Cerpen: Hadiah Kenang-Kenangan Mahesa

Hadiah Kenang-Kenangan Mahesa
Bagikan

Cerpen: Hadiah Kenang-Kenangan Mahesa

Mahesa pindah kantor. Itu bukan berita yang mengejutkan bagi Royden, bos perusahaan advertising. Tapi kepindahan secepat ini, itu yang tidak biasa.

          “Mas, maaf, aku buat keputusan ini kayaknya begitu mendadak.Tapi gimana lagi…Ah, sulit menjelaskannya. Nanti saja, aku jelaskan kalau aku nggak disini lagi…,” begitu Royden dengar dari Mahesa.

          Hingga kini, Royden masih bingung dengan keputusan yang diambil Mahesa pindah.

          Royden sebenarnya masih sayang terhadap Mahesa. Enggan rasanya, ia melepas Mahesa untuk pindah ke kantor lain. Tapi apa daya, tampaknya bukan uang yang menyebabkan Mahesa pindah. Ia sudah diberikan segalanya. Gaji yang besar, fasilitas yang berlebih, mobil Bi-eM terbaru, rumah sekelas Bintaro, pokoknya segalanya. Ya, apa daya, tampaknya ada sesuatu yang lain yang dicari Mahesa. Dan Royden berusaha memahami itu. Namun, rencana kepindahannya yang secepat Mahesa katakan itu yang membuat Royden tetap sedikit terkejut. Ibaratnya, pagi ngomong mau keluar, sorenya sudah mengemasi barang.

          “Berilah aku kesempatan untuk membuat sedikit acara seremoni,” kata Royden membujuk Mahesa agar mau menunda barang seminggu-dua minggu lagi kepindahannya.

          Mahesa mengangguk.

          Segera Royden merancang beberapa gagasan rencana melepas kepergian Mahesa. Layaknya seorang sahabat yang akan bepergian jauh dan tak akan kembali lagi, begitulah kesan acara seremoni yang akan digelar Royden untuk Mahesa, kawan bisnis, sekaligus sahabat dan juga seorang saudara.

          Mahesa memang bukan sekadar kawan. Sejak SLTP, Mahesa sudah diangkat anak oleh Pak Andrian Suherman.

          Dulu, ayah Mahesa, Pak Prataph Mahesa, adalah bos Pak Andrian Suherman, yang tidak lain ayah Royden. Karena Pak Andrian ini jujur dan cakap bekerja, ia menjadi orang paling dekat dengan Pak Prataph. Bahkan, mereka berdua berhubungan tidak hanya sebatas kawan kerja, tapi lebih dari hubungan persaudaraan.

          Sejarah kemudian bercerita lain, bergulir demikian rupa diatur sang Waktu. Pak Prataph, yang tadinya pimpinan, dan Pak Andrian, yang tadinya karyawan, kemudian bertukar tempat. Kini giliran Pak Andrian, ayah Royden, yang menjadi bos.

          Ada satu kejadian yang membuat Pak Prataph terjatuh. Ketika ia merasa sudah berada di puncak keberhasilannya, ia tergiru main judi. Dan sebenarnya, itu hanya salah satu penyebab kehancuran. Kehancuran yang lebih fatal adalah karena beliau terlalu memanjakan keinginan dan kebutuhan, lalu lupa menginjak bumi – merasa segalanya sudah dipegang, merasa segalanya sudah dimiliki. Keteguhan hati Pak Andrian, yang waktu itu masih menjadi anak buah, tidak sanggup mencairkan kebekuan hati sang sahabat. Hingga terjadilah suasana yang sebenarnya tidak diinginkan Pak Andrian sendiri. Ia dipilih pemegang saham untuk menggantikan Pak Prataph sebagai direktur.

Meskipun Pak Prataph mencoba menerima kenyataan pahit tersebut, ia tetap sempat mengalami stress berkepanjangan. Dari yang semula direktur dan bos di perusahaannya sendiri, kini ia tidak memiliki apa-apa lagi. Sang istri bahkan sempat kabur meninggalkan Pak Prataph. Hanya karena Pak Prataph tahu benar bahwa itu lantaran terjadi lantaran kesalahan pribadinya dan bukan kehendak Pak Andrian, maka sedikitpun ia tidak menaruh dendam terhadap Pak Andrian.

          Pada saat-saat seperti inilah, Pak Andrian menunjukkan balas budinya pada keluarga Prataph. Ekonomi keluarga Prataph ia tunjang dan Mahesa, anak satu-satunya, ia ambil untuk diasuh olehnya.

          Sejarah berganti, dari era Prataph dan Andrian, kini berlanjut ke anak turunan mereka, Royden dan Mahesa. Royden dan Mahesa kini sudah tumbuh sebagai pemuda dewasa yang sudah diserahkan tampuk kepeminpinan untuk melanjutkan kehidupan perusahaan.

          Sejarah tadi, demikian membekas di benak Mahesa. Mahesa paham benar apa yang membuat ayahnya hancur dan terpuruk. Dulu, ayah Royden – yang saat itu statusnya karyawan dekat – tidak berhasil mengubah kepribadian ayah Mahesa – yand saat itu menjadi pimpinan – hingga ayah Mahesa ditendang keluar. Dan, ia tidak ingin hal tersebut terjadi pada Royden.

          Mahesa memilih berkarier mandiri, bukan ingin melepas “beban moral” dan bukan untuk dikatakan tidak berbudi. Ada alasan kemunduran dirinya yang lebih utama tidak diketahui oleh Royden. Yaitu, Royden sudah berubah!

Mahesa melihat Royden mulai memiliki sifat-sifat jelek sebagaimana yang dimiliki ayahnya dulu, Pak Prataph. Royden bahkan tidak memiliki sifat-sifat

Pak Andrian, ayahnya sendiri, yang begitu teguh memegang ajaran moral dan etika, mengusung tinggi kesederhanaan hati dan kejujuran. Mehesa mulai melihat Royden mulai gemar gonta-ganti pasangan setiap minggunya. Royden juga diliharnya mulai menomorduakan Allah. Sifat-sifat inilah yang menyebabkan Pak Prataph, ayahnya, terlempar dari kenikmatan dunia yang pernah digenggamnya. Dan, Mahesa tidak mau hal ini terjadi pada Royden. Mahesa tidak ingin sejarah terulang untuk kesekian kalinya.

          Mahesa ingin mundur karena ia merasa tidak berdaya menasehari Royden, atasannya. Bagaimanapun ia diistimewakan, Royden is still his boss. Makanya, Mahesa memilih mundur. Ia ingin tetap menjaga jarak untuk kemudian bisa mengingatkan Royden.

          Tiba-tiba saat acara perpisahan. Royden memberikan kenang-kenangan kunci mobil Toyota Altis terbaru untuk Mahesa. Mereka berdua larut dalam acara perpisahan yang digelar bukan saja secara meriah, melainkan juga mengharukan.

          Royden pun mendapatkan hadiah kenang-kenangan dari Mahesa. Tapi ia dibisiki untuk tidak membukanya, kecuali sesampainya ia di rumah dan membukanya sendiri di kamar. Tidak juga di mobil, di perjalanan pulang nanti, begitu pesan Mahesa. Meskipun penasaran, Royden mengangguk mengiyakan.

          Selepas acara perpisahan, Royden berpesan agar Mahesa tidak pernah jauh dari kehidupannya. Royden mengingatkan Mahesa bahwa kehidupan yang ia capai juga karena jasa ayahnya Mahesa, Pak Prataph, kepada ayahnya dan keluarganya.

          Mahesa tersenyum manis dan menjawab pelan, “Tidak akan, Brother, tidak akan! Aku tidak akan pernah jauh dari kehidupan kamu…At least di dalam doaku….”

          Di kamar, Royden membuka hadiah dari Mahesa. Ia termangu. Hadiah itu bukan hadiah mahal, setidaknya menurut kaca mata manusia modern – apalagi dibandingkan dengan kado perpisahan darinya buat Mahesa, Toyota Altis baru. Mahesa menghadiahkan empat buah kado istimewa: Al Qur’an, untaian tasbih yang terbuat dari kayu cendana, batu nisan, dan kain kafan. Sejenak ia sempat bingung, tapi kemudian ia berusaha memahami maksud kado-kado istimewa Mahesa. Ia tambah termangu sebab dalam hadiah itu terselip surat tulisan tangan Mahesa dan foto-foto lama ayah Royden dan ayah Mahesa – yang waktu itu ayah Royden masih berstatus bawahan ayah Mahesa.

          Royden terpaku dalam kesunyian di kamarnya. Kakinya tidak melangkah sedikitpun, terdiam, terpaku, membaca surat dari Mahesa. Perlahan-lahan, air matanya menetes haru, demikian perhatiannya Mahesa terhadap dirinya.

          Roy…, kamu lihat foto-foto ini…, foto-foto ketika ayahmu dan ayahku masih sehat, masih gagah. Masih ingatkah kamu dengan wajah ayah-ayah kita dengan segala cerita kehidupan di seputar mereka? Aku tidak ingin sejarah terulang menghampiri kehidupan kita. Kamu nanti jadi bawahan dan aku jadi atasan. Sebab, kegagalan sudah membayangi kehidupan kamu, Roy. Aku “membacanya” lewat kelakuan kamu satu tahun terakhir ini.

          Apa yang akhir-akhir ini kamu lakukan adalah juga apa yang dilakukan oleh ayahku menjelang masa-masa kehancurannya. Dan aku tahu itu, Roy. Darahmu sudah sama dengan darahku, lantaran dialiri rezeki dari orang yang sama, yaitu ayahmu, setelah aku diserahkan oleh ayahku.

          Wanita, minuman, dan gemerlapnya dunia, akhirnya membuat ayahku terlempar dari kehidupan yang sebelumnya ia banggakan. Dan ayahmu dengan keteguhan hatinya, kejujuran, dan kerja kerasnya, justru bisa meraih apa yang sebelumnya tidak ia bayangkan.

          Dan semua itu, mulai aku lihat dalam kehidupanmu. Rita, Novi, Aryanti, dan beberapa nama lagi yang akan kamu sia-siakan. Aku juga iri dengan “obat”dan “minuman”, yang lebih akrab dengan kamu ketimbang aku. Makam ayah-ayah kita tidak lagi kamu kunjungi. Mama di rumah pun, jarang kamu tengok. Kamu juga sekarang lebih senang “menengok” kesenangan kamu, ketimbang keseusahan orang-orang di sekelilingmu. Sesuatu yang sebenarnya aku warisi dari ayahmu dulu.

          Aku tidak  mau sejarah terulang. Kamu jatuh lantaran perubahan sikap dan sifat, dan aku lalu naik ke atas. Persis seperti yang terjadi pada sejarah kehidupan Prataph dan Andrian, ayahku dan ayahmu. Aku tidak mau itu. Aku mau justru kita berada dalam posisi puncak yang stabil, langgeng. Tidak ada yang satu kemudian harus merasakan hidup kembali di bawah, sementara yang lain naik.

          Roy, sebagai kenang-kenangan, sekaligus pengingat sebelum semuanya terlambat, aku serahkan kembali semua hadiah yang dulu ayahmu hadiahkan kepada ayahku ketika dulu ia masih jaya; Al Qur’an, tasbih, batu nisan, dan kain kafan. Maksud bapakmu jelas, supaya ayahku itu ingat akan kehancuran, kebinasaan, dan kematian. Tapi apa lacur, ayahku begitu mabuk dengan dunia yang sedang digenggamnya, silau dengan harta yang sedang berada dalam kendali tangannya. Sehingga peringatan sahabatnya itu tidak dipedulikannya. Hadiah-hadiah itu tidak sanggup meluluhkannya.

          Tidak ada yang abadi, Roy, termasuk segala nikmat. Apalagi, bila kita cepat menukar kenikmatan dengan kemaksiatan di hadapan Sang Pemberi Nikmat.

          Roy, pandangilah foto ayah-ayah kita, perhatikan senyuman mereka. Dan perhatikanlah bagian foto-foto yang lain ketika kemuraman dan kesuraman membekas di wajah mereka.

          Roy, sekali lagi pandangilah lekat-lekat hadiah ayahmu yang kini aku hadiahkan lagi kepadamu dan pelajarilah kisah kehidupan mereka.

          Bravo, Roy! Aku pikir, kamu tidak akan berbeda dengan ayahmu, yang selalu menjaga sikap dan sifat-sifat baiknya hingga ajal menjemput. Tidak dalam kemiskinan dan tidak juga dalam kejayaan. Sebelum semuanya terlambat!

Saudaramu, Mahesa

          Entah apa yang ada di benak Royden saat itu. Ia baru paham alasan Mahesa mengundurkan diri. Itu karena ia tidak bisa dinasehati lagi.

          Ia tiba-tiba tersadarkan diri bahwa ia sesungguhnya sedang mengulang sejarah buruk dengan segala kelakuan buruknya ini. Dan karena itu, ia berterima kasih kepada Allah yang menghadirkan keputusan Mahesa tepat pada waktunya, sebelum semua perbuatannya menjadi mental yang sulit dihilangkan. Ia juga bersyukur bahwa Mahesanya masih menjadi Mahesa bagi dirinya, yang bukan sekedar kawan di saat suka, tapi juga bisa sebagai pengingat.

          Ah, tiba-tiba teringat almarhum ayah Mahesa, Pak Prataph. Sosok yang sebenarnya dulu begitu kerja keras dan berdedikasi pada agama, moralitas dan keluarga – sebelum kemudian berubah.

          Mahesa benar, Pak Prataph akhirnya hanya bisa meratapi hartanya yang satu demi satu petgi meninggalkan dia. Pak Prataph tidak mampu mempertahankan amanah Allah yang begitu besar dipercayakan oleh-Nya, dengan mempertontonkan hal-hal yang membuat-Nya mencabut segala nikmat.

“Ah, Mahesa lagi-lagi benar. Aku harus belajar dari kisah perjalanan Pak Prataph, dan juga ayahku. Salam untuk engkat, wahai ayah-ayahku,” bisik Royden pelan. Ia kuatkan batin untuk ingat lagi kepada-Nya, kepada Allah Sang Pemberi Segala Nikmat dan mengakui kesalahan-kesalahannya.

          Royden melangkah kaki, membasuh muka dan mengambil wudhu. Dengan air mata berlinang, ia gelar sajadah, shalat sunnah dua rakaat. Ia bersyukur sudah diingatkan Allah dan diberikan Mahesa sebagai pengingat dirinya. Belum pernah ada kesejukan yang mengalir indah di hatinya seperti yang dialaminya saat ini. Air mata terus membasahi pipinya. Air mata bahagia, bukan air mata kecengengan seorang laki-laki.

          Nun jauh dari kamar Royden, Mahesa pun sebenarnya sedang berada di atas sejadah pula. Mahesa tahu benar bahwa saat ini, Royden sedang membaca suratnya. Makanya, ia memohon agar Allah membukakan mata hati Royden bagi kehadiran Allah. Dan Allah menjawab permohonannya.

          Akar kepindahan Mahesa sudah diketahui Royden, dan ia bisa menerimanya. Maka, satu hal yang tidak mau ia tunggu hingga fajar muncul adalah menelepon Mahesa, untuk memintanya membatalkan kepindahannya.

          Di ujung telepon, di seberang sana, Mahesa menjawab, “Roy…kulihat wajah ayah-ayah kita menetaskan air mata bahagia…”

 “Maka apabila datang malapetaka yang besar pada hari manusia mengingat apa-apa yang telah dikerjakannya, ditunjukkanlah neraka kepada siapa yang melihat. Maka, adapun orang yang durhaka dan lebih mementingkan kehidupan dunia, maka sesungguhnya neraka itulah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga itulah tempat tinggalnya.” (QS.An Naziat: 31 – 41).

(Dikutip dari buku Wisata Hati: Guru Kehidupan. Pengarang: Yusuf Mansur. Mizan, 2004)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: