Sa’i Ba’da Thowaf Ifadhoh
Sa’i Ba’da Thowaf Ifadhoh
Oleh: Drs. Shiddiq Amien (Risalah No. 8 Th. 44 Syawwal 1427/Nopember 2006)
Note: Tulisan ini disalin oleh Ust.Iyep Komarudin dari Risalah No. 8 Th. 44 Syawwal 1427/Nopember 2006 dengan terjemah Arab dari penyalin. Untuk versi lengkap termasuk yang tulisan Arabnya ada di file pdf berikut ini:
1. Adakah Nabi melakukan Sa’i ba’da thowaf ifadhoh?
Menurut keterangan sahabat Jabir bin Abdillah, baik Nabi ataupun sahabatnya tidak ada yang melakukan sa’i lagi setelah Thowaf Ifadhoh,
ﻗَﺎلَ أَﺧْﺒَـﺮَﻧِﻲ أَﺑُﻮ اﻟﱡﺰﺑَـﻴْﺮِ أَﻧﱠﻪُ ﺳَﻤِﻊَ ﺟَﺎﺑِﺮَ ﺑْﻦَ ﻋَﺒْﺪِ اﷲِ رَﺿِﻲ اﷲ ﻋَﻨْﻪ ﻳَـﻘُﻮلُ ﻟَﻢْ ﻳَﻄُﻒِ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱡ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲ ﻋَﻠَﻴْﻪِ وَسَلَّمَ وَﻻَ أَﺻْﺤَﺎﺑُﻪُ ﺑَـﻴْﻦَ اﻟﺼﱠﻔَﺎ وَاﻟْﻤَﺮْوَةِ إِﻻﱠ ﻃَﻮَاﻓًﺎ وَاﺣﺪًا زَادَ ﻓِﻲ ﺣَﺪِﻳﺚِ ﻣُﺤَﻤﱠﺪِ ﺑْﻦِ ﺑَﻜْﺮٍ ﻃَﻮَاﻓَﻪُ الأَوَّلَ – ﻣﺴﻠﻢ
(Abu Zuber telah mengkabarkan padaku, bahwasanya ia mendengar Jabir bin Abdillah berkata : “Nabi dan para Sahabatnya tidak sa’i antara Sofa dan Marwah, kecuali satu kali”. Ia menambahkan pada hadits Muhammad bin Bakar “yaitu sa’inya yang pertama”). H.R Muslim
2. Adakah perbedaan antara Haji Nabi dengan para sahabatnya?
Nabi dan beberapa sahabatnya yang membawa Hadyu dari Madinah melaksanakan Haji Qiron, sementara sebagian besar sahabat (yang tidak membawa hadyu) disuruh melaksanakan haji Tamattu’.
3. Berapa banyak sahabat yang ikut haji Qiron dengan Nabi?
Menurut hadits Jabir berikut ini, hanya sahabat Tholhah dan Ali bin Abi Tholib saja yang ikut Haji Qiron dengan Nabi, sementara Jabir dan sahabat lainnya Tamattu’.
(Habib al-Mu’allim menceriterakan pada kami, dari ‘Atho, dari Jabir bin Abdillah berkata : “Nabi dan para Sahabatnya berihlal haji dan tak ada seorangpun dari mereka membawa hadyu selain Nabi dan Tholhah. Dan Ali datang dari Yaman dan ia membawa hadyu, lalu ia berkata ‘aku berihlal seperti ihlalnya Nabi, maka Nabi memerintahkan sahabatnya untuk menjadikan ihromnya untuk umroh, dan mereka thowaf kemudian bercukur dan tahallul kecuali mereka yang membawa hadyu’. Mereka berkata ‘kami pergi ke Mina dan dzakar salah seorang dari kami basah’ lalu sampai pada Nabi dan Beliau bersabda ‘Kalaulah Aku menghadapi urusanku yang Aku membelakangi, tentu Aku tidak akan membawa hadyu dan kalaulah Aku tidak membawa hadyu, tentu Aku akan tahallul’. Dan ‘Aisyah haid, maka ia melakukan seluruh manasik kecuali thowaf di Baitulloh. Ketika bersih ia thowaf dan berkata ‘Ya Rosulalloh! Kalian pergi untuk haji dan umroh dan aku pergi untuk haji’. Maka Nabi memerintah Abdurrohman bin Abi Bakar keluar menemaninya menuju Tan’im, lalu ia umroh setelah haji) – al-Bukhori
Kemudian disebutkan dalam Hadits riwayat Imam Muslim dari Siti ‘Aisyah bahwa yang ikut Qiron dengan Nabi adalah Abu Bakar dan Umar. Yang jelas yang ikut Qiron jumlahnya tidak banyak.
4. Adakah perbedaan antara Qiron dengan Tamattu’?
Kalau kita perhatikan ayat :
فَاِذَآ اَمِنْتُمْۗ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ اِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌۗ
(Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (didalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna) (QS. Al Baqarah: 196).
Pada dasarnya tidak ada bedanya antara Qiron dan Tamattu’, kedua-duanya sama-sama wajib menyembelih hadyu, hanya yang Qiron membawa hadyunya dari rumah, sementara yang Tamattu’ membeli di tempat haji.
Selain itu, Qiron antara umroh dengan haji tidak dipisah dengan tahallul, sedangkan Tamattu’ dipisahkan dengan tahallul.
Apalagi kalau kita perhatikan hadits berikut ini:
ﺣَﺪﱠﺛَـﻨَﺎ ﻋُﺒَـﻴْﺪُ اﷲ ِ ﺑْﻦُ ﻣُﻌَﺎذٍ َواﻟﻠﱠْﻔﻆُ ﻟَﻪُ ﺣَﺪﱠﺛَـﻨَﺎ أَﺑِﻲ ﺣَﺪﱠﺛَـﻨَﺎ ﺷُﻌْﺒَﺔُ ﻋَﻦِ اﻟْﺤَﻜَﻢ ﻋَﻦْ ﻣُﺠَﺎﻫِﺪٍ ﻋَﻦِ اﺑْﻦِ ﻋَﺒﱠﺎسٍ رَﺿِﻲ اﷲ
ِﻋَﻨْﻬﻤَﺎ ﻗَﺎ َل ﻗَﺎ َل رَﺳُﻮلُ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲ ﻋَﻠَﻴْﻪِ َوﺳَﻠﱠﻢَ ﻫَﺬِﻩِ ﻋُﻤْﺮةٌ اﺳْﺘَﻤْﺘَـﻌْﻨَﺎ ﺑِﻬَﺎ ﻓَﻤَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻋِﻨْﺪَﻩُ اﻟْﻬَﺪْيُ ﻓَـﻠْﻴَﺤِﻞﱠ اﻟْﺤ
ﻛُﻠﱠﻪُ ﻓَﺈنﱠ اﻟْﻌُﻤْﺮةَ ﻗَﺪْ دَﺧَﻠَﺖْ ﻓِﻲ اﻟْﺤَﺞﱢ إِﻟَﻰ ﻳَـْﻮِم اﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ – ﻣﺴﻠﻢ
(Abdulloh bin Mu’adz telah menceriterakan pada kami (dengan lafazhnya), Ayahku menceriterakan pada kami, Syu’bah menceriterakan pada kami dari al-Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, berkata, Rosululloh bersabda “Inilah umroh yang kami ber-tamattu’ dengannya, maka yang tidak membawa hadyu bertahallullah semuanya. Maka umroh itu telah masuk dalam haji sampai hari kiamah)”. H.R Muslim
5. Adakah Sa’i ba’da Thowaf Ifadhoh bagi yang Tamattu’?
Dalam masalah ini kita dihadapkan kepada masalah yang cukup musykil (pelik), karena adanya dua keterangan yang shorih (jelas) dan shohih yang kontradiktif (bertentangan) satu sama lain.
Di satu pihak menerangkan bahwa bagi Mutamatti’ (yang Tamattu’) tidak ada Sa’i ba’da Thowaf Ifadhoh sedangkan di pihak lain menerangkan sebaliknya.
Hujjah yang menyebutkan tidak ada Sa’i ba’da Thowaf Ifadhoh adalah:
ﺣَﺪﱠﺛَـﻨَﺎ ﻳَﺤْﻴَﻰ ﺑْﻦُ ﻳَﺤْﻴَﻰ وَاﻟﻠﱠﻔْﻆُ ﻟَﻪُ أَﺧْﺒَـﺮَﻧَﺎ أَﺑُﻮ ﺧَﻴْﺜَﻤَﺔَ ﻋَﻦْ أَﺑِﻲ اﻟﱡﺰﺑَـﻴْﺮِ ﻋ َﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮٍ رَﺿِﻲ اﷲ ﻋَﻨْﻬﻢ ﻗ َﺎلَ ﺧَﺮَﺟْﻨَﺎ ﻣَﻊَ رَﺳُﻮلِ اﷲ ِ ﺻَﻠ ﱠﻰ اﷲ ﻋَﻠَﻴْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻣُﻬِﻠﱢﻴﻦَ ﺑِﺎﻟْﺤَﺞﱢ ﻣَﻌَﻨَﺎ اﻟﻨﱢﺴَﺎءُ وَاﻟْﻮِﻟْﺪَانُ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ ﻗَﺪِﻣْﻨَﺎ ﻣَﻜﱠﺔَ ﻃُﻔْﻨَﺎ ﺑِﺎﻟْﺒَـﻴْﺖِ َ وﺑِﺎﻟﺼﱠﻔَﺎ وَاﻟﻤَﺮْوَة ِ ﻓَـﻘَﺎلَ ﻟَﻨَﺎ رَﺳُﻮلُ اﷲِ ﺻَﻠ ﱠﻰ اﷲ ﻋَﻠَﻴْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻣَﻌَﻪُ ﻫَﺪْيٌ ﻓَـﻠْﻴَﺤْﻠِﻞْ ﻗَﺎلَ ﻗُـﻠْﻨَﺎ أَيﱡ اﻟْﺤِ ﻞﱢ ﻗَﺎلَ اﻟْﺤِ ﻞﱡ ﻛُﻠﱡﻪُ ﻗَﺎلَ ﻓَﺄَﺗَـﻴْـﻨَﺎ اﻟﻨﱢﺴَﺎءَ وَﻟَﺒِﺴْﻨَﺎ اﻟﺜﱢـﻴَﺎبَ وَﻣَﺴِ ﺴْﻨَﺎ اﻟﻄﱢﻴﺐَ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ ﻛَﺎنَ ﻳَـﻮْمُ اﻟﺘﱠـﺮْوِﻳَﺔِ أَﻫْﻠَﻠْﻨَﺎ ﺑِﺎ ﻟْﺤَﺞﱢ وَﻛَﻔَﺎﻧَﺎ اﻟﻄﱠﻮَافُ اﻷ َﱠولُ ﺑَـﻴْﻦَ اﻟﺼﱠﻔَﺎ وَاﻟْﻤَﺮْوَ ة ِ ﻓَﺄَﻣَﺮَﻧَﺎ رَﺳُﻮلُ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲ ﻋَﻠَﻴْﻪِ َ وﺳَﻠﱠﻢَ أَنْ ﻧَﺸْﺘَﺮِكَ ﻓِﻲ اﻹِ ﺑِﻞِ وَاﻟْﺒَـﻘَﺮِ ﻛُﻞﱡ ﺳَﺒْـﻌَﺔٍ ﻣِﻨﱠﺎ ﻓِﻲ ﺑَﺪَﻧَﺔٍ – ﻣﺴﻠﻢ
(Yahya bin Yahya menceriterakan pada kami (dengan lafazhnya), Abu Khoetsamah menghabarkan pada kami dari Abi Zuber, dari Jabir, berkata “Kami keluar bersama Rosululloh sambil berihlal haji, kami bersama isteri dan anak-anak, tatkala sampai di Makkah kami thowaf di Baitulloh dan di Shofa dan Marwah. Maka Rosululloh berkata pada kami ‘siapa yang tidak membawa hadyu, maka tahallullah’. Kami bertanya ‘tahallul yang mana?’. Kata Beliau ‘tahallul seluruhnya’. Maka kami mendatangi isteri dan memakai pakaian serta memakai wangi-wangian. Dan ketika datang hari tarwiyah kami berihlal haji dan cukup bagi kami sa’i yang pertama antara Shofa dan Marwah. Dan Rosululloh memerintahkan kami bersama-sama dalam (menyembelih) unta dan sapi, setiap tujuh orang dari kami untuk seekor unta)”. H.R Muslim
Hadits inipun diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dengan lafazh :
ﺣَﺪﱠﺛَـﻨَﺎ ﺣَﻤﱠﺎدٌ ﻋَﻦْ ﻗَـﻴْﺲِ ﺑْﻦِ ﺳَﻌْﺪٍ ﻋَﻦْ ﻋَﻄَﺎءِ ﺑْﻦِ أَﺑِﻲ رَﺑَﺎحٍ ﻋَﻦْ ﺟَﺎﺑِﺮٍ ﻗَﺎ َل ﻗَﺪِمَ رَﺳُﻮلُ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲ ﻋَﻠ َﻴْﻪِ َوﺳَﻠﱠﻢ
وأَﺻْﺤَﺎﺑُﻪُ ﻷ َرْﺑَﻊِ ﻟَﻴَﺎٍل ﺧَﻠَﻮنَ ِﻣﻦْ ذِي اﻟْﺤِﺠﱠﺔِ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ ﻃَﺎﻓُﻮا ﺑِﺎﻟْﺒَـﻴْﺖِ َوﺑِﺎﻟﺼﱠﻔَﺎ َواﻟْﻤَﺮَوة ِ ﻗَﺎ َل رَﺳُﻮلُ اﷲِ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲ ﻋَﻠَﻴْﻪَ
وﺳَﻠﱠﻢَ اﺟْﻌَﻠُﻮﻫَﺎ ﻋُﻤْﺮة ً إِﻻ ﱠ ﻣَﻦْ ﻛَﺎنَ ﻣَﻌَﻪُ اﻟْﻬَﺪْيَ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ ﻛَﺎنَ ﻳَـْﻮمُ اﻟﺘﱠـْﺮوِﻳَﺔِ أَﻫَﻠﱡﻮا ﺑِﺎﻟْﺤَﺞﱢ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ ﻛَﺎنَ ﻳَـْﻮمُ اﻟﻨﱠﺤْﺮِ ﻗَﺪِﻣُﻮا
ﻓَﻄَﺎﻓُﻮا ﺑِﺎﻟْﺒَـﻴْﺖِ َوﻟَﻢْ ﻳَﻄُﻮﻓُﻮا ﺑَـﻴْﻦَ اﻟﺼﱠﻔَﺎ َواﻟْﻤَ ْﺮَوة ِ – أﺑﻮ داود
(Hammad menceriterakan pada kami, dari Qoes bin Sa’ad, dari ‘Atho bin Abi Robah, dari Jabir berkata “Rosululloh dan para Sahabatnya datang empat malam yang telah lalu dari Dzul-Hijjah. Ketika mereka thowaf di Baitulloh dan di Shofa dan Marwah, Rosululloh bersabda ‘jadikanlah ihrom haji itu umroh, kecuali yang membawa hadyu!’. Tatkala hari tarwiyah mereka berihlal untuk haji dan tatkala hari nahar mereka datang untuk thowaf di Baitulloh dan tidak sa’i antara Shofa dan Mawah)”. H.R. Abu Dawud
Sedangkan hujjah pihak yang menyatakan ada lagi Sa’i ba’da Thowaf Ifadhoh:
(Bab tentang firman Alloh =dzalika liman lam yakun…=, Abu Kamil Fudhoil bin Husain al-Bashry berkata : Abu Ma’syar al-Barro menceriterakan pada kami, ‘Utsman bin Ghiyats menceriterakan pada kami, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya ia ditanya tentang mut’ah haji, maka ia berkata : Muhajirin, Anshor dan Istri-istri Nabi ber-ihlal pada haji wada’ dan kamipun berihlal. Tatkala kami tiba di Makkah Rosululloh bersabda “Jadikanlah ihlal haji kalian ‘umroh kecuali yang membawa hadyu”; lalu kami thowaf di Baitulloh dan di Shofa dan Marwah, dan kami mendatangi istri-istri dan memakai pakaian; dan sabdanya “Siapa yang membawa hadyu maka tidak halal baginya {hatta yablughol-hadyu mahillah}”. Kemudian Beliau memerintah kepada kami asyiyyatat-tarwiyah untuk berihlal haji, tatkala selesai manasik kami datang, lalu thowaf di Baitulloh dan di Shofa dan Marwah, maka sempurnalah haji kami dan kami menyembelih hadyu, sebagai firman Alloh {fa maa istaisaro minal-haddyi faman lam yajid fashiyamu tsalatsati ayyamin fal-hajji wa sab’atin idza roja’tum (kembali)} ke kampung halaman kalian. Seekor kambing cukup, lalu mereka menyatukan dua nusuk pada satu tahun antara haji dan umroh; maka ssesungguhnya Alloh menurunkan pada kitab-Nya dan Nabi-Nya men-sunnah-kan dan membolehkan orang-orang selain penduduk Makkah, firman Alloh {dzalika liman lam yakun ahluhu hadhiril-masjidil-harom}; dan bulan-bulan haji yang Alloh sebutkan dam al-Qur’an adalah Syawwal, Dzul-Qo’dah, Dzul-Hijjah, maka siapa yang tamattu’ pada bulan-bulan ini, maka wajib menyembelih atau shaum; Rofats adalah jima’; fusuq adalah maksiat dan jidal adalah perdebatan). H.R Bukhori
6. Mungkinkah antara hadits Jabir dengan hadits Ibnu Abbas tersebut dijam’u (diambil thoriqotul-jam’i)?
Jika menjam’u antara hadits Ibnu Abbas dengan hadits Jabir yang telah disebutkan pada pertanyaan no. 1 di atas, kiranya masih mungkin karena masih mengandung ihtimalat (kemungkinan) siapakah yang dimaksud dengan “as-habuhu” dalam hadits tersebut, apakah sahabat yang ikut Qiron dengan Nabi (Tholhah dan Ali) ataukah seluruh sahabat lainnya, yakni Jabir dan sebagian besar sahabat yang Tamattu’?.
Tapi jika menjam’u dengan hadits Jabir yang termasuk pada pertanyaan no. 5 di atas, jelas tidak mungkin, karena hadits tersebut shorih (jelas), haditsnya hadits fi’liyah (perbuatan Nabi) yang hanya dikerjakan satu kali oleh Nabi.
7. Bagaimana jika dilakukan Tarjih di antara keduanya, mana yang lebih kuat dan bisa diterima?
Dari segi sanad kedua hadits tersebut adalah shohih. Yang Ibnu Abbas diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan yang Jabir diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Tapi jika dibandingkan dari segi matan (isi hadits), maka hadits Jabir bisa lebih kuat daripada hadits Ibnu Abbas karena :
a. Usia Jabir ketika itu lebih dewasa daripada Ibnu Abbas, sementara Ibnu Abbas baru berusia 12 tahun
b. Hadits Ibnu Abbas isinya bertentangan dengan pendirian Ibnu Abbas sendiri :
(Ahmad meriwayatkan dan berkata : al-Walid bin Muslim menceriterakan pada kami, berkata, al-Auza’i menceriterakan pada kami, dari Atho’, dari Ibnu Abbas, bahwasanya ia berkata “Yang haji Qiron, Tamattu dan Ifrod cukup baginya satu thowaf di Baitulloh dan satu sa’i antara Shofa dan Marwah”). Majmu’ al-Fatwa 26 : 39
c. Dalam hadits Ibnu Abbas ada rukakah (kejanggalan), yakni ada kata “fa atainan-nisaa” yang artinya ‘kami mendatangi isteri-isteri kami’, sedangkan ‘Naa’ adalah dhomir mutakallim ma’al-ghoer, termasuk yang bicara. Padahal Ibnu Abbas waktu itu belum dewasa (belum beristeri)
d. Nashiruddin al-Albani dalam bukunya ‘Hajjatun-nabiyyi’ halaman 36 setelah memberikan penilaian terhadap hadits Jabir ini sebagai berikut :
(Sebagaimana Imam Nawawi berkata : Dia sahabat yang paling baik penuturannya tentang riwayat hadits hajji wada’, karena Dia menerangkannya sejak Nabi keluar dari Madinah hingga akhir, maka Dia lebih dhobit pada riwayat haji daripada yang lainnya).
8. Bukankah hadits Bukhori lebih kuat daripada hadits Muslim?
Disini yang ditarjih bukan dari segi sanad, karena kedua-duanya juga shohih, yang ditarjih adalah matannya. Pada umumnya hadits Bukhori lebih kuat daripada hadits Muslim, tapi terkadang hadits Muslim bisa lebih kuat dan diterima daripada hadits Bukhori bahkan dari hadits Bukhori Muslim. Misalnya dalam kasus nikah Nabi dengan Siti Maemunah. Menurut hadits Ibnu Abbas dalam hadits Bukhori Muslim, Nabi menikah kepada Siti Maemunah ketika kedua-duanya masih Ihrom, belum Tahallul.
(Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi menikah dengan Maeminah, Beliau sedang ihrom)
Sementara menurut Siti Maemunah sebagai pelaku dalam peristiwa ini yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menyatakan bahwa Nabi menikahi dirinya setelah Tahallul :
(Dari Maemunah berkata : Rosululloh menikah denganku, sedangkan kami berdua dalam keadaan halal di Saraf).
9. Mengapa sampai terjadi perbedaan keterangan seperti itu?
Dalam Kitab Badzul Majhul IX : 75 dijelaskan :
1. Abu Rofi’ pada saat itu sudah dewasa, sedangkan Ibnu Abbas belum, malah baru berusia 10 tahun sedangkan Abu Rofi’ pada saat itu lebih tahu daripada Ibnu Abbas
2. Sesungguhnya Abu Rofi’ adalah utusan antara Rosululloh dengan Siti Maemunah, maka darinyalah sumber berita, dan ia lebih tahu daripada Ibnu Abbas, tanpa syak lagi.
3. Ibnu Abbas pada umroh itu tidak turut serta, sebab umroh itu adalah umroh pengganti, dan pada saat itu Ibnu Abbas temasuk golongan mustadh’afin dari kalangan anak-anak yang diberi udzur oleh Alloh. Sesungguhnya Ibnu Abbas mendengar kisah tersebut dengan tidak menghadirinya.
10. Bukankah Ibnu Abbas adalah sahabat yang dido’akan oleh Nabi SAW supaya menjadi orang yang faqih dalam agama?
Kita tidak menafikan hal itu, apalagi bermaksud menyepelekan Ibnu Abbas, sama sekali tidak! Disini masalahnya ada dua keterangan yang kontradiktif maka kita lakukan tarjih!Bukan masalah Ibnu Abbasnya, tapi masalah kabar (berita) yang sampai kepada Ibnu Abbas.
Kita ambil contoh dalam kasus masuknya Nabi ke dalam Ka’bah ketika Futuh Makkah. Menurut Ibnu Umar, Nabi ketika masuk Ka’bah shalat di dalam Ka’bah :
َﺣَﺪﱠﺛَـﻨَﺎ ﺣَﻤﱠﺎدُ ﺑْﻦُ زَﻳْﺪٍ ﻋَﻦْ أَﻳﱡﻮبَ ﻋَﻦْ ﻧَﺎﻓِﻊٍ ﻋَﻦْ اﺑْﻦِ ﻋُﻤَ َﺮ أَنﱠ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱠ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲ ُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ َوﺳَﻠﱠﻢَ ﻗَﺪِمَ ﻣَﻜﱠﺔَ ﻓَﺪَﻋَﺎ ﻋُﺜْﻤَﺎنَ ﺑْﻦ
َﻃَﻠْﺤَﺔَ ﻓَـﻔَﺘَﺢَ اﻟْﺒَﺎبَ ﻓَﺪَﺧَﻞَ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱡ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲ ُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ َوﺳَﻠﱠﻢَ َو ﺑِﻼ َل َوأُﺳَﺎﻣَﺔُ ﺑْﻦُ زَﻳْﺪٍ َوﻋُﺜْﻤَﺎنُ ﺑْﻦُ ﻃَﻠْﺤَﺔَ ﺛُﻢﱠ أَﻏْﻠَﻖَ اﻟْﺒَﺎب
َﻓَـﻠَﺒِﺚَ ﻓِﻴﻪِ ﺳَﺎﻋَﺔً ﺛُﻢﱠ ﺧَﺮﺟُﻮا ﻗَﺎ َل اﺑْﻦُ ﻋ ُﻤَﺮ ﻓَـﺒَﺪَرْتُ ﻓَﺴَﺄَﻟْﺖُ ﺑِﻼ َﻻ ً ﻓَـﻘَﺎ َل ﺻَﻠﱠﻰ ﻓِﻴﻪِ ﻓَـﻘُﻠْﺖُ ﻓِﻲ أَيﱟ ﻗَﺎ َل ﺑَـﻴْﻦ
اﻷ ُﺳْﻄُﻮاﻧَـﺘَـﻴْﻦِ ﻗَﺎ َل اﺑْﻦُ ﻋُﻤَﺮ ﻓَﺬَﻫَﺐَ ﻋَﻠَﻲﱠ أَنْ أَﺳْﺄَﻟَﻪُ ﻛَﻢْ ﺻَﻠﱠﻰ – اﻟﺒﺨﺎري
(Hammad bin Zaid menceriterakan pada kami dari Ayyub, dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi tiba di Makkah, lalu memanggil Utsman bin Tholhah, lalu ia membuka pintu, maka Nabi masuk beserta Bilal, Usamah bin Zaid dan Utsman bin Tholhah, kemudian ia menutup pintu; maka Beliau tinggal sesa’at kemudian mereka keluar. Ibnu umar berkata : Aku segera bertanya pada Bilal, lalu ia menjawab : Beliau sholat di dalamnya. Aku bertanya : di tempat mana?. Ia menjawab : di antara dua tiang. Ibnu umar berkata : lalu ia pergi meninggalkan aku sedangkan aku ingin bertanya kepadanya berapa roka’at Beliau sholat). H.R Bukhori
Bahkan di hadits lain masih riwayat Imam Bukhori, Bilal jelas menerangkan posisi Nabi dalam Ka’bah : satu tiang dinding di sebelah kanannya, satu tiang dinding di sebelah kirinya dan tiga tiang di belakangnya. Waktu itu tiang pada dinding bagian Ka’bah ada enam buah (Tajridush-shorih 1: 48).
Sementara menurut keterangan hadits Ibnu Abbas waktu itu tidak shalat di ka’bah melainkan di luar Ka’bah.
أَﺧْﺒَـﺮَﻧَﺎ اﺑْﻦُ ﺟُﺮَﻳْﺞٍ ﻋَﻦْ ﻋَﻄَﺎءٍ ﻗَﺎلَ ﺳَﻤِﻌْﺖُ اﺑْﻦَ ﻋَﺒﱠﺎسٍ ﻗَﺎلَ ﻟَﻤﱠ ﺎ دَﺧَﻞَ اﻟﻨﱠﺒِﻲﱡ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲ ُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢَ اﻟْﺒَـﻴْﺖَ دَﻋَﺎ ﻓِﻲ ﻧَـﻮَاﺣِ ﻴﻪِ ﻛُﻠﱢﻬَﺎ وَﻟَﻢْ ﻳُﺼَﻞﱢ ﺣَﺘﱠﻰ ﺧَﺮَجَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَـﻠَﻤﱠﺎ ﺧَﺮَجَ رﻛَﻊَ رﻛَﻌَﺘَـﻴْﻦِ ﻓِﻲ ﻗُـﺒُﻞِ اﻟْﻜَﻌْﺒَﺔِ وَﻗَﺎلَ ﻫَﺬِﻩِ اﻟْﻘِﺒْـﻠَﺔُ – اﻟﺒﺨﺎري
(Ibnu juraij menghabarkan pada kami dari ‘Atho’, berkata : Aku mendengar Ibnu Abbas berkata : ketika Nabi masuk Ka’bah, Beliau berdo’a pada semua arahnya dan tidak sholat hingga keluar dari Ka’bah. Ketika keluar Beliau sholat dua roka’at di depan Ka’bah dan bersabda : Inilah Kiblat). H.R Bukhori
Kedua hadits ini diterima dari dua sahabat yang sama terpercaya, kedua-duanya tidak ikut masuk ke dalam Ka’bah, kedua-duanya diriwayatkan oleh Imam Bukhori.
Hadits seperti ini jelas tidak bisa dijam’u, karena hadits fi’liyah yang hanya satu kali atau dalam peristiwa yang sama. Maka jalan keluarnya adalah tarjih. Yang ditarjih disini tentu bukan sanadnya, melainkan matannya.
Dari hasil tarjih terhadap kedua hadits tersebut tentu hadits Ibnu Umar yang lebih kuat atau lebih bisa diterima daripada Ibnu Abbas. Karena Ibnu Umar menerima berita dari pelaku dalam peristiwa tersebut, yakni Bilal, sedangkan keterangan Ibnu Abbas tidak jelas dari siapa, yang jelas Ibnu Abbas sendiri tidak termasuk yang ikut masuk ke dalam Ka’bah waktu itu!
11. Bukankah ada hadits lain selain hadits Ibnu Abbas, yakni hadits dari Siti ‘Aisyah?
Betul ada, hadits tersebut berbunyi :
(Malik menceriterakan pada kami dari Ibnu Syihab, dari Urwah bin Zubair, dari ‘Aisyah istri Nabi, berkata : kami keluar bersama Nabi pada hari Haji Wada, kami ihlal untuk umroh, lalu Nabi bersabda: “Barang siapa yang membawa hadyu maka ihlallah untuk haji dan umroh, dan tidak boleh tahallul sebelum selesai keduanya ( Haji dan Umroh)”. Aku datang ke Makkah sementara aku haid, dan aku tidak thowaf di Baitulloh dan antara Shofa dan Marwah; maka aku mengadukan hal itu kepada Nabi. Beliau berkata : “Urailah rambutmu lalu menyisirlah dan ber-ihlal-lah untuk haji serta tinggalkanlah umroh”. Maka aku mengerjakannya. Tatkala kami menyelesaikan haji, Nabi mengirim saya bersama Abdurahman bin Abi Bakar ke Tan’im, lalu aku umroh. Beliau bersabda “Inilah tempat (ihlal) umrohmu”. Aisyah berkata : Mereka yang ihlal dengan umroh thowaf di Baitulloh dan antara Shofa dan Marwah, kemudian mereka tahallul, kemudian mereka thowaf lagi setelah pulang dari Mina. Adapun mereka yang menyatukan antara haji dan umroh (yang Qiron) mereka hanya thawaf satu kali). H.R Bukhori
Mengenai hadits dari siti ‘Aisyah ini:
a. Masih nampak ada yang samar, belum shorih (jelas) pada kalimat “….mereka thowaf lagi setelah kembali dari Mina” yang dimaksud dengan thowaf di sini Thowaf di Baitulloh atau Sa’i?.
Tidaklah keterangan Siti ‘Aisyah ini sama dengan keterangan Ibnu Umar riwayat Sa’id bin Mashur dalam Fathul-Bari III: 494 dan Al- Mughni III: 497 yang menyatakan :
ﻋَﻦْ اِﺑْﻦ ﻋُﻤَﺮ ﻋَﻦْ اﻟﻨﱠﺒِﻲّ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲ ﻋَﻠَﻴْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢَ ﻗَﺎلَ : ﻣَﻦْ ﺟَﻤَﻊَ ﺑَـ ﻴْﻦَ اﻟْﺤَﺞّ وَاﻟْﻌُﻤْﺮَة ﻛَﻔَﺎ ﻟَﻬُﻤَﺎ ﻃَﻮَاﻓﺎ وَاﺣِﺪا وَﺳَﻌْﻴﺎ وَاﺣِﺪا
(Dari Ibnu Umar dari Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang menyatukan haji dan umroh maka cukup bagi haji dan umroh satu kali Thowaf dan satu kali Sa’i).”
Di hadits ‘Aisyah di atas disebutkan yang Qiron tidak Thowaf lagi. Kalau maksudnya begitu berarti yang Qiron bukan hanya tidak Sa’i ba’da Thowaf Ifadhoh, tapi Thowaf Ifadhohnya juga tidak (?).
b. Ibnu Taimiyyah dalam kitab Manasik-nya hal: 30 menyatakan bahwa kalimat:…fa thoofal-ladzina ahalluu bil- ‘umroti…dst. adalah bukan dari Siti ‘Aisyah, melainkan ucapan Az-Zuhri, beliau berkata :
وَﻗَﺪْ رُوِيَ ﻓِﻲ ﺣَﺪِﻳﺚِ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ أَﻧﱠـﻬُﻢْ ﻃ َﺎﻓُﻮا ﻣَﱠﺮﺗَـﻴْﻦِ ﻟَﻜِﻦﱠ ﻫَﺬِﻩِ اﻟﱢﺰﻳَﺎدَةَ ﻗِﻴﻞَ إﻧ ﱠـﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﻗَـﻮْلِ اﻟﱡﺰﻫْﺮِيﱢ ﻻ َ ﻣِﻦْ ﻗَـﻮْلِ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔ َ وَﻗَﺪْ اﺣْﺘَﺞﱠ ﺑِﻬَﺎ ﺑَـﻌْﻀُﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ أَﻧﱠﻪُ ﻳُﺴْﺘَﺤَﺐﱡ ﻃَﻮَاﻓَﺎنِ ﺑِﺎﻟْﺒَـﻴْﺖِ وَﻫَﺬَا ﺿَﻌِﻴﻒٌ . وَاﻷ َﻇْﻬَﺮُ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺣَﺪِﻳﺚِ ﺟَﺎﺑِﺮٍ . وَﻳُـَ ﺆﻳﱢﺪُ ﻗَـﻮْﻟُﻪُ : } دَﺧَﻠَﺖْ اﻟْﻌُﻤْﺮَةُ ﻓِﻲ اﻟْﺤَﺞﱢ إﻟَﻰ ﻳَـﻮْمِ اﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ { ﻓَﺎﻟْﻤُﺘَﻤَﺘﱢﻊُ ﻣِﻦْ ﺣِ ﻴﻦِ أَﺣْﺮَمَ ﺑِﺎﻟْﻌُﻤْﺮَةِ دَﺧَﻞَ ﺑِﺎ ﻟْﺤَﺞﱢ ﻟَﻜِﻨﱠﻪُ ﻓَﺼَﻞ َ ﺑِﺘَﺤَﻠﱡﻞِ ﻟِﻴَﻜُﻮنَ أَﻳْﺴَﺮَ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﺤَﺎجﱢ
(Telah diriwayatkan pada hadits Siti ‘Aisyah, bahwa mereka Thowaf dua kali, akan tetapi tambahan ini, dikatakan, dari perkataan Az-Zuhri bukan dari perkataan Siti
‘Aisyah; dan sebagian mereka telah berhujjah dengan riwayat ini, bahwasanya dianjurkan dua kali Thowaf di Baitulloh, dan riwayat ini dho’if. Dan yang lebih jelas apa yang ada dalam hadits Jabir. Dan sabda Beliau {dakholatil-‘umrotu fil-hajji ilaa yaumil-qiyamah} menjadi penguat. Maka yang mengerjakan haji tamattu’ dari sejak ihlal ihrom dengan ‘umroh telah masuk pada haji, akan tetapi dipisah dengan tahallul supaya lebih ringan bagi yang mengerjakan haji).
c. Pengarang Kitab ‘Aunul-Ma’bud mengomentari hadits ‘Aisyah dengan kalimat :
وَﻗَﺪْ ﺧَﺎﻟَﻔَﻬَﺎ ﺟَﺎﺑِﺮ ﻓِﻲ ذَﻟِﻚَ ، ﻓَﻔِﻲ ﺻَﺤِ ﻴﺢ ﻣُﺴْﻠِﻢ ﻋَﻨْﻪُ أَﻧﱠﻪُ ﻗَﺎلَ : ” ﻟَﻢْ ﻳَﻄُﻒْ اﻟﻨﱠﺒِﻲّ ﺻَﻠﱠﻰ اﷲ ﻋَﻠَﻴْﻪِ وَﺳَﻠﱠﻢَ وَﻻ َ أَﺻْﺤَﺎﺑﻪ ﺑ َـﻴْﻦ اﻟﺼﱠﻔﱠﺎ وَاﻟْﻤَﺮْوَة إِﻻ ﱠ ﻃَﻮَاﻓًﺎ وَاﺣِﺪًا ﻃَﻮَاﻓﻪ اﻷ َﱠول ” وَأَﺧَﺬَ اﻹِ ﻣَﺎم أَﺣْﻤَﺪ ﺑِﺤَﺪِﻳﺚِ ﺟَﺎﺑِﺮ ﻫَﺬَا ﻓِﻲ رِوَاﻳَﺔ اِﺑْﻨﻪ ﻋَﺒْﺪ اﷲ
(Dan Jabir telah menyelisihinya dalam hal itu, dalam shohih Muslim dari Jabir berkata : Nabi dan para sahabatnya tidak Thowaf antara Shofa dan Marwah kecuali satu kali, yaitu Thowaf yang awal. Dan Imam Ahmad mengambil hadits Jabir ini dalam riawat putranya Abdulloh).
d. Perjalanan haji Siti ‘Aisyah menurut sebagian Tamattu, sebagian menyebut Qiron, bahkan ada yang menyebutnya Ifrod, karena sebelum Thowaf Qudum dan Sa’i dilaksanakan, datang haid kepadanya, kemudian mengambil umroh dari Tan’im.
12. Bukankah Thowaf itu merupakan rukun Haji dan Umroh?
Umroh ada Thowafnya, haji ada Thowafnya sebagaimana firman Allah :
إِنﱠ اﻟﺼﱠﻔَﺎ َ واﻟْﻤَ ْﺮَوةَ ِﻣﻦْ ﺷَﻌَﺎﺋِﺮِ اﷲ ِ ﻓَﻤَﻦْ ﺣَﺞﱠ اﻟْﺒَـﻴْﺖَ أَوِ اﻋْﺘَﻤَﺮ ﻓَﻼ َ ﺟُﻨَﺎحَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ أَنْ ﻳَﻄﱠﱠﻮفَ ﺑِﻬِﻤَﺎ َوﻣَﻦْ ﺗَﻄَﱠﻮعَ ﺧَﻴْـًﺮا ﻓَﺈنﱠ
(اﷲ َ ﺷَﺎﻛِﺮ ﻋَﻠِﻴﻢٌ (١٥٨ : اﻟﺒﻘﺮة
(Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Alloh. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Alloh Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.
Kalau hanya berangkat dari pemahaman arti tersebut semata, tanpa memperhatikan penjelasan dari hadits Nabi, maka tentu tidak ada bedanya antara Qiron, Tamattu, dan Ifrod, semuanya mesti Sa’i lagi ba’da Thowaf Ifadhoh!!?
13. Bukankah yang Qiron dikecualikan, tidak Sa’i lagi oleh hadits dari Ibnu Abbas dan Siti ‘Aisyah?
Jika ayat 158 dari surat Al-Baqorah tersebut bisa dikecualikan oleh hadits Nabi, kenapa hadits Jabir tidak dijadikan pengecualian bagi yang Tamattu?
14. Kalau begitu ayat tersebut berlaku bagi siapa?
Kalau kita perhatikan kalimat: “…faman hajjal-baita awi’tamaro…”, maka bisa difahami bahwa bagi yang “Safrotan wahidatan linusukin wahidin” (yang satu kali berangkat untuk satu kali nusuk haji saja). Maka masing-masing ada Sa’inya, artinya bagi Ifrod (?). Sementara bagi “Safrotan Wahidatan linusukaini” (satu keberangkatan untuk dua nusuk Haji dan Umroh) tidak ada lagi Sa’i ba’da Thowaf Ifadhoh, baik Qorin maupun Mutamatti’.
15. Jika saya ragu antara Sa’i lagi dan tidak, jika saya melaksanakan Sa’i lagi ba’da Thowaf Ifadhoh khawatir jatuh kepada bid’ah, jika tidak Sa’i lagi khawatir ibadah haji saya tidak sempurna?
Dalam tuntunan Islam kita dilarang melakukan sesuatu yang masih ragu. Keraguan itu harus dibuang. Coba kita perhatikan keterangan/kaidah berikut :
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
(Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, (kerjakanlah) apa yang tidak meragukanmu).
ﺘَـﺮْكُ ﻣَﺎ ﻧُﺮِﻳْﺐُ ﺳُﻨﱠﺘَﻪُ ﺧَﻴْـﺮٌ ﻣِﻦْ ﻓِﻌْﻞِ ﻣَﺎ ﻧَﺨَﺎفُ ﺑِﺪْﻋَﺘَﻪ ُ
(Meninggalkan apa yang kita ragukan kesunnahannya, lebih baik daripada mengerjakan apa yang kita hawatir kebid’ahannya).
Recent Comments