Cerpen: Sebuah Tawaran Mulia
Sebuah Tawaran Mulia
Oleh: Hani Mutiah
Note: tulisan ini telah dimuat di buletin KALAM (Kajian Islam Lobam) pada bulan Oktober 2006
“Hallo”
“Ya, Hallo”
“Bisa bicara dengan Santi, mbak?”
“Ya, saya sendiri, dari siapa ya?”
“Oh maaf saya kira salah sambung. Masa lupa sama saya…”
“Siapa sich?!”
“Masa lupa sama teman lama”
“Jangan bercanda ya mas. Nanti saya tutup telponnya!”
“Aduh mbak, jangan marah dulu dong. Ini saya Heri!”
“Heri…”
Pikiran Santi langsung menerawang mencoba menerka sosok Heri, pemuda yang menelponnya di subuh buta ini.
“Heri…? Heri mana…? Heri siapa…?”
“Heri…Heri…Jakarta!”
Santi menutup mulutnya dengan segera. Ia tidak ingin sosok pemuda di ujung sana mengetahui rasa kagetnya.
“Lho kok diam. Hallo?! Apa masih ada orang?” suara pemuda itu mengisi kebisuan.
“…ini Heri Jakarta ya?”
“Bukan, Heri Jakarta. Heriawan Wicaksono tau!”
“Ya dech…maaf. Kamu sekarang ada dimana, Her?”
“Lobam”
“Apa??!!”
Untuk kedua kalinya Santi menutup mulutnya. Ia tidak ingin sosok pemuda di ujung sana mengetahui rasa kagetnya lagi.
Suara Santi berubah menjadi lembut saat otaknya mampu menghadirkan sosok Heri, teman SMAnya dulu…ups, lebih tepat disebut teman lelaki yang pernah paling dekat di hatinya. Heri berangkat ke Jakarta untuk meneruskan kuliahnya di bidang Tehnik. Pemuda itu sangat maniak dengan pelajaran eksakta tersebut. Tapi udah lama sekali, kira-kira 8 tahun yang lalu.
“Kemaren sore. Eh, aku mau ke dorm kamu nich! Aku bawa oleh-oleh buat kamu… boleh gak???”
“Ya udah, datang aja!”
***
Santi masih memperhatikan replika tugu Monas dalam air dengan butiran-butiran putih yang berjatuhan seperti salju. Matanya jelas memandang benda itu, tapi hatinya tidak menyatu dengan maksud mata.
Meniti hari, meniti waktu
Membelah langit, belah samudera
Ikhlaslah sayang, kukirim kembang
Tunggu aku…tunggu aku
Rinduku dalam, semakin dalam
Perjalanan pasti kan sampai
Penantianmu semangat hidupku
Kau cintaku, kau intanku (1)
Santi masih mengingat isi surat Heri, saat pemuda itu akan berangkat ke Jakarta. Hatinya tak bisamenolak kenyataan bahwa ia akan sangat kehilangan Heri dalam waktu yang sangat lama. Apalagi bagi seorang remaja belia seusianya, 18 tahun, masa gejolak jiwa sedang bergetar hebat.
Bayangan Heri selalu saja melekat dalam benak Santi, meski tubuh remaja tampan berkulit bersih itu telah terpisah jauh di hadapannya. Hari-hari yang dilalui Santi terasa kosong tanpa makna. Tak ada, ceria, tawa, dan luapan gembira, yang ada hanya rasa rindu yang berdesakan di seluruh pelosok ruang jiwa Santi.
Di halte itu kutunggu
Senyum manismu kekasih
Usai dentang bel sekolah
Kita nikmati yang ada
…
Memang usia kita muda namun cinta soal hati
Biar mereka bicara, telinga kita terkunci
Biar tau…biar rasa
Maka tersenyumlah kasih
Tetap langkah jangan hentikan
Cinta ini milik kita (2)
Santi masih hapal benar lirik lagu itu, lagu kebangsaan cinta mereka dulu. Mereka biasa menyanyikan lagu itu ketika berdua, saat makan di restoran cepat saji, atau saat duduk di taman kota sambil menikmati susu hangat dan roti bakar.
Santi mencintai Heri, begitu juga sebaliknya. Meskipun kedua orangtua mereka tidak begitu menginginkan mereka berpacaran. Alasannya, takut mengganggu sekolah dan pelajaran. Tapi, Santi dan Heri tidak peduli. Sampai orangtua Heri akhirnya perlu memisahkan keduanya dengan mengirim Heri ke Jakarta.
Santi baru mampu meredam amuk cinta itu ketika dia akhirnya direkrut dan diterima kerja di Pulau Bintan, Lobam dan mulai akrab dengan teman-teman di MT, dan RMNI kawasan tempat tinggalnya. Langkah Santi semakin mantap untuk mencoba melupakan Heri, apalagi saat Santi kerap ikut dalam pengajian pekanan (halaqoh).
“Cinta yang utama adalah cinta kepada Allah SWT. Seorang muslim hendaknya selalu bisa mengarahkan cintanya kepada sesuatu yang dicintai Allah dan menghindarkan sesuatu yang dibenci Allah…” begitu kata Ustadzah Retno dalam sebuah ceramah kajian Nisa’ di Masjid Nurul Iman.
Santi terus menerus dalam lamunannya memandangi hadiah dari Heri sampai nyanyian Opick keluar melalui HP dan masuk ke dalam telinganya.
“Uni Hafsah??!” bisiknya.
***
“Ana ingin menyampaikan kabar kepada anti, karenanya ana telpon anti semalam.”
“Kabar apa ya, Uni?”
“Begini, ana melihat anti sudah semakin dewasa. Umur anti sekarang sudah 26 tahun, sudah bekerja, sudah lama Tarbiyah bahkan sudah punya binaan”. Uni mengawali kata-kata dengan sangat hati-hati.
“Ana merasa juga menurut pertimbangan pikiran ana, anti sanggup dan pantas menerima dan menjalankannya”.
Santi hanya duduk diam dan mencoba mendengarkan dengan seksama.
“Ana juga sangat memahami karakter dan sifat anti. Begitu juga dengan keislaman dan pemahaman anti, semakin membuat ana yakin dengan pertimbangan ana ini”
“Begini Santi, ada seorang Ikhwan yang ingin mengenal anti dan mengajak anti untuk menjadi istri beliau. Bagaimana pendapat anti?”
Santi hanya diam, ia menunduk sebentar, lalu mengangkat kepalanya lagi.
“Ana tidak ingin anti terburu-buru dalam menentukannya. Ana ingin anti mempertimbangkannya masak-masak. Istikharah yang mantap ya..!”
“Oh ya, kalau anti mau lihat orangnya. Besok pagi, beliau mengisi acara kajian bedah buku “Sirah Sahabat” di Masjid At-Taqwa di Tanjung Uban.
“Kapan kiranya ana dapat kepastian dari anti?”
“eng… ana akan telpon Uni segera setelah istikharah ana mantap” suara Santi keluar agak gugup.
“Tafadhal. Ana tunggu, Insya Allah”
Malam kembali bergulir, Santi menghisap malam dengan lamunan yang tak henti. Baru saja ia menemukan kembali kekasihnya yang hilang, tapi di saat yang sama ia harus mempertimbangkan cinta seseorang yang lain. Jelas ini tidak mudah baginya.
“Heri…tampan, cerdas, staff di PT yang bonafit lagi. Orangtuanya kaya, tidak punya kakak, hanya ada satu adik perempuan. Secara materi aku tidak akan kekurangan bila menikah dengan Heri. Apalagi secara batin…dia cinta pertamaku…”.
“Meskipun ia belum terbina, ah…banyak kok akhwat yang menikah dengan orang yang belum terbina. Atas nama cinta, Insya Allah aku coba mengajaknya ikut pengajian”.
“Fachri Abdullah…sama sekali aku belum pernah melihatnya, tapi bila dilihat dari lamanya tarbiyah dia juga termasuk kriteriaku. Gimana nich? Ah… masa’ bodo’, lebih baik aku lihat dulu orangnya besok…”
Malam terus setia melihat gadis muda yang tengah dilanda gundah gulana karena cinta.
***
“Kepada Ikhwan wal akhwat sekalian, saya sebagai moderator minta maaf karena keterlambatan Akh Fachri Abdullah. Tapi Insya Allah beliau sudah dijemput dan dalam perjalanan ke sini…”
“Baiklah saya lanjutkan dengan membaca pengumuman dari panitia. Bagi yang ingin membeli buku “Sirah Sahabat” dapat di beli di sini melalui Akhi Muhyidin atau Ukhti Susi, dengan harga…”
“Oh… ya… ya… ya… maaf hadirin, pembicaranya sudah datang…”
Santi langsung mengangkat badannya setengah berdiri.
“Mana…???”
“Selamat datang kepada Akh Fachri. Ahlan wa Sahlan!”
“Mana??? Mana orangnya???” batin Santi berteriak mencari yang dimaksud.
Matanya akhirnya tertuju kepada seseorang yang dibantu untuk duduk di kursi pembicara. Lelaki bertubuh kecil dengan tinggi tidak lebih dari 130 cm, berbaju batik dengan peci putih di kepalanya. Mukanya agak gelap dengan sedikit bekas jerawat menghiasi pipi. Jenggotnya tumbuh sedikit, dan kemudian di rapihkan dengan telapak tangannya yang mirip dengan telapak tangan balita.
“Gimana kabarnya Akhi? Bisa kita mulai?”
“Silakan!” suara Akh Fachri keluar agak parau.
Ah, Santi mulai tidak bersemangat berada di sini. Rasa panas dan gerah yang dirasa sejak tadi malah semakin menyengat. Tak ada keinginan sedikit pun untuk sekedar duduk mendengarkan ceramah yang ditunggu-tunggu semua orang sejak tadi. Ia ingin keluar dari tempat ini! Tak sabar ia ingin melakukannya sekarang! Sekarang juga!
“Ah, teganya Uni Hafsah menjodohkan aku dengan lelaki cebol. Apakah ia tidak tahu aku bisa memperoleh yang lebih baik darinya?!” hati Santi terus menggerutu sambil melangkahkan kaki keluar dari Masjid.
***
“Ana rasa, saat ini ana belum siap untuk menikah, Uni”
“Kenapa? Anti sudah melihat orangnya?”
Santi mengangguk pasti, lalu bibirnya ingin bicara cepat tapi tertahan.
“Ada apa? Apa karena ia seorang bertubuh kecil?!!”
“Tapi, Uni, bolehkan ana mendapatkan yang lebih baik dari itu”. “Maksud anti?”
“Bagaimana dengan keturunan ana nanti, bila ana menikah dengannya?
Bagaimana dengan orangtua ana bila mendapat menantu seperti itu? Apa kata saudara-saudara nanti? Bagaimana kalau mereka semua menghina ana? Apa yang ana dapat dengan menikah dengan orang seperti itu? Apa kata orang-orang kalau ana menikah dengan…”
“Santi…tenang dulu!” Uni Hafsah mencoba menahan luapan rasa kesal Santi.
“Pokoknya ana tidak bisa menikah dengan orang itu…ana tidak sanggup…bahkan untuk sekedar membayangkannya, ana…”
“Jijik??!!” Uni Hafsah spontan menimpali.
Kepala Santi langsung menunduk, setengah menangis. Ia ingin menyimpan wajahnya yang memerah karena kesal dan takut. Mati-matian ia terus menolak.
“Uni, ana tidak ingin jadi bahan tertawaan orang lain…”
“Terserah anti, kalau anti tidak ingin menikahinya. Itu hak anti! Tapi Santi, setiap orang tidak ingin memiliki tubuh yang cacat…tidak Santi!”
“…andaikan saat dilahirkan ia dapat memilih maka ia pasti memilih tubuh yang sehat dan sempurna… ia juga pasti akan memilih lahir dari rahim seorang ibu yang kaya dan beriman…”
“Tapi kamu, Santi…pikiran anti ternyata lebih cacat dari tubuh Akh Fachri…”
“Sekarang anti boleh pulang!” Uni Hafsah segera menuntaskan amarahnya. Ia tidak ingin emosinya meledak mendengar sejuta alasan yang tidak masuk akal dari murid binaannya itu.
***
Suara burung bersahutan bernyanyi sangat merdu. Mereka terbang dan hinggap bagai penari balet yang sedang beraksi. Daun-daun kering dari pohon angsana berjatuhan mirip salju dalam replika tugu Monas dalam air. Dua orang wanita sedang berbincang-bincang. Keduanya berdiri. Yang satu wanita berbaju putih sedang membawa sekumpulan berkas-berkas dan yang satunya lagi wanita tua sedang mendorong kursi roda.
“Bagaimana anak saya ini, dok?”
“Rasanya ada sedikit kemajuan, bu”
“Ah…sudah 15 tahun ia seperti ini tapi baru sedikit kemajuan”
“Sabarlah bu. Mudah-mudahan dengan terapi ini ia akan lebih baik lagi”
“Sejak suaminya, Heri menikah lagi dengan seorang wanita di Jakarta, pikiran putri saya langsung seperti ini”
“Ternyata Heri sudah kumpul kebo dengan wanita itu saat ia kuliah di Jakarta, brengsek anak itu!”
“Kok tega-teganya dia, mempermainkan wanita…malang benar nasibmu, nduk”
“Sudahlah bu, jangan diingat-ingat lagi. Kasihan Santi, ia butuh istirahat. Biar saya yang bawa ke kamarnya. Ibu bisa pulang ke rumah”
“Ibu pulang dulu ya nduk!”
Santi tidak menyambut ciuman ibunya. Matanya kosong menatap ke depan. Wajahnya yang pernah putih bersih kini terlihat sangat pucat. Kerutan-kerutan mulai tampak jelas di kening dan kulit sekitar matanya. Tubuhnya yang sintal telah lenyap dihisap stress berkepanjangan. Kini, tinggal sedikit daging yang membalut tulangnya.
Kecantikan macam apa yang bisa di dapat dari seorang wanita berusia 41 tahun dalam keadaan gila?!
Kursi roda Santi bergerak menuju kamar Rumah Sakit Jiwa yang pengap. Santi kembali kepada kegelapan setelah melihat indahnya matahari. Hidupnya menjadi kosong, setelah menolak kemuliaan yang hampir datang kepadanya…
Itulah sebuah tawaran mulia yang datang untuk pertama dan terakhir kali dalam hidupnya.
Catatan kaki: (1) Diambil dari lirik lagu “Ikrar”, karya Iwan Fals dalam album “Belum Ada Judul”
(2) Lirik lagu “Buku Ini Aku Pinjam” karya Iwan Fals dalam album 1910
(Gubahan dari cerpen Al Izzah)
Recent Comments