Cerpen: Karena Niatku

Karena niatku
Bagikan

Karena Niatku

“Sebel..!!!!”, teriak Delima, siswi SMU kelas 2 yang
baru saja menerima rapor cawu 2. Dilihatnya
berkali-kali nilai rapor yang berada di genggaman
tangannya, tetapi tetap saja menunjukkan angka yang
sama. Nomor peringkat kelas yang tercantum di rapornya
tetap menunjukkan angka 2. Delima betul-betul tidak
merasa puas dengan apa yang diperolehnya. Rasa iri,
dengki, marah, jengkel, sekaligus rasa ingin tahu
bercampur aduk dalam hati dan pikirannya.
“Hai, Del! Kok bengong aja? Lagi mikirin apa, sih?”,
tanya Viras tiba-tiba. Cowok gaul yang satu ini memang
paling suka menyapa Delima.

“Gue lagi sad, nih. Nilai rapor gue jelek.”, jawabnya
singkat.
“Memangnya kamu dapet peringkat berapa?”
“2”

“Haaah? Peringkat 2? Bujug busyet!! Pinter banget loe!
Mestinya loe bersyukur. Coba lihat gue. Meskipun Cuma
peringkat 5, gue masih hepi-hepi aja, tuh.”, sambung
Viras sambil berusaha membesarkan hati Delima.

“Elo sih enak. Dari peringkat sembilan langsung naik
ke peringkat lima. Lha gue? Ditengah hepi-hepinya
duduk di peringkat 1, tiba-tiba saja ada yang
menggusur gue ke peringkat 2.”, keluh Delima
mengungkapkan perasaan jengkelnya.
“Kira-kira, siapa murid misterius yang berhasil
menggeser kedudukan terhormatmu, ya?”, tanya Viras.
“Au’ah, gelap!”, ungkap Delima dengan ketusnya.
Tiba-tiba saja, Seorang ukhti berhijjab putih berlari
melewati hadapan Viras dan Delima sambil membawa
tasnya. Bibirnya menampakkan senyum yang luar biasa.
Namun pipinya nampak merah dan matanya berkaca-kaca.
Beliau sudah berusaha menutupi wajahnya yang bahagia
dengan tangannya yang mungil, tetapi masih terlihat
juga. Dialah Nadhifa. Siswi manis pindahan dari
Bontang, Kalimantan Timur.

“Ngapain si alim itu? Raut mukanya aneh.
Jangan-jangan….”, Viras berusaha menduga-duga.
“Jangan-jangan dia adalah murid misterius yang kamu
bilang tadi.”, sambung Delima dengan cepatnya. “Baik!
Akan kulabrak si culun itu sekarang juga!”, lanjutnya
sambil memasang ancang-ancang untuk mengejar Nadhifa.
“Tunggu, Delima!”, cegah Viras sambil menarik lengan
baju Delima. “Jangan sekali-kali kamu mencegah
langkahnya menuju ke tempat mulia.”
“Ha? Apa maksudmu?”

“Coba lihat ke arah mana Nadhifa berlari.”, pinta
Viras. Kali ini dengan lebih tegas. “Dia berlari ke
arah Masjid As-Salam. Pikirkanlah tentang apa yang
hendak dilakukannya di sana. Mungkin saja dia hendak
sujud syukur kepada Allah karena mendapat nilai yang
bagus. Delima, renungkanlah lagi tentang apa yang
hendak loe perbuat.”

Mendengar perkataan Viras, hati Delima sempat tergugah
sekaligus merasa bingung. Viras, si gaul yang korak
dan tidak pernah melangkahkan kakinya ke masjid baru
pertama kali ini mengatakan hal yang luar biasa.
Tapi…,”Enggak lah yau! Gue tetep mau ngelabrak dia!
Gue tunggu deh! Sampe’ dia keluar dari masjid.”
Lima belas menit berlalu. Delima masih bersi keras
menunggu Nadhifa. Walaupun panas mentari menyengat
kulit, niat buruk tetap saja sahabat setan.
“Aduuh! Panas banget nih, Del. Kita tunggu di dalam
kelas saja, yuk.”, keluh Viras yang masih berusaha
menemani Delima.

“Enggak! Enggak! Enggak! Pokoknya enggak! Gue masih
mau nunggu di sini.”, protes Delima.
“Tapi, Del..”, Viras berusaha mengelak.
“Sudahlah! Ngikut gue aja!”, pinta Delima.
Di tengah-tengah perdebatan mereka, pemikiran Viras
sudah mulai berubah. Dia sudah mulai bisa membedakan
siapa yang baik dan siapa yang buruk, siapa yang
pantas mendapat juara 1 dan siapa yang tidak, siapa
yang benar dan siapa pula yang salah, siapa yang
diridhoi Allah dan siapa yang tidak. Semuanya sudah
mulai bisa dijawabnya. Tampaknya, kali ini Viras lebih
membela Nadhifa.

“Eh! Nadhifa keluar, tuh! Ayo kejar!”, teriak Delima.
“Tunggu!”, lagi-lagi Viras mencegah Delima. “Coba
lihat raut mukanya. Dia berlari dengan wajah
ketakutan. Mungkin saja ada sesuatu yang terjadi.”
“Nggak ngurus! Pokoknya gue mau ngelabrak dia.”. Di
kala Delima berlari, tiba-tiba langkahnya terhenti.
“Sebaiknya gue nunggu di sini aja, deh. Sebentar lagi
pasti dianya balik ke masjid lagi.”.
“Lho? Kamu tahu dari mana?”, tanya Viras
terheran-heran.

“Pertama, karena kelihatannya dia terburu-buru, dan
yang kedua, karena dia tidak membawa tas. Memang nggak
pasti, sih. Tapi kemungkinan besar ia akan kembali ke
masjid lagi karena tasnya ia tinggal di masjid. Tadi
waktu dia pergi ke masjid, dia lari sambil membawa
tas, kan?”, Delima berkata dengan bangga sambil
menyombongkan kecerdasannya. Sepertinya dia masih
merasa bahwa dialah yang pantas menduduki peringkat
satu.

“Tuh! Dhifa datang!”, tunjuk Viras.
Nadhifa datang dari arah kantin sekolah sambil membawa
sekantung pop corn. Mungkin ia hendak menyantapnya di
masjid. Tapi, mengapa harus terburu-buru?
“Baik! Gue labrak sekarang!”. Delima langsung berlari
menuju Nadhifa.

“Tunggu!!!!”. Viras sudah berusaha mencegah
“Memang manusia tidak pernah puas dengan apa yang
pernah diperolehnya. Bahkan mereka rela berbuat
maksiat terus-menerus. Tidakkah manusia itu berpikir
bahwa masih ada kehidupan setelah hari kiamat?
Tidakkah mereka berpikir bahwa mereka akan dihadapkan
ke pengadilan Allah? Sesungguhnya dunia itu hanyalah
penjara sesaat bagi orang-orang yang beriman dan
merupakan Surga sesaat bagi orang-orang kafir.
Sebagian manusia lebih memikirkan dunianya daripada
akhiratnya.”, kata Hanif, salah satu anggota SKI kelas
3 yang kebetulan sedang berada di samping Viras.
“Lho? Mas Hanif nyinggung Delima, ya?”

“Tidak. Tetapi saya memberitahu kamu. Begitulah sifat
buruk orang-orang kafir. Bukalah pandanganmu, dik
Viras. Sepertinya kamu sudah bisa menggunakan akalmu
dengan benar saat ini.”, ungkap Mas Hanif sambil
tersenyum ramah. “Ngomong-ngomong, habis ini Dik Viras
mau ke mana? Kalau ada waktu, mampirlah ke masjid
bersama saya untuk menunaikan dzikkrullah dzuhur.
Sebentar lagi Adzan Dzuhur berkumandang.”
Sebuah jawaban ikhlas sambil tersenyum malu keluar
dari mulut Viras yang bermuka merah ini, “Iya, deh.”.

^_^.

Subhanallah! Untuk pertamakalinya Viras mengatakan
kesediaannya untuk shalat dengan mantap. Ternyata
kejadian ini betul-betul mengetuk pintu hatinya. Thank
you, Allah!

Sementara itu, Delima melabrak Nadhifa. Ternyata
niatnya belum berubah juga. “Hei Nadhifa! Gue mau
ngomong! Loe tuh koq nggak tau malu banget, sih?
Mentang-mentang sok hebat, loe langsung menggeser
kedudukan gue! Apa maksud, loe? Nantang, ya?”, bentak
Delima seketika. Tapi, namanya juga Nadhifa. Karena
ukhti ini belum mengerti pokok permasalahannya, beliau
hanya mengatakan satu hal saja,”Astaghfirullah
hal’adzim!”.

“Tau, nggak? Kedudukanmu di sini nih masih anak baru,
tahu! Belum-belum udah kurang ajar! Dasar culun!!”,
ledek Delima lagi. Tetapi ukhti Nadhifa masih terdiam.
Beliau menunggu Delima sampai menghentikan omongannya
hingga lega. Caci dan maki masih terus dilontarkan
Delima dengan suara keras. Sehingga hampir seluruh
penghuni sekolah mengetahuinya. Setelah bermenit-menit
menghina Nadhifa, Delima menghentikan perkataannya.
Sepertinya beliau baru saja sadar kalau tingkah laku
tercelanya itu diperhatikan oleh hampir seluruh
penghuni sekolah.

“Ayo ikut saya. Ada sesuatu yang menarik di lantai 4
Masjid As-Salam (bagi yang belum tahu pasti penasaran
deh). Kalau kamu melihatnya, Insya Allah hati dan
pikiranmu menjadi jernih, deh.”, kata Nadhifa dengan
riang sambil menarik lengan Delima. Sepertinya ia
tidak merasakan apa-apa setelah diserbu hinaan Delima.

Delima yang tadinya berapi-api, kini menjadi bingung
dengan tingkah laku Nadhifa. Melihat ketergesa-gesaan
Nahifa mengajaknya ke masjid, akhirnya Delima nunut
saja.

Sampai di lantai 1 Masjid As-salam, Nadhifa meminta
Delima untuk mengambil air wudhu. Katanya, “Ini
penjernihan hati, pikiran, dan badan tingkat pertama
yang ingin kutunjukkan padamu.”. Ternyata benar.
Setelah Delima mengambil air wudhu, dirinya merasakan
kesegaran yang luar biasa.
“Gimana perasaanmu sekarang, Delima?”, tanya Nadhifa
dengan hati-hati.
“Subhanallah!! Betapa nikmatnya berkah dari Allah yang
menyejukkan ini. Betul-betul membuat hati dan pikiran
tenang.”. Delima mengungkapkan itu secara
terang-terangan dan mungkin tanpa disadarinya Nadhifa
lebih terkejut lagi. Baru pertamakali ini Nadhifa
mendengar empat suku kata yang terangkum Indah dari
mulut Delima. Subhanallah! Nadhifa tersenyum dan
matanya berbinar-binar.

Setelah mengambil wudhu, Delima mengikuti Nadhifa ke
lantai 4 Masjid As-Salam. Tiba-tiba langit Allah yang
terik berubah menjadi sejuk. Sebuah awan putih yang
tebal menutupi puncak Masjid As-Salam. Angin bertiup
sepoi-sepoi. Badan delima yang basah merasakan
dinginnya keadaan. Subhanallah!

“Bagaimana perasaanmu saat ini?”, tanya Nadhifa untuk
kedua kalinya. Namun Delima hanya bisa menjawab dengan
senyum. Beliau menyadari bahwa kata-katanya tidak
cukup untuk memuji berkah dari Allah S.W.T yang sulit
diungkapkan keindahannya itu.

Nadhifa mengeluarkan pop corn dari kantung plastiknya.
Lalu beliau membaginya menjadi remahan-remahan kecil.
“Kamu mau?,” tawar Nadhifa pada Delima. “Enggak, deh.
Makasih.”, jawab Delima sambil setengah malu-malu.
“Huu Ge-Er, Pop corn ini bukan buat kamu, tahu. Tapi
buat mereka.”, sambung Nadhifa setengah bercanda.
“Mereka siapa?”. Setelah Delima bertanya, tiba-tiba
terdengar cicitan anak-anak burung merpati di dalam
sarangnya yang berada di sudut lantai 4 Masjid
As-Salam itu. Akhirnya Delima sadar juga bahwa pop
corn itu memang bukan untuknya. Dan ternyata, memang
inilah yang memang ingin Nadhifa tunjukkan padanya.
Getar hati terasa dalam diri Delima. Delima baru
menyadari bahwa Nadhifa memang lebih pantas memperoleh
peringkat pertama di sekolah. Hatinya begitu mulia.
Tiba-tiba, Nadhifa mengganti topik pembicaraannya
sadmbil memberi makan burung merpati.

“Eh Delima, maafkan saya atas kejadian tadi, ya? Saya
memang betul-betul kaget setelah mengetahui isi
hatimu. Ternyata kamu tidak menyukai saya yang telah
menggeser kedudukanmu. Mungkin memang benar katamu.
Saya memang anak yang culun dan kurang ajar.”, sesal
Nadhifa.

“Eeh? Koq Dhifa jadi begitu, sih? Kalau ngambek nanti
jadi jelek, lho. Senyum dong! Semestinya saya yang
minta maaf. Afwan, ya!”, jawab Delima sambil senyum
selebar-lebarnya.

“Delima, jujur saja selama ini saya tidak pernah ada
niat untuk mengalahkan siapapun. Saya adalah saya.
Seorang ukhti lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa
tanpa pertolongan Allah. Saya berusaha menuntut ilmu
karena saya ingin mencari tahu arti saya dilahirkan di
dunia ini. Saya belajar Biologi karena saya ingin tahu
mengapa Allah SWT menciptakan makhluk hidup. Saya
belajar Kimia karena saya ingin mengetahui unsur
ciptaan-Nya. Saya belajar Geografi karena saya ingin
mengetahui keindahan Bumi ciptaan-Nya. Dan saya
mempelajari ilmu-ilmu lainnya agar saya bisa
mengetahui rahasia kehebatan Allah SWT. Karena itulah
saya berusaha keras menuntut ilmu. Saya…”. Tiba-tiba
Nadhifa berhenti berbicara. Nafasnya sesak dan
mulutnya tidak dapat mengeluarkan suara. Air matanya
mengalir menyesali semuanya. Ia betul-betul merasa
bersalah karena telah menanamkan kesalahpahaman
tentang dirinya dalam diri Delima dan membuat Delima
jadi memiliki sejuta prasangka buruk.

Delima yang mendengar itu semua semakin merasa
bersalah. Delima ingin pula menitikkan air mata.
Tetapi ia masih menahannya. Ia masih sanggup! Ya.
Masih sanggup!

Kemudian Nadhifa berusaha melanjutkan lagi
kalimatnya,”Sa,saya tidak pernah ingin mengalahkan
kamu, Delima. Saya menuntut ilmu hanya karena satu
hal. Saya… ingin mencari ridho Allah Subhana wa
Ta’ala.”.

Tiba-tiba Adzan dzuhur berkumandang. “Allah hu Akbar!
Allah hu Akbar!!…”. Kejadian tragis saat itu
betul-betul tidak akan terlupakan. Meskipun tidak
setragis kehilangan sahabat, saudara, atau anggota
keluarga. Air mata Delima kali ini mengalir tak
tertahankan lagi. Ia menyatakan taubatnya pada waktu
dan tempat yang sangat indah. Rangkaian kalimat
Syahadat diucapkannya. Panggilan Allah betul-betul
terangkum indah. Allah hu Akbar!!

Delima yang masih sedikit tegar menuntun Nadhifa
menuruni tangga menuju ke lantai 3. Mereka menunaikan
Sholat Dzuhur berjamaah. Dan setelah Shalat Dzuhur,
Viras, Delima, Nadhifa, dan Mas Hanif bertemu di
lantai satu secara tidak sengaja. Terlihat Delima
tidak mau melepas rukuhnya. Ia sudah memutuskan untuk
memakai Jilbab karena kali ini ia betul-betul sudah
masuk Islam. Mas Hanif yang tidak sengaja melihat
sosok ukhti yang baru memakai jilbab itu langsung
menahan pandangannya dan mengucap Istighfar.
“Alhamdulilah, akhirnya beliau masuk Islam juga.” Kata
Mas Hanif.

“Lho? Dari dulu Delima kan memang Islam?”, tanya Viras
heran.

“Salah! Yang Beragama Islam itu hanyalah orang-orang
beriman yang mengambil Islam secara menyeluruh. Jika
mereka masih mengikuti langkah-langkah setan untuk
berbuat maksiat, tidak menunaikan shalat atau
sebagainya, mereka bukanlah orang Islam.”, jawab Mas
Hanif sesuai Surat Al-Baqarah ayat 208.
Mendengar pernyataan indah dari Mas Hanif, Viras jadi
tersipu-sipu. Tau deh, Viras kan nggak pernah sholat
dengan benar.

“Mas, tadi koq Mas Hanif nggak melindungi Nadhifa pada
saat dia dilabrak Delima, sih? Sesama Islam kan harus
saling membantu.”, tanya Viras.

“Memang benar. Sesama Islam harus saling membantu.
Tapi saya sudah percaya dengan kemampuannya untuk
mengatasi masalahnya sendiri. Senyum adalah salah satu
caranya untuk berdakwah. Kalau dia sudah mulai senyum,
itu tandanya dia sudah tahu apa yang akan
dilakukannya. Jadi kurasa ia tidak memerlukan
bantuanku.”, jawab Mas Hanif.
“Kok Mas Hanif tahu tentang Nadhifa, sih?
Jangan-jangan….”

“He-eh, jangan su’udzon deh. Saya bukanlah seorang
ikhwan pengumbar syahwat yang demen sama gayanya setan
untuk pacaran. Hati-hati kalau bicara. Nadhifa itu
adik kandung saya.”, jawab Mas Hanif.
“Haa….?”. Waduh, Viras salah ngomong lagi, nih..

(Sumber: Islamonline.com)

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: