mana pun berada, selalu dapat dibedakan satu sama lain dengan melihat satu hal, yaitu bagaimana tingkat pcnerapan prinsip kerjasama dan saling tolong-menolong antar individu masyarakat tersebut dalam semua sendi kehidupan. Jika kerjasama dan sikap saling tolong-menolong itu dilakukan sejalan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan, maka mereka dapat disebut sebagai masyarakatyang adil dan baik. Tetapi, jika kcrjasama dan sikap saling tolong-menolong itu dilakukan berdasarkan prinsip penindasan dan kezaliman, maka masyarakat itu harus disebut sebagai masyarakat yang zalim dan rusak.
Jika ternyata sebuah masyarakat yang baik hanya dapat dibentuk bcrdasarkan prinsip kcadilan bagi scmua anggota masyarakat yang bersangkutan dalam mencari sumber penghidupan, maka apa sebenamya yang dapat menjamin kelanggengan nilai-nilai keadilan serta penerapannya dalam bentuk yang sebaik-baiknya dalam masyarakat?
Satu-satunya yang dapat menjawab pertanyaan ini adalah adanya sesuatu yang sesuai dengan norma kewajaran dan fitrah manusia, yang tak lain adalah prinsip persaudaraan dan saling menyayangi. Setelah itu, barulah kekuasaan dan undang-undang memainkan perannya.
Mengapa begitu? Karena sekuat apa pun kekuasaan berusaha mencrapkan prinsip-prinsip keadilan antar anggota masyarakat, pasti sia-sia jika tidak dilandasi persaudaraan antara mereka. Hubungan bermasyarakat yang tidak dilandasi persaudaraan justru menjadikan nilai-nilai keadilan sumber munculnya perasaan dengki dan kecemburuan.
Pada gilirannya, memunculkan kezhaliman dan kesewenang-wenangan dalam bentuk paling buruk. Rasulullah Saw. menjadikan nilai persaudaraan yang beliau sematkan di kalangan Muhajirin dan Anshar sebagai landasan bagi penerapan prinsip-prinsip keadilan sosial, untuk kemudian diterapkan dalam sebuah masyarakat yang diakui sebagai salah satu masyarakat paling teratur yang pernah ada di muka bumi.
Secara bertahap, prinsip keadilan dalarn masyarakat Madinah tumbuh menjadi aturan hukum clan peraturan syariat yang berlaku bagi semua kalangan. Dan, kesemuanya itu dibangun di atas landasan pokok yang pertama, yaitu persaudaraan Islam ( ukhuwwah Islamiyyah ). Jika bukan karcna persaudaraan agung yang dibangun di atas landasan akidah Islam ini, tentu semua prinsip luhur itu tidak akan mcmberi pcngaruh positif bagi masyarakat Islam.
Ketiga, makna interprctatif di balik syiar pcrsaudaraan. Prinsip persaudaraan yang dibangun Rasulullah Saw. di kalangan sahabat tentu saja bukan retorika kosong yang disampaikan dari mulut ke mulut, melainkan dipraktikkan di semua lini kehidupan kaum Muhajirin dan Anshar.
Karena itu, Rasulullah Saw. mengaitkan ikatan ukhuwwah rnereka dengan tanggung jawab riil antarsahabat. Ternyata, tanggung jawab itu benar-benar bisa diterapkan dengan baik. Apa yang dilakukan oleh Sa’d bin Rabi’ ra., yang dipersaudarakan Rasulullah Saw. dengan Abdurrahman bin Auf ra., menjadi bukti nyata tentang hal ini.
Ketika Abdurrahman bin Auf ra. tiba di Madinah, Sa’d bin Rabi’ ra. menawarkan kcpadanya untuk berbagi tcmpat tinggal clan harta. Tctapi, sctelah betcrima kasih, Abdurrahman hanya minta ditunjukkan jalan menuju pasar Madinah agar dapat mencari pekerjaan di situ. Ternyata bukan hanya Sa’d yang seperti itu. Kaum Anshar secara umum melakukan hal yang sarna, terlebih setelah hijrah Rasulullah Saw. mempersaudarakan mereka dengan Muhajirin.
Atas dasar inilah kcmudian Allah Swt. sempat mcnctapkan hak pewarisan bcrdasarkan hubungan pcrsaudaraan ini, dan mcnggugurkan hubungan nasab dan kekerabatan sedarah. Salah satu hikmah disyariatkannya aturan ini adalah untuk scmakin menonjolkan arti ukhuwwah Islamiyah yang hakiki, supaya dapat merasuki alam pikiran setiap muslim.
Hikman lain dari adanya ikatan ini adalah agar scmua umat Islam mengetahui bahwa persaudaraan dan sik.ap saling mcnyayangi antarsesama muslim sama sekali bukan basa-basi. Kedua sifut luhur itu jclas merupakan realitas yang buahnya dapat dirasakan di tengah masyarakat, serta menjadi salah satu pondasi terpenting dalam membangun keadilan sosial. Adapun hikmah dihapuskannya hak waris berdasarkan hubungan persaudaraan seiman ini adalah karcna scbenarnya hak waris yang berlaku sctelah terjadinya naskh ini pun hanya berlaku bagi keluarga sedarah yang sama-sama beragama Islam. Dua orang yang memiliki hubungan darah, tapi berbeda agama, tetap tidak dapat saling mewarisi satu sama lain. Hanya saja, pada masa-masa awal hijrah, kaum Muhajirin dan Anshar memang diberi tanggung jawab khusus berupa kesiapan untuk saling tolong-mcnolong dan bahu-membahu dalam segala hal.
Apalagi kaum Muhajirin sedang mcnjalani masa-masa sulit karena tcrpisah dengan keluarga, tempat tinggal, dan harta benda mereka di Mekah, kemudian menjadi “tamu” bagi saudara-saudara mereka dari golongan Anshar di Madinah. Jadi, sebcnarnya tindakan Rasulullah Saw. mempersaudarakan sahabat Muhajirin dengan Anshar merupakan jaminan demi terwujudnya tanggung jawab yang mereka pikul ini.
Tentu saja, tanggung jawab sebesar itu memiliki arti yang jauh lebih kuat daripada sekadar persaudaraan discbabkan hubungan darah. Tapi, kctika sahabat dari kalangan Muhajirin sudah mulai mapan menjalani kehidupan di Madinah, sebagaimana Islam juga telah berdiri kokoh dan menjadi satu-satunya pusat kesadaran bagi masyarakat baru yang lahir di kota ini, maka tidaklah keliru jika alat yang menjadi pengikat antara kaum Muhajirin dengan Anshar dikembalikan ke tempat semula.
Sejak saat itu, segala kekhawatiran akan hancurnya ikatan pcrsaudaraan antarumat Islam di Madinah telah sirna. Mereka semua telah bernaung di bawah payung ukhuwwah islamiyah yang berlaku bagi semua muslim. Jadi, tidak perlu khawatir jika hubungan kekerabatan berdasarkan darah antarsesama umat Islam kembali difungsikan untuk lebih merekatkan umat.
Ibnu Abdil Barr menyatakan bahwa pengikatan tali persaudaraan (muakhat) terjadi dua kali: yang pertama antara sahabat dengan Muhajirin di Mekah; dan yang kedua antara sahabat Muhajirin dengan Anshar di Madinah.
Semua ini semakin menegaskan bahwa agama Islam menjadi landasan bagi hubungan persaudaraan. Hanya saja, hal itu harus diperbaharui dan diperkuat setelah para sahabat Rasulullah Saw. melakukan hijrah ke Madinah, memulai kehidupan baru bersama saudara-saudara mereka dari kalangan Anshar di satu negara yang sama. Persaudaraan mereka itu jelas dibangun di atas landasan agama Islam dan kesatuan akidah, yang kesemuanya telah terbukti dalam kehidupan nyata.
Artikel sebelumnya: Dasar-Dasar Masyarakat Baru (Bag.1)
Artikel berikutnya: Dasar-Dasar Masyarakat Baru (Bag.3)
Recent Comments