Tidak Ada Jenderal di Depan Istri

Tidak ada jenderal di depan istri
Ilustrasi foto: kumparan.com
Bagikan

Tidak Ada Jenderal di Depan Istri

Oleh: Ust.Abdullah Haidir, Lc

“Bukankah engkau mengaku sebagai utusan Allah..?” Ketus Aisyah radhiallahu anha kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam penuh cemburu, suatu saat dalam sebuah perjalanan.

Pasalnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meminta agar barang-barang yang sedikit di onta Aisyah ditukar dengan barang-barang yang banyak di onta Shafiah (Istri Rasullah SAW lainnya). Karena onta Aisyah gagah sedangkan onta Shafiah lambat.

Demikian Al-Haitsami meriwayatkannya dalam kitabnya, Majma Az-Zawaid (dengan sanad dha’if-red).

Ada pelajaran berharga dari cuplikan ‘pernak pernik’ rumah tanggal Rasulullah SAW di atas. Yaitu bahwa pasangan suami istri memiliki pola komunikasi yang khas. Kekhasan yang apabila dikelola dengan bijak dapat menjadi kehangatan hidup berumah tangga.

Ucapan Aisyah radhiallahu anha di atas, jika dilihat dari sudut pandang aqidah, jelas sangat bermasalah, karena dapat dipahami meragukan kerasulan Nabi saw. Namun, tidak demikian halnya jika dilihat dari kekhasan pola komunikasi suami istri. Yang tampak justru emosi cinta yang terungkap secara verbal dan refleks melampaui batas-batas pemahaman normatif.

Karenanya, menyikapi hal tersebut, Rasulullah SAW hanya tersenyum, bahkan ketika Abu Bakar hendak menegurnya, beliau memintanya untuk membiarkannya, sambil berkata, ‘Sesungguhnya, sifat cemburunya membuat dia tidak dapat melihat dasar lembah dari ketinggian.’

Di antara bentuk komunikasi suami istri yang sehat adalah manakala komunikasinya telah bersifat lepas, tidak ‘anggah ungguh’, serta tidak terbelenggu oleh simbol dan kedudukan yang ada pada masing-masing pasangan. Tentu saja, setelah hak dan kewajibannya telah dipahami masing-masing.

Pola komunikasi seperti ini, hanya dapat terwujud jika masing-masing pasangan memainkan perannya secara total dalam kehidupan rumah tangga. Namun hal tersebut bukan sesuatu yang dapat terwujud karena pandai berakting ala bintang film yang justru banyak gagal dalam kehidupan rumah tangga sesungguhnya, tapi yang dibutuhkan adalah ketulusan cinta dan perasaan saling memiliki.

Maka, seorang istri, walaupun misalnya dia memiliki jabatan terhormat, namun di rumah, jika komunikasi khas tersebut sudah terbentuk, sang suami bisa dengan santainya berkata, ‘Ma, buatkan teh untuk papa dong…’. Atau, seorang Jenderal yang di luar begitu ditakuti bawahannya, di rumah, boleh jadi sang istri dengan enteng mengomelinya karena pulang kemalaman. Karena…. ‘Tidak ada Jenderal di depan istri…..’

Bisa juga seorang ustaz yang diluar begitu dihormati jamaahnya, di rumah, isterinya dengan enteng memarahinya gegara dia meletakkan baju sembarangan.

Tapi saya ga berani bilang ‘Tidak ada ustaz di depan istri..’ ?

Jika banyak bujangan atau gadis yang sedang ‘mencari-cari’ mengangankan calon pendampingnya dengan sederet status dan simbol kehidupan. Maka, ketika sudah berkeluarga, justru itulah yang sering menjadi kendala dalam membangun komunikasi hangat antar suami istri. Tidak jarang kehangatan komunikasi itu terganggu, karena status dan simbol-simbol tersebut masih mendominasi atmosfer komunikasi di antara mereka.

Bayangkan jika suami seorang Jenderal, lalu komunikasinya persis seperti seorang prajurit…. “Ma, perintah! siapkan teh manis!” Lalu sang istrri menjawab, “Siap! Laksanakan!” dengan muka tegang dan kaku…

Justeru ketika sudah berkeluarga, yang paling diinginkan suami adalah seorang isteri yang bertindak sebagai ‘isteri’, bukan sebagai dokter, guru, lulusan universitas ternama, anak orang kaya, dll. Begitu pula yang diinginkan istri dari suaminya.

Dikisahkan, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ada seseorang yang ingin mengadukan kepada sang Khalifah tentang sikap istrinya yang suka mengomelinya. Namun setibanya di dekat rumah sang Khalifah, dia mengurungkan niatnya. Apa pasal? Rupanya dari dalam rumah Khalifah, dia mendengar sang istri sedang memarahi Khalifah. ‘Kalau khalifah saja dimarahi istrinya, apalagi saya…’ pikirnya..

Terkadang, omelan dan marah yang masih dalam bingkai cinta itu justru menghangatkan dan ‘ngangeni’..
Jika dari ‘omelan’ bisa berbuah kehangatan dalam rumah tangga, apalagi canda tawanya…..
Ya Rabb, kumpulkan kami di surga-Mu sebagaimana kami Engkau kumpulkan di dunia-Mu.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: