Kisah Orang-Orang yang Tidak Biasa

Kisah Orang-Orang yang Tidak Biasa
Bagikan

Kisah Orang-Orang yang Tidak Biasa

Sesuatu dikatakan unik atau aneh apabila berbeda dari keumuman, tidak biasa, atau tidak lazim. Dan, ini tidak selalu buruk. Dalam sejumlah keadaan, berlaku “nyeleneh” atau melawan arus itu, justru menggambarkan keutamaan, kemuliaan, kecerdasan akal dan kebersihan hati dari para pelakunya.

1.Doa Seorang Guru yang Terdengar Aneh di Telinga Muridnya

Dalam Qashash wa Ma’ani, karya Ala’ Sadiq, dikisahkan tentang seorang saleh yang bernama Ma’ruf Al-Karkhi. Saat tengah duduk-duduk bersama para muridnya, lewatlah serombongan orang yang tengah merayakan sesuatu. Mereka memainkan beragam alat musik dan bernyanyi-nyanyi sambil menenggak minuman keras.

“Syeikh, lihatlah orang-orang itu,” kata salah seorang muridnya. “Mereka berbuat maksiat secara terang-terangan. Mereka tidak malu kepada Tuhan. Maka, apalagi kepada sesama manusia.”

“Doakanlah mereka agar celaka,” pintanya kemudian.

Ma’ruf Al-Karkhi kemudian mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Rabb! Sebagaimana mereka bisa bersenang-senang di dunia ini, buatlah mereka bisa bersenang-senang di akhirat.”

Mendengar doa itu, muridnya merasa heran. Dia lalu berkata, “Kami tidak memintamu berdoa seperti itu,” kata si murid.

Ma’ruf Al-Karkhi menjawab, “Jika mereka bisa bersenang-senang di akhirat, itu tandanya Allah mengampuni maksiat mereka saat di dunia.”

Lewat kata-katanya ini, Ma’ruf ingin mengajarkan kepada para muridnya bahwa dunia adalah tempat beragamnya kemungkinan. Apa yang tampak buruk tidak selalu akan berakhir tetap dalam kondisi buruk. Sebab itu, dia tidak perlu dikutuk.

Dalam ilmu tasawuf, itulah yang disebut dengan al-raja’, yaitu mengharap segala sesuatu menjadi baik, atau berakhir dengan kebaikan.

Orang yang menjaga al-raja’ dalam dirinya tidak akan pernah merasa puas dengan kebaikan. Karena itulah, dia tidak mengutuk keburukan. Justru, dia berharap agar keburukan berganti atau berakhir dengan kebaikan.

2. Seorang Cendekiawan dan Penggembala yang Buta Huruf

Seorang lelaki yang sedang sibuk menggembalakan domba-dombanya di padang rumput dihampiri seorang cendekiawan. Terjadilah perbincangan antara keduanya. Dari perbincangan itu, sang cendekiawan bisa tahu kalau lawan bicaranya adalah seorang buta huruf.

“Mengapa engkau tidak belajar?” tanya si orang ‘alim.

“Aku telah mendapatkan sari semua ilmu. Karena itu, aku tidak perlu belajar lagi,” jawab si penggembala.

“Coba jelaskan pelajaran apa yang telah kamu peroleh!”

Sambil menatap lelaki berpenampilan rapi itu, penggembala menjelaskan, “Inti semua ilmu pengetahuan ada lima.

  1. Selama masih ada peluang untuk bersikap jujur, aku tidak akan pernah berbohong.
  2. Selama masih ada makanan halal, aku tidak akan pernah memakan makanan haram.
  3. Jika masih ada cela (kekurangan) dalam diriku, aku tidak akan pernah mencari-cari keburukan (aib) orang lain.
  4. Selama rezeki dari Allah masih ada di bumi, aku tidak akan memintanya kepada orang lain.
  5. Sebelum menginjakkan kaki di surga, aku tidak akan pernah melupakan tipu daya setan.”

Cendekiawan ini sangat kagum atas jawaban penggembala. Dia lalu berkata:

“Kawan, semua ilmu telah terkumpul dalam dirimu. Siapapun yang mengetahui kelima hal yang kau sebutkan tadi dan dapat melaksanakannya, dia akan dapat mencapai tujuan ilmu-ilmu Islam serta tidak memerlukan buku-buku ilmu dan filsafat.” (Qashash wa Ma’ani)

3. Wanita Buruk Rupa yang Tidak Biasa

Pada suatu hari, seorang gubernur pada zaman Khalifah Al-Mahdi, mengumpulkan sejumlah rakyatnya. Dia menaburkan uang dinar di hadapan mereka. Semua yang hadir saling berebut memunguti uang itu dengan suka cita. Kecuali seorang wanita kumal, berkulit hitam dan berwajah jelek.

Sambil memandangi para tetangganya yang lebih kaya dari dirinya, dia terlihat diam saja tidak bergerak.

Dengan penuh keheranan, sang Gubernur bertanya, “Mengapa engkau tidak ikut mengambil uang dinar itu seperti orang lain?”

Wanita ini menjawab, “Yang mereka cari adalah uang dinar sebagai bekal dunia. Adapun yang saya butuhkan bukan dinar melainkan bekal akhirat.”

“Apa maksudmu?”

“Maksud saya, uang dunia sudah cukup. Yang masih saya perlukan adalah bekal akhirat, yaitu shalat, puasa dan zikir. Sebab, perjalanan di dunia sangat pendek jika dibandingkan dengan pengembaraan di akhirat yang panjang dan kekal.” (Qashash Muatssirah Lil Fatayât, Iyyadh Faiz).

Dikutip dari Kumpulan Kisah Teladan karya Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA. dan H. Zamakhsyari Hasballah, Lc. MA. Ph.D.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: