Normalisasi Deviasi Dalam Aspek K3

Normalisasi Deviasi Aspek K3
Ilustrasi foto: space.com
Bagikan

Normalisasi Deviasi dalam Aspek K3

Oleh: Muhyidin, SKM

Sejarah Normalisasi Deviasi

Normalisasi deviasi (normalization of deviance) kalau di Bahasa Indonesia-kan artinya Normalisasi Penyimpangan atau menganggap normal suatu penyimpangan yang ada. Normalisasi penyimpangan adalah istilah yang pertama kali diciptakan oleh sosiolog Diane Vaughan ketika meninjau bencana pesawat ruang angkasa (pesawat ulang-alik) Challenger. Vaughan mencatat bahwa akar penyebab bencana Challenger terkait dengan pilihan pejabat NASA yang berulang kali untuk menerbangkan pesawat ruang angkasa meskipun ada cacat desain yang berbahaya dengan cincin-O (O-ring) di bagian Solid Rocket Booster (SRB) / penguat roket padat. Pesawat ruang angkasa Challenger yang meledak tak lama setelah lepas landas pada 28 Januari 1986.

“Normalisasi sosial penyimpangan berarti orang-orang di dalam organisasi menjadi sangat terbiasa dengan penyimpangan sehingga mereka tidak menganggapnya menyimpang, meskipun fakta bahwa mereka jauh melebihi aturan mereka sendiri untuk keselamatan dasar ” (Diane Vaughan, 1996)

Masalah dengan cincin-O pada SRB dari pesawat ulang-alik adalah dempul yang digunakan — gelembung terbentuk di dalamnya, dan selama peluncuran gas dari SRB akan melewati gelembung dan membakar cincin-O. Ketika cincin-O yang rusak pertama kali diamati setelah misi ulang-alik kedua, para manajer NASA, yang berada di bawah waktu yang luar biasa dan pengekangan ekonomi, meyakinkan diri mereka sendiri bahwa masalahnya dapat diperbaiki tanpa harus mendaratkan armada ulang-alik. Beberapa misi lagi terbang tanpa masalah dari cincin-O sehingga ‘kebenaran’ dari keputusan untuk tetap terbang diperkuat. Selama bertahun-tahun, lebih banyak kasus masalah penyegelan cincin-O yang diamati pada pemacu yang kembali tetapi dengan setiap penerbangan yang berhasil, kurangnya hasil yang buruk memperkuat gagasan bahwa aman untuk melanjutkan operasi tanpa mengatasi masalah tersebut.

Penyelidikan Vaughan menemukan bahwa tidak ada kejahatan yang terlibat dalam keputusan untuk membiarkan Challenger terus meluncurkan roketnya yang cacat. “Kesalahan, kecelakaan, dan bencana diatur secara sosial dan diproduksi secara sistematis oleh struktur sosial,” kata Vaughan dalam bukunya tahun 1996, Keputusan Peluncuran Challenger: Teknologi Berisiko, Kebudayaan, dan Penyimpangan di NASA.

Apa Itu Normalisasi Deviasi?

Normalisasi deviasi adalah perilaku dasar manusia. Jika tidak ada konsekuensi negatif terhadap perilaku ‘lebih mudah’, kami akan mengadopsinya seperti biasa. Perubahan ini merupakan migrasi bertahap dari satu standar yang diterima secara resmi ke standar de facto baru yang lebih rendah tanpa analisis atau keputusan rasional.

Ini adalah pergeseran dari “ini adalah perilaku atau hasil yang tidak dapat diterima” ke standar yang lebih rendah di mana orang akan dengan tulus mengatakan, “ini adalah bagaimana kita selalu melakukannya atau ini adalah hasil yang dapat diterima”.

Normalisasi deviasi tersebut akan mengikis margin keselamatan, keamanan, keandalan dll. Yang menakutkan adalah: Normalisasi Penyimpangan biasanya akan kembali terjadi di masa depan karena kesalahan ini telah “dinormalisasi” atau dianggap sesuatu yang normal.

Sebagai contoh foto dibawah dimana seseorang memegang kaki temannya di tempat pembersihan mobil (car wash) untuk membersihkan tangki. Kenapa foto tersebut sebagai contoh normalisasi deviasi?

Karena ketika mereka ditanya mengapa melakukan perilaku berisiko dan berbahaya tersebut? Mereka akan menjawab, kami selalu melakukannya seperti ini. Perilaku tidak aman telah diterima sebagai sesuatu yang normal. Inilah yang dinamakan normalisasi deviasi/penyimpangan.

Seseorang memegang kaki rekannya untuk membersihkan tangki
Seseorang memegang kaki rekannya untuk membersihkan tangki

Contoh Normalisasi Deviasi Aspek K3

Dalam dunia K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) banyak sekali bermacam contoh normaliasi deviasi ini baik di dalam sektor formal (perusahaan dan industri) maupun sektor non formal (rumah tangga dan umum). Berikut ini contohnya:

1.Bekerja di Ketinggian Tanpa Full Budy Harness

Pekerja bangunan tinggi tanpa full body harness
Pekerja bangunan tinggi tanpa full body harness. Ilustrasi foto: dumpaday.com

Apa yang anda pikirkan ketika melihat foto di samping? Seorang pekerja bangunan di gedung pencakar langit sedang berjalan di area yang sangat tinggi tanpa full body harness terpasang di tubuhnya. Padahal full body harness ini sangat penting untuk melindungi jika pekerja tersebut terpeleset sehingga tidak jatuh dan bisa menyebabkan kematian.

Coba perhatikan pekerja bangunan sektor informal, ketika memasang atap/genteng, apakah mereka menggunakan full body harness? Hampir jarang menggunakannya bukan? Mereka menganggap bekerja bertahun-tahun seperti itu dan aman-aman saja selama ini. Yang lebih parah lagi, pemberi kerja (entah itu level perusahaan, pemborong atau individu) menganggap APD adalah hal yang asing dan membebankan keuangan mereka.

Coba juga perhatikan foto di bawah ini. Pekerja tersebut tidak menggunakan APD yang lengkap mulai dari helm keselamatan, kacamata, sepatu keselamatan, sarung tangan. Bahkan ketika bekerja di ketinggian tanpa menggunakan full body harness sama sekali. Mereka menganggap bekerja seperti itu adalah hal biasa.

Pekerja bangunan tinggi tanpa APD lengkap
Pekerja tanpa APD lengkap. Ilustrasi foto: jogjachildren.wordpress.com

2. Menggali Sumur Tanpa Pengukuran Gas

Gali sumur tanpa pengukuran gas
Gali sumur tanpa pengukuran gas. Ilustrasi foto: tribunnews.com

Pernah dengar ada penggali sumur yang meninggal dunia saat menggali sumur Tidak jarang kita mendengar berita di beberapa daerah terutama di Indonesia tentang kejadian kematian warga saat menggali sumur.

Contohnya berita di Desa Depok, Trenggalek, pada tahun 2019 lalu dimana ada 2 orang meninggal dunia saat menggali sumur. Mereka diduga tewas karena menghirup gas karbon monoksida dari mesin sedot air yang ditempatkan di bawah sumur.

Kejadian serupa terjadi di Desa Dayeuh Manggung, Garut, di tahun 2019 juga dimana terdapat tukang gali sumur yang tewas akibat menghirup gas beracun di dalam sumur yang sudah mongering di kedalaman 27 meter. Korban sempat pingsan, setelah dievakuasi ternyata sudah meninggal dunia.

Pernahkah anda mendengar tukang gali sumur mengukur kadar gas beracun di dalamnya sebelum penggali masuk ke dalam sumur? Sangat jarang sekali bukan? Bahkan untuk sumur tradisional mereka berdasarkan feeling saja. Ada juga yang menggunakan ayam hidup dimasukkan ke dalam sumur. Jika ayamnya hidup berarti tidak ada gas beracun dan dinyatakan aman.  

3. Tidak Pakai Masker dan Jaga Jarak Saat Pandemi

Tidak pakai masker dan jaga jarak di pasar
Tidak pakai masker dan jaga jarak di pasar. Ilustrasi foto: m.lampost.co

Sejak 1 Juni 2020, pemerintah Indonesia secara bertahap mulai menerapkan New Normal atau Adaptasi Kebiasaan Baru. Walaupun kasus konfirmasi positif Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) masih mengalami penambahan kasus, tapi pemerintah sudah memutuskan kebijakan tersebut. Secara bertahap, tempat-tempat umum, perkantoran, dan industri mulai beroperasi seperti biasa dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.

Namun kenyataan di masyarakat umum, banyak yang menganggap kebijakan New Normal ini dengan arti Kembali Normal. Yang sebelumnya lebih banyak di rumah mulai banyak yang keluar rumah dan berkumpul kembali di tempat umum. Coba perhatikan betapa banyak masyarakat yang makan di rumah makan/restoran atau berbelanja di pasar/pusat keramaian yang tidak menggunakan masker dan tidak menjaga jarak aman.

Mereka menganggap tidak pakai masker dan tidak jaga jarak sesuatu yang normal di masa pandemic ini. Toh saya sehat-sehat saja kok selama ini, tidak kena Covid-19, begitu sebagian masyarakat menjawabnya. Begitu juga yang pergi ke rumah ibadah seperti Masjid atau Gereja, sebagian jamaah masih terlihat ada yang tidak menggunakan masker dan jaga jarak.

Cara Mengenali Normalisasi Deviasi

Perhatikan dan amati area kerja anda. Bagaimana budaya pekerja disana. Beberapa kalimat sebagai penanda telah terjadi normalisasi deviasi diantaranya:

  • Kami selalu melakukan hal tersebut
  • Kami mengabaikannya bunyi alarm, itu hanya peringatan gangguan
  • Itu adalah kesalahan sistem yang tidak dikenal
  • Tidak ada salahnya dilakukan
Normalisasi deviasi berada di Zona Bahaya
Normalisasi deviasi berada di Zona Bahaya

Bahayanya Normalisasi Deviasi

Dalam dunia K3, normalisasi deviasi ini harus dihilangkan. Jika semua Karyawan menganggap bahwa kejadian nearmiss (hampir celaka) dan unsafe condition/unsafe behaviour (kondisi tidak selamat/perilaku tidak selamat) dianggap biasa saja dan tidak perlu dilaporkan maka bersiaplah suatu saat akan terjadi kecelakaan di organisasi tersebut. Dalam kasus kecelakaan Challenger, 7 astronot meninggal dan pesawat ulang-alik di grounded hingga 3 tahun. Biaya kerugian langsung USD 450 juta dan biaya tidak langsungnya USD 2,5 miliar.

Untuk menghindari normalisasi deviasi ini perlu dibuat aturan/standard operating procedur (SOP) bagaimana bekerja dengan aman dan selamat. Apabila ada pekerjaan atau kondisi tidak sesuai dengan aturan atau SOP tersebut maka itu merupakan deviasi/penyimpangan dan harus dikoreksi agar tidak menjadi kebiasaan. Koreksi dapat dilakukan ketika inspeksi lapangan, pengawasan oleh supervisor, ataupun berupa audit.

Jika dilihat dari level yang lebih tinggi lagi, kita bisa mengacu ke peraturan perundangan, standar Internasional, atau standar nasional yang berlaku. Standar inilah yang menjadi acuan apakah terjadi deviasi atau tidak.

Sama halnya dalam aturan agama. Misalnya kaum Nabi Luth yang menyukai sesama jenis. Masyarakat tersebut menganggap menyukai sesama jenis (homoseksual) adalah hal yang biasa dan lumrah. Pada fase ini terjadi normalisasi deviasi. Aturan agama Islam melarang homoseksual tersebut, dan itulah acuannya apakah perbuatan tersebut terdapat penyimpangan atau tidak. Hingga akhirnya kaum tersebut di azab oleh Allah SWT karena melakukan penyimpangan yang dilarang oleh agama.

Begitu pun dalam dunia kerja, jika ada yang melakukan penyimpangan dalam peraturan/prosedur/standar K3 maka harus dikoreksi dan diluruskan. Berikan pelatihan kepada pekerja. Lakukan sosialisasi K3, berikan edukasi dan informasi agar perilaku selamat menjadi gaya hidup. Jadikan K3 menjadi kebutuhan hidup dan standar bagi mereka baik di tempat kerja maupun di rumah dan lingkungan mereka. Jangan pernah bosan dan lelah dalam menyampaikan pesan K3. Karena boleh jadi dengan pesan yang anda berikan, anda telah menyelamatkan nyawa orang lain.

Hindari normalisasi deviasi. Tetap bekerja dengan selamat!

Referensi

www.flightsafetyaustralia.com/2017/05/safety-in-mind-normalisation-of-deviance/

https://sma.nasa.gov/docs/default-source/safety-messages/safetymessage-normalizationofdeviance-2014-11-03b.pdf?sfvrsn=c5421ef8_4

www.vivanews.com/berita/nasional/15805-seorang-penggali-sumur-tewas-diduga-hirup-gas-beracun?medium=autonext

https://surabaya.tribunnews.com/2019/10/17/2-warga-trenggalek-tewas-saat-gali-sumur-diduga-keracunan-gas-karbon-monoksida-dari-mesin-sedot-air?page=1

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: