Bid’ah

Bid'ah
Sumber: islam.nu.or.id
Bagikan

Bid’ah

Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA. (dikutip dari buku 37 Masalah Populer)

Hadits Pertama:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللََِّّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللََّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأنََّهُ
مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ وَيَقُولُ بُعِثْتُ أنََا وَالسَّاعَةُ كَهَاتيَْنِ وَيَقْرُنُ بَيْنَ إِصْبَع يْهِ الس بَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَيَقُولُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ
خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللََِّّ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتهَُا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَة

Dari Jabir bin Abdillah. Ia berkata, “Ketika Rasulullah Saw menyampaikan khutbah, kedua matanya memerah, suaranya keras, marahnya kuat, seakan-akan ia seorang pemberi peringatan pada pasukan perang, Rasulullah Saw bersabda, “Dia yang telah menjadikan kamu hidup di waktu pagi dan petang”. Kemudian Rasulullah Saw bersabda lagi, “Aku diutus, hari kiamat seperti ini”. Rasulullah Saw mendekatkan dua jarinya; jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Rasulullah Saw berkata lagi, “Amma ba’du (adapun setelah itu), sesungguhnya sebaik-baik cerita adalah kitab Allah (al-Qur’an). Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Dan tiap-tiap perkara yang dibuat-buat itu dhalalah (sesat)”. (HR. Muslim).

Hadits Kedua:

عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ قَالَ وَعَظَنَا رَسُولُ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ
وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ رَجُلٌ إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَ دعٍ فَمَاذَا تعَْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللََّّ قَالَ أُوصِيكُمْ ب تَقْوَى اللََِّّ وَالسَّمْاِ وَالطَّاعَةِ
وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثاَتِ الْأُمُورِ فَإِن هَا ضَلاَلَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَعَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِي ينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Dari al-‘Irbadh bin Sariyah, ia berkata, “Rasulullah Saw suatu hari memberikan nasihat kepada kami setelah shalat Shubuh, nasihat yang sangat menyentuh, membuat air mata menetes dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata, “Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan pergi jauh, apa yang engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah”. Rasulullah Saw menjawab, “Aku wasiatkan kepada kamu agar bertakwa kepada Allah. Tetap mendengar dan patuh, meskipun kamu dipimpin seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang hidup dari kamu akan melihat banyak pertikaian. Jauhilah perkara yang dibuat-buat, sesungguhnya perkara yang dibuat-buat itu dhalalah (sesat). Siapa yang mendapati itu dari kalian, maka hendaklah ia berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ Rasyidin yang mendapat hidayah. Gigitlah dengan gigi geraham”. (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Makna Bid’ah.

Pendapat Imam asy-Syathibi:

طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه

Suatu cara/kebiasaan dalam agama Islam, cara yang dibuat-buat, menandingi syariat Islam, tujuan melakukannya adalah sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah Swt.

Definisi lain,

البدعة طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية

Bid’ah adalah suatu cara/kebiasaan dalam agama Islam, cara yang dibuat-buat, menandingi syariat Islam, tujuan melakukannya seperti tujuan melakukan cara dalam syariat Islam.

Pendapat Imam al-‘Izz bin Abdissalam

البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم.

Bid’ah adalah perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah Saw

Pendapat Imam an-Nawawi:

قال أهل اللغة هي كل شيء عمل على غير مثال سابق

Para ahli bahasa berkata, bid’ah adalah semua perbuatan yang dilakukan, tidak pernah ada contoh sebelumnya.

Pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani:

كل شيء أحدث على غير مثال يسمى بدعة سواء كان محمودا أو مذموما

Segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya disebut bid’ah, apakah itu terpuji ataupun tercela.

Segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya disebut bid’ah, apakah itu terpuji ataupun tercela (Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, juz.XIII, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379H), hal.253).

Bid’ah Tidak Bisa Dibagi. Benarkan?

Seperti yang disebutkan para ulama di atas, semua sepakat bahwa Bid’ah adalah apa saja yang tidak ada pada zaman Rasulullah Saw. Jika demikian maka mobil adalah bid’ah, maka kita mesti naik onta. Tentu orang yang tidak setuju akan mengatakan, “Mobil itu bukan ibadah, yang dimaksud Bid’ah itu adalah masalah ibadah”. Dengan memberikan jawaban itu, sebenarnya ia sedang membagi bid’ah kepada dua: bid’ah urusan dunia dan bid’ah urusan ibadah. Bid’ah urusan dunia, boleh. Bid’ah dalam ibadah, tidak boleh.

Kalau bid’ah bisa dibagi menjadi dua; bid’ah urusan dunia dan bid’ah urusan ibadah,

mengapa bid’ah tidak bisa dibagi kepada bid’ah terpuji dan bid’ah tercela?!

Oleh sebab itu para ulama membagi bid’ah kepada dua, bahkan ada yang membaginya menjadi lima. Berikut pendapat para ulama, sebagiannya berasal dari kalangan Salaf (tiga abad pertama Hijrah):

Pembagian Bid’ah Menurut Imam Syafi’i (150 – 204H):

قال الشافعي البدعة بدعتان محمودة ومذمومة فما وافق السنة فهو محمود وما خالعها فهو مذموم

Imam Syafi’i berkata,

“Bid’ah itu terbagi dua: Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela).

Jika sesuai dengan Sunnah, maka itu Bid’ah Mahmudah.

Jika bertentangan dengan Sunnah, maka itu Bid’ah Madzmumah

Disebutkan oleh Abu Nu’aim dengan maknanya dari jalur riwayat Ibrahim bin al-Junaid dari Imam Syafi’i.

Kriteria Pembagian Bid’ah Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Madzmumah (tercela).
Menurut Imam Syafi’i:

وجاء عن الشافعي أيضا ما أخرجه البيهقي في مناقبه قال المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا
فهذه بدعة الضلال وما أحدث من الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة

Juga dari Imam Syafi’i, diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam Manaqib Imam Syafi’i, “Bid’ah itu terbagi dua:
Perkara yang dibuat-buat, bertentangan dengan al-Qur’an, atau Sunnah, atau Atsar, atau Ijma’, maka itu Bid’ah Dhalal (bid’ah sesat)
Perkara yang dibuat-buat, dari kebaikan, tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar dan Ijma’, maka itu Bid’ah Ghair Madzmumah (bid’ah tidak tercela)61.

Kriteria Pembagian Bid’ah Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani:
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyebut dua kali dengan dua istilah berbeda:
Pertama: Bid’ah Hasanah – Bid’ah Mustaqbahah – Bid’ah Mubah.

Berdasarkan penelitian, jika bid’ah itu tergolong dalam perkara yang dianggap baik menurut syariat Islam, maka itu disebut Bid’ah Hasanah.
Jika tergolong dalam sesuatu yang dianggap buruk menurut syariat Islam, maka itu disebut Bid’ah Mustaqbahah (bid’ah buruk).
Jika tidak termasuk dalam kedua kelompok ini, maka termasuk Mubah.

Kedua, Bid’ah Hasanah – Bid’ah Dhalalah – Bid’ah Mubah

Jika perbuata itu sesuai dengan Sunnah, maka itu adalah Bid’ah Hasanah.

Jika bertentangan dengan Sunnah, maka itu adalah Bid’ah Dhalalah.

Itulah yang dimaksudkan.

Oleh sebab itu bid’ah dikecam.
Jika tidak sesuai dengan Sunnah dan tidak pula bertentangan dengan Sunnah,
maka hukum asalnya adalah Mubah63

Dasar Pembagian Bid’ah Menurut Imam an-Nawawi:

Hadits yang berbunyi,

كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

“Semua perkara yang dibuat-buat itu adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah itu sesat”.
Hadits ini bersifat umum. Dikhususkan oleh hadits lain yang berbunyi:

من سن في الاسلام سنة حسنة فله أجرها

“Siapa yang membuat tradisi yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan balasan pahalanya”.
Yang dimaksud dengan bid’ah dhalalah dalam hadit pertama adalah:

المحدثات الباطلة والبدع المذمومة

Perkara diada-adakan yang batil dan perkara dibuat-buat yang tercela.
Sedangkan bid’ah itu sendiri dibagi lima: bid’ah wajib, bid’ah mandub, bid’ah haram, bid’ah makruh dan bid’ah mubah.

Tapi ada hadits menyebut, “Semua bid’ah itu sesat”, apa maksudnya?
Imam an-Nawawi menjawab,

قوله صلى الله عليه و سلم وكل بدعة ضلالة هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع

Sabda Rasulullah Saw, “Semua bid’ah itu sesat”, ini kalimat yang bersifat umum, tapi dikhususkan. Maka maknanya, “Pada umumnya bid’ah itu sesat”

Bid’ah Dibagi Lima:
Pendapat Imam al-‘Izz bin Abdissalam

Bid’ah adalah perbuatan yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah Saw.
Bid’ah terbagi kepada: wajib, haram, mandub (anjuran), makruh dan mubah.
Cara untuk mengetahuinya, bid’ah tersebut ditimbang dengan kaedah-kaedah syariat Islam.

Jika bid’ah tersebut masuk dalam kaedah wajib, maka itu adalah bid’ah wajib.

Jika masuk dalam kaedah haram, maka itu bid’ah haram.

Jika masuk dalam kaedah mandub, maka itu bid’ah mandub.

Jika masuk dalam kedah makruh, maka itu bid’ah makruh.

Jika masuk dalam kaedah mubah, maka itu bid’ah mubah.

Contoh bid’ah wajib: pertama, sibuk mempelajari ilmu Nahwu (gramatikal bahasa Arab) untuk memahami al-Qur’an dan sabda Rasulullah Saw. Itu wajib karena untuk menjaga syariat itu wajib. Syariat tidak mungkin dapat dijaga kecuali dengan mengetahui bahasa Arab. Jika sesuatu tidak sempurna karena ia, maka ia pun ikut menjadi wajib. Contoh kedua, menghafal gharib (kata-kata asing) dalam al-Qur’an dan Sunnah. Contoh ketiga, menyusun ilmu Ushul Fiqh. Contoh keempat, pembahasan al-Jarh wa at-Ta’dil untuk membedakan shahih dan saqim

(mengandung penyakit). Kaedah-kaedah syariat Islam menunjukkan bahwa menjaga syariat Islam itu fardhu kifayah pada sesuatu yang lebih dari kadar yang tertentu. Penjagaan syariat Islam tidak akan terwujud kecuali dengan menjaga perkara-perkara di atas.

Contoh bid’ah haram: mazhab Qadariyyah (tidak percaya kepada takdir), mazhab Jabariyyah (berserah kepada takdir), mazhab Mujassimah (menyamakan Allah dengan makhluk). Menolak mereka termasuk perkara wajib.

Contoh bid’ah mandub (anjuran): membangun prasarana jihad, membangun sekolah dan jembatan. Semua perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa generasi awal Islam. Diantaranya: shalat Tarawih, pembahasan mendetail tentang Tashawuf. Pembahasan ilmu debat dalam semua aspek untuk mencari dalil dalam masalah-masalah yang tujuannya untuk mencari ridha Allah Swt.

Contoh bid’ah makruh: hiasan pada masjid-masjid. Hiasan pada mush-haf al-Qur’an. Adapun melantunkan al-Qur’an sehingga lafaznya berubah dari kaedah bahasa Arab, maka itu tergolong bid’ah haram.
Contoh bid’ah mubah: bersalaman setelah selesai shalat Shubuh dan ‘Ashar. Menikmati yang nikmat-nikmat; makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, memakai jubah pakaian kebesaran dan melebarkan lengan baju. Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, sebagian ulama menjadikan ini tergolong bid’ah makruh, sebagian lain menjadikannya tergolong ke dalam perbuatan yang telah dilakukan sejak zaman Rasulullah Saw dan masa setelahnya, sama seperti isti’adzah (mengucapkan a’udzubillah) dan basmalah (mengucapkan bismillah) dalam shalat.

Imam an-Nawawi Menyetujui Pembagian Bid’ah Menjadi Lima:

Para ulama berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi lima: wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.
Contoh bid’ah wajib: menyusun dalil-dalil ulama ahli Kalam untuk menolak orang-orang atheis, pelaku bid’ah dan sejenisnya.
Contoh bid’ah mandub: menyusun kitab-kitab ilmu, membangun sekolah-sekolah, prasarana jihad dan sebagainya.
Contoh bid’ah mubah: menikmati berbagai jenis makanan dan lainnya. Sedangkan contoh bid’ah haram dan makruh sudah jelas.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani Menyetujui Pembagian Bid’ah Menjadi Lima:

Bid’ah terkadang terbagi ke dalam hukum yang lima (wajib, mandub, haram, makruh dan mubah).

Jika Tidak Dilakukan Nabi, Maka Haram. Benarkah?
Yang selalu dijadikan dalil mendukung argumen ini adalah kaedah:

الترك يقتضي التحريم

“Perkara yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw, berarti mengandung makna haram”.
Tidak ada satu pun kitab Ushul Fiqh maupun kitab Fiqh memuat kaedah seperti ini. Kaedah ini hanya buatan sebagian orang saja.
Untuk menguji kekuatan kaedah ini, mari kita lihat beberapa contoh dari hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw tidak melakukan suatu perbuatan, namun tidak selamanya karena perbuatan itu haram, tapi karena beberapa sebab:
Pertama, karena kebiasaan. Contoh:

Dari Khalid bin al-Walid, ia berkata, “Rasulullah Saw diberi Dhab (biawak Arab) yang dipanggang untuk dimakan. Lalu dikatakan kepada Rasulullah Saw, “Ini adalah Dhab”. Rasulullah Saw menahan tangannya.

Khalid bertanya, “Apakah Dhab haram?”.

Rasulullah Saw menjawab, “Tidak, tapi karena Dhab tidak ada di negeri kaumku. Maka aku merasa tidak suka”. Khalid memakan Dhab itu, sedangkan Rasulullah Saw melihatnya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Apakah karena Rasulullah Saw tidak memakannya maka Dhab menjadi haram!? Dhab tidak haram. Rasulullah Saw tidak memakannya karena makan Dhab bukan kebiasaan di negeri tempat tinggal Rasulullah Saw.

Kedua, khawatir akan memberatkan ummatnya. Contoh:

Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Saw shalat di Masjid pada suatu malam, lalu orang banyak ikut shalat bersama beliau. Pada malam berikutnya orang banyak mengikuti beliau. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat, Rasulullah Saw tidak keluar rumah. Pada waktu paginya, Rasulullah Saw berkata, “Aku telah melihat apa yang kalian lakukan. Tidak ada yang mencegahku untuk keluar rumah menemui kalian, hanya saja aku khawatir ia diwajibkan bagi kalian”. Itu terjadi di bulan Ramadhan. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Swt tidak ke masjid setiap malam, apakah perbuatan ke masjid setiap malam itu haram?! Tentu saja tidak haram.
Mengapa Rasulullah Saw tidak melakukannya?!
Bukan karena perbuatan itu haram, tapi karena khawatir memberatkan ummat Islam.
Contoh lain:

“Kalaulah tidak memberatkan bagi ummatku, atau bagi manusia, pastilah aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali shalat”. (HR. al-Bukhari).

Ketiga, tidak terlintas di fikiran Rasulullah Saw. Contoh:

Dari Jabir bin Abdillah, ada seorang perempuan berkata, “Wahai Rasulullah, sudikah aku buatkan untuk engkau sesuatu? engkau duduk di atasnya. Sesungguhnya aku mempunyai seorang hamba sahaya tukang kayu”.
Rasulullah Saw menjawab, “Jika engkau mau”.
Perempuan itu membuatkan mimbar. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Saw tidak membuat mimbar, bukan berarti mimbar itu haram. Tapi karena tidak terlintas untuk membuat mimbar, sampai perempuan itu menawarkan mimbar. Lalu apakah karena Rasulullah Saw tidak membuatnya, maka mimbar menjadi haram?! Tentu saja tidak.

Keempat, karena Rasulullah Saw lupa. Contoh:

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Rasulullah Saw melaksanakan shalat. Ibrahim berkata, ‘Saya tidak mengetahui apakah rakaat berlebih atau kurang. Ketika shalat telah selesai. Dikatakan kepada Rasulullah, “Apakah telah terjadi sesuatu dalam shalat?”.

Rasulullah Saw kembali bertanya, “Apakah itu?”.

Mereka menjawab, “Engkau telah melakukan anu dan anu”.

Kemudian Rasulullah Saw menekuk kedua kakinya dan kembali menghadap kiblat, beliau sujud dua kali. Kemudian salam. Ketika Rasulullah Saw menghadapkan wajahnya kepada kami, ia berkata, “Jika terjadi sesuatu dalam shalat, pastilah aku beritahukan kepada kamu. Tapi aku hanyalah manusia biasa, sama seperti kamu. Aku juga lupa, sama seperti kamu. Jika aku terlupa, maka ingatkanlah aku”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah Saw tidak melakukan, bukan karena haram. Tapi karena beliau lupa.

Kelima, karena khawatir orang Arab tidak dapat menerima perbuatan Rasulullah Saw. Contoh:

Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Saw berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, kalaulah bukan karena kaummu baru saja meninggalkan masa jahiliyah, pastilah aku perintahkan merenofasi Ka’bah. Aku akan masukkan ke dalamnya apa yang telah dikeluarkan darinya. Aku akan menempelkannya ke tanah. Aku buat dua pintu, satu di timur dan satu di barat, dengan itu aku sampaikan dasar Ibrahim”. (HR. al-Bukhari).

Rasululllah Saw tidak melakukan renofasi itu, bukan berarti haram. Tapi karena tidak ingin orang-orang Arab berbalik arah, tidak dapat menerima perbuatan Rasulullah Saw, karena mereka baru saja masuk Islam, hati mereka masih terikat dengan masa jahiliyah.

Keenam, karena termasuk dalam makna ayat yang bersifat umum,

“Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. (Qs. al-Hajj [22]: 77).
Rasulullah Saw tidak melakukannya, bukan berarti haram. Tapi masuk dalam kategori kebaikan yang bersifat umum. Jika perbuatan itu sesuai Sunnah, maka bid’ah hasanah. Jika bertentangan dengan Sunnah, maka bid’ah dhalalah.

“Jika Tidak Dilakukan Rasulullah Saw, Maka Haram”. Adakah Kaedah Ini?
Inilah yang dijadikan kaedah membuat orang mengharamkan yang tidak haram. Membid’ahkan yang tidak bid’ah.
Adakah kaedah seperti ini dalam Ilmu Ushul Fiqh?
Pertama, kaedah haram ada tiga:
a. Nahy (larangan/kalimat langsung), contoh: [وَلَا تَقْرَبُوا ال زنَا ] “Dan janganlah kamu mendekati zina”. (Qs. al-Isra’ [17]: 32).
b. Nafy (larangan/kalimat tidak langsung), contoh: [وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ] “dan janganlah menggunjingkan satu sama lain”. (Qs. al-Hujurat [49]: 12).
c. Wa’id (ancaman keras), contoh: [وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ] “Siapa yang menipu kami, maka bukanlah bagian dari golongan kami”. (HR. Muslim).
Sedangkan at-Tark (perbuatan yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw), tidak satu pun ahli Ushul Fiqh menggolongkannya ke dalam kaedah haram.
Kedua, yang diperintahkan Rasulullah Saw, lakukanlah. Yang dilarang Rasulullah Saw, tinggalkanlah. Ini berdasarkan ayat, [ وَمَا آتَاَكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْه فَانْتَهُوا ]

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. (Qs. al-Hasyr [59]: 7).

Tidak ada kaedah tambahan, “Yang ditinggalkan Rasulullah Saw, maka haram”.
Ketiga, “Yang aku perintahkan, laksanakanlah. Yang aku larang, tinggalkanlah”.
Ini berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah, [ مَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَيْتكُُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ].
Tidak ada kalimat tambahan, “Yang tidak aku lakukan, haramkanlah!”.
Keempat, ulama Ushul Fiqh mendefinisikan Sunnah adalah:

السنة عند الأصوليين ما صدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غير القرآن من قول أو فعل أو تقرير ، مما يصلح أن يكون
دليلاً على حكم شرعي .

Sunnah menurut para ahli Ushul Fiqh adalah: ucapan, perbuatan dan ketetapan yang berasal dari Rasulullah Saw, layak dijadikan sebagai dalil hukum syar’i.
Hanya ada tiga: Qaul (Ucapan), fi’l (Perbuatan) dan Taqrir (Ketetapan).

Tidak ada disebutkan at-Tark (perkara yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw). Maka at-Tark tidak termasuk dalil penetapan hukum syar’i.
Kelima, at-Tark (perkara yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw)
tidak selamanya mengandung makna larangan, tapi mengandung multi makna.

Dalam kaedah Ushul Fiqh dinyatakan: [أن ما دخله الإحتمال سقط به الاستدلال ]
Jika dalil itu mengandung ihtimal (banyak kemungkinan/ketidakpastian), maka tidak layak dijadikan sebagai dalil.
Keenam, at-Tark (perkara yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw), itu adalah asal. Hukum asalnya tidak ada suatu perbuatan pun. Sedangkan perbuatan itu datang belakangan. Maka at-Tark tidak dapat disebut bisa menetapkan hukum haram. Karena banyak sekali perkara mandub (anjuran) dan perkara mubah (boleh) yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw. Jika dikatakan bahwa semua yang tidak dilakukan Rasulullah Saw itu mengandung hukum haram, maka terhentilah kehidupan kaum muslimin.
Jalan keluarnya, Rasulullah Saw bersabda,

“Apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, maka itu halal. Apa yang Ia haramkan, maka itu haram. Apa yang didiamkan (tidak disebutkan), maka itu adalah kebaikan Allah. Maka terimalah kebaikan-Nya. Sesungguhnya Allah tidak pernah lupa terhadap sesuatu”. Kemudian Rasulullah Saw membacakan ayat, “dan tidaklah Tuhanmu lupa.”. (Qs. Maryam [19]: 64).
Komentar al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani terhadap hadits ini,

Disebutkan oleh Imam al-Bazzar dalam kitabnya, ia berkata, “Sanadnya shalih”. Dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim.

Ini menunjukkan bahwa yang tidak disebutkan Allah Swt dan tidak dilakukan Rasulullah Saw bukan berarti mengandung makna haram, tapi mengandung makna boleh, hingga ada dalil lain yang mengharamkannya. Dengan demikian, maka batallah kaedah:
الترك يقتضي التحريم
“at-Tark: perkara yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw, berarti mengandung makna haram”.
Baca dan fikirkan baik-baik!
Oleh sebab itu banyak sekali perbuatan-perbuatan yang tidak dilakukan Rasulullah Saw, tapi dilakukan shahabat, dan Rasulullah Saw tidak melarangnya, bahkan memujinya. Berikut contoh-contohnya:

Rasulullah Saw Membenarkan Perbuatan Shahabat, Padahal Rasulullah Saw Tidak Pernah Melakukannya.
Ada beberapa perbuatan yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw, tidak pernah beliau ucapkan dan tidak pernah beliau ajarkan. Tapi dilakukan oleh shahabat, Rasulullah Saw membenarkannya. Diantaranya adalah:

Shalat Dua Rakaat Setelah Wudhu’.

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw berkata kepada Bilal pada shalat Shubuh, “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amal yang paling engkau harapkan yang telah engkau amalkan dalam Islam? Karena aku mendengar suara gesekan sandalmu di depanku di dalam surga”.

Bilal menjawab, “Aku tidak pernah melakukan amal yang paling aku harapkan, hanya saja aku tidak pernah bersuci (wudhu’) dalam satu saat di waktu malam atau siang, melainkan aku shalat dengan itu (shalat sunnat Wudhu’), shalat yang telah ditetapkan bagiku”. (HR. al-Bukhari).

Apakah Rasulullah Saw pernah melaksanakan shalat sunnat setelah wudhu’? tentu tidak pernah, karena tidak ada hadits menyebut Rasulullah Saw pernah melakukan, mengucapkan atau mengajarkan shalat sunnat dua rakaat setelah wudhu’. Jika demikian maka shalat sunnat setelah wudhu’ itu bid’ah, karena Rasulullah Saw tidak pernah melakukannya. Ini menunjukkan bahwa shalat sunnat dua rakaat setelah wudhu’ itu bid’ah hasanah.
Jika ada yang mengatakan bahwa ini sunnah taqririyyah, memang benar. Tapi ia menjadi sunnah taqririyyah setelah Rasulullah Saw membenarkannya. Sebelum Rasulullah Saw membenarkannya, ia tetaplah bid’ah, amal yang dibuat-buat oleh Bilal. Mengapa Bilal tidak merasa berat melakukannya? Mengapa Bilal tidak mengkonsultasikannya kepada Rasulullah Saw sebelum melakukanya? Andai Rasulullah Saw tidak bertanya kepada Bilal, tentulah Bilal melakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Rasulullah Saw tentang shalat dua rakaat setelah wudhu’ itu. Maka jelaslah bahwa shalat setelah wudhu’ itu bid’ah hasanah sebelum diakui Rasulullah Saw. Setelah mendapatkan pengakuan Rasulullah Saw, maka ia berubah menjadi sunnah taqririyyah. Fahamilah dengan baik!

Shalat Dua Rakaat Sebelum Dibunuh.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah Saw mengutus utusan sebanyak sepuluh orang. Mereka dipimpin ‘Ashim bin Tsabit al-Anshari kakek ‘Ashim bin Umar bin al-Khaththab. Ketika mereka berada di al-Hadah lokasi antara ‘Asafan dan Makkah. Berita kedatangan mereka disampaikan ke satu kawasan dari Hudzail bernama Bani Lihyan, lalu dipersiapkan untuk menghadapi mereka hampir seratus orang pemanah. Pasukan musuh mengikuti jejak pasukan kaum muslimin hingga pasukan musuh mendapati makanan pasukan kaum muslimin yaitu kurma di tempat yang mereka diami. Pasukan musuh berkata, “Ini kurma Yatsrib (Madinah)”. Pasukan musuh terus mengikuti jejak pasukan kaum muslimin. Ketika ‘Ashim dan para sahabatnya merasa bahwa mereka diikuti, mereka pun singgah di suatu tempat. Pasukan musuh mengelilingi mereka dan berkata, “Turunlah kalian, serahkan diri kalian. Bagian kalian perjanjian. Kami tidak akan membunuh seorang pun dari kalian”. ‘Ashim bin Tsabit berkata, “Wahai sahabat, aku tidak akan turun ke dalam perlindungan orang kafir. Ya Allah, beritahukan nabi-Mu tentang kami”. Pasukan musuh memanah pasukan kaum muslimin, mereka berhasil membunuh ‘Ashim. Tiga orang turun berdasarkan perjanjian, diantara mereka adalah Khubaib, Zaid bin ad-Datsinah dan seorang laki-laki. Ketika pasukan musuh dapat menguasai mereka, pasukan musuh melepaskan tali busur panah mereka dan mengikat pasukan kaum muslimin. Laki-laki yang ketiga itu berkata, “Demi Allah, inilah tipuan pertama, aku tidak akan bersama dengan kamu. Sesungguhnya aku suri tauladan bagi mereka”, yang ia maksudkan adalah dalam hal pembunuhan. Pasukan musuh terus menyeret dan mengajaknya, tapi ia tetap menolak untuk ikut bersama mereka. Lalu Khubaib dan Zaid bin ad-Datsinah dibawa hingga pasukan musuh menjual mereka berdua setelah perang Badar. Bani al-Harits bin ‘Amir bin Naufal membeli Khubaib. Khubaib adalah orang yang membunuh al-Harits bin ‘Amir pada perang Badar. Khubaib menetap di negeri mereka sebagai tawanan hingga mereka berkumpul untuk membunuhnya. Khubaib meminjam pisau silet kepada salah seorang perempuan dari anak perempuan al-Harits, perempuan itu meminjamkannya. Perempuan itu memiliki seorang anak laki-laki, ketika perempuan itu lengah, anak laki-lakinya datang kepada Khubaib. Perempuan itu mendapati anak laki-lakinya berada di atas pangkuan Khubaib sedangkan pisau silet berada di tangan Khubaib. Perempuan itu berkata, “Aku sangat terkejut”. Khubaib menyadari hal itu, ia berkata, “Apakah engkau khawatir aku membunuhnya? Aku tidak mungkin melakukan itu”. Perempuan itu berkata, “Demi Allah aku tidak pernah melihat seorang tawanan sebain Khubaib. Demi Allah, suatu hari aku dapati Khubaib memakan setangkai anggur di tangannya, padahal ia terikat dengan besi, sedangkan di Makkah tidak ada buah-buahan. Itulah adalah rezeki yang diberikan Allah Swt kepada Khubaib”.

Ketika pasukan musuh membawa Khubaib keluar untuk dibunuh di tanah halal (luar tanah haram). Khubab berkata kepada mereka, “Biarkanlah aku melaksanakan shalat dua rakaat”. Mereka pun membiarkannya. Lalu Khubaib melaksanakan shalat dua rakaat. Khubab berkata, “Demi Allah, andai kalian tidak menyangka bahwa aku berkeluh-kesah, pastilah aku tambah (jumlah rakaat)”. Kemudian Khubaib berkata, “Ya Allah, hitunglah jumlah mereka, bunuhlah mereka segera, jangan sisakan seorang pun dari mereka”. Kemudian Khubaib bersyair:

Aku tidak peduli ketika aku terbunuh sebagai muslim

Di sisi apa pun bagi Allah kematianku

Itu semua pada Tuhan yang satu jika Ia berkehendak

Allah memberikan berkah pada setiap bagian tubuh yang terputus

Lalu Abu Sirwa’ah ‘Uqbah bin al-Harits tegak berdiri membunuh Khubaib.
Khubaib adalah orang pertama yang men-sunnah-kan shalat (sunnat) bagi setiap muslim yang terbunuh dalam keadaan sabar. (HR. al-Bukhari).
Rasulullah Saw tidak pernah mengajarkan, “Hai orang-orang beriman, jika kamu akan dibunuh, shalat sunnatlah dua rakaat”. Shalat sunnat dua rakaat ini murni inisiatif dari Khubaib. Maka Khubaib melakukan perbuatan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diajarkan Rasulullah Saw. Masuk kategori bid’ah, tapi bid’ah hasanah. Setelah disampaikan kepada Rasulullah Saw, diakui beliau, barulah ia menjadi sunnah taqririyyah.

Membaca Surat al-Ikhlas Sebelum Surat Lain.

Dari Anas bin Malik, ada seorang laki-laki menjadi imam orang-orang Anshar dalam shalat di masjid Quba’. Setiap kali membawa surat, ia awali dengan membaca surat al-Ikhlas hingga selesai. Kemudian ia membaca surat lain. Ia terus melakukan itu dalam setiap rakaat. Sahabat-sahabatnya berbicara kepadanya. Mereka berkata, “Engkau mengawali bacaan dengan surat al-Ikhlas. Kemudian engkau merasa itu tidak cukup, lalu engkau baca surat lain. Engkau baca surat al-Ikhlas, atau jangan engkau baca dan cukup baca surat lain saja”.

Ia menjawab, “Saya tidak akan meninggalkan surat al-Ikhlas. Jika kalian suka saya menjadi imam bagi kalian, saya akan melakukannya. Jika kalian tidak suka, saya akan meninggalkan kalian”. Dalam pandangan mereka, ia adalah orang yang paling utama diantara mereka, mereka tidak suka jika orang lain yang menjadi imam. Ketika mereka datang kepada Rasulullah Saw, mereka menceritakan peristiwa itu. Rasulullah Saw bertanya, “Wahai fulan, apa yang mencegahmu untuk melakukan saran sahabat-sahabatmu? Apa yang membuatmu terus membaca surat al-Ikhlas?”.

Ia menjawab, “Sesungguhnya saya sangat suka surat al-Ikhlas”.

Rasulullah Saw berkata, “Cintamu kepada surat al-Ikhlas membuatmu masuk surga”.

(HR. al-Bukhari).

Rasulullah Saw tidak pernah melakukan dan mengajarkan membaca surat al-Ikhlas sebelum shalat lain. Ini murni ijtihad shahabat tersebut. Mengapa ketika melakukannya, ia tidak khawatir sedikit pun terjerumus ke dalam perbuatan bid’ah? Karena ia yakin bahwa perbuatan itu bid’ah hasanah.

Menutup Bacaan Dengan Surat al-Ikhlas.

Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Saw mengutus seorang laki-laki dalam satu pasukan perang. Ia menjadi imam bagi sahabat-sahabatnya dalam shalat mereka. Ia selalu menutup bacaan ayat dengan surat al-Ikhlas. Ketika mereka kembali, peristiwa itu disebutkan kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw berkata, “Tanyakanlah kepadanya, mengapa itu melakukan itu?”.
Ia menjawab, “Karena al-Ikhlas adalah sifat Allah Yang Maha Pengasih. Saya suka membacanya”.
Rasulullah Saw berkata, “Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah Swt mencintainya”.
(HR. al-Bukhari dan Muslim).

Qatadah bin an-Nu’man: Membaca Surat al-Ikhlas Sepanjang Malam.

Dari Abu Sa’id al-Khudri, sesungguhnya seorang laki-laki mendengar ada orang membaca surat al-Ikhlas. ia mengulang-ulangi bacaannya. pada waktu shubuh, ia datang menghadap Rasulullah Saw menyebutkan peristiwa itu, seakan-akan orang itu membicarakannya. Rasulullah Saw berkata, “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya surat al-Ikhlas itu sama dengan sepertiga al-Qur’an”.. (HR. al-Bukhari).
Tentang nama orang yang membaca surat al-Ikhlas itu dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Ahmad:

Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Qatadah bin an-Nu’man membaca surat al-Ikhlas sepanjang malam. Peristiwa itu disebutkan kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw berkata, “Demi jiwaku berada di tangan-Nya, surat al-Ikhlas itu sama dengan setengah atau sepertiga al-Qur’an”. (HR. Ahmad).

Bacaan Iftitah Dibuat-buat Shahabat.

Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Ketika kami shalat bersama Rasulullah Saw. Seorang laki-laki dari suatu kaum mengucapkan:

اللََُّّ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِِلَِّّ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللََِّّ بُكْرَةً وَأصَِيلاً

Rasulullah Saw bertanya, “Siapakah yang mengucapkan kalimat anu dan anu?”.
Laki-laki itu menjawab, “Saya wahai Rasulullah”.
Rasulullah Saw berkata, “Saya kagum dengan bacaan itu. Pintu-pintu langit dibukakan karena doa itu”.
Abdullah bin Umar berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan doa itu sejak aku mendengar Rasulullah Saw mengatakannya”. (HR. Muslim).

Do’a Buatan Shahabat.

Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Rasulullah Saw mendengar seorang laki-laki mengucapkan:

اللهم اني أسألك ان لك الحمد لا إله الا أنت وحدك لا شريك لك المنان بديا السماوات والأرض ذا الجلال والإكرام

Rasulullah Saw berkata, “Engkau telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang Agung, apabila berdoa dengan doa itu maka dikabulkan, jika diminta maka diberi”. (HR. Ahmad, komentar Syekh Syu’aib al-Arnauth: hadits Shahih).

Doa Tambahan Pada Bacaan Sesudah Ruku’.

Dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi, ia berkata, “Suatu hari kami melaksanakan shalat di belakang Rasulullah Saw. Ketika Rasulullah Saw mengangkat kepalanya dari ruku’ dan mengucapkan:

سَمِاَ اللََُّّ لِمَ نْ حَمِدَه

Seorang laki-laki yang berada di belakangnya mengucapkan:

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَي بًا مُبَارَكًا فِيهِ

Ketika Rasulullah Saw selesai melaksanakan shalat, beliau bertanya, “Siapakah yang mengucapkan kalimat tadi?”.

Laki-laki itu menjawab, “Saya”.

Rasulullah Saw berkata, “Aku melihat tiga puluh sekian (3-9) malaikat segera mendatanginya, (mereka berlomba) siapa diantara mereka yang menuliskannya pertama kali”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Bacaan Ruqyah Buatan Shahabat.

Dari Kharijah bin ash-Shalat at-Tamimi dari pamannya, ia berkata, “Kami datang dari sisi Rasulullah Saw. Kami mendatangi suatu kawasan dari kawasan Arab. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah diberitahu bahwa kalian datang dari sisi laki-laki itu (Nabi Muhammad Saw) membawa kebaikan. Apakah kalian memiliki obat atau ruqyah, ada orang gila terikat di tempat kami”.
Kami jawab, “Ya”.
Mereka pun datang membawa orang gila yang terikat itu. Lalu saya bacakan surat al-Fatihah tiga hari pagi dan petang. Setiap kali selesai membaca surat al-Fatihah, saya kumpulkan air liur saya, kemudian saya tiupkan. Seakan-akan orang gila itu sadar dari ikatannya. Mereka memberi upah kepada saya. Saya jawab, “Tidak, sampai saya menanyakan hukumnya kepd Rasulullah Saw”.

Rasulullah Saw berkata, “Makanlah, demi usiaku, tidak benar orang yang makan dari hasil ruqyah yang batil. Sungguh engkau telah makan dari hasil ruqya yang haq (benar)”.
(HR. Abu Daud, Ahmad dan al-Hakim).
Syekh Nashiruddin al-Albani berkata, “Hadits Shahih”.

Perbuatan Shahabat Bertentangan Dengan Sunnah.

Tapi tidak selamanya Rasulullah Saw membenarkan ijtihad shahabat. Rasulullah Saw hanya membenarkan perbuata shahabat yang sesuai dengan Sunnah. Ketika perbuatan itu bertentangan dengan Sunnah, maka Rasulullah Saw marah dan melarangnya, contoh:

أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللََُّّ عَنْهُ يَقُولُ جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أزَْوَا النَّبِ ي صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْألَُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّب ي صَلَّى
اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أخُْبِرُوا كَأنََّهُمْ تقََالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِ ي صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَدْ غُعِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا
تَأخََّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِن ي أصَُلِ ي اللَّيْلَ أَب دًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتزَِلُ الن سَاءَ فَلَا أَتزََوَّ أَبَدًا
فَجَاءَ رَسُولُ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتمُْ الَّذِينَ قُلْتمُْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللََّّ إِن ي لَأَخْشَاكُمْ لِِلَِّّ وَأتَْقَاكُمْ لَهُ لَكِن ي أصَُومُ
وَأُفْطِرُ وَأُصَلِ ي وَأرَْقُدُ وَأَتزََوَّ الن سَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِن

Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Tiga orang datang ke rumah istri Rasulullah Saw, mereka bertanya tentang ibadah Rasulullah Saw. Ketika mereka diberitahu, seakan-akan mereka merasa sedikit, mereka berkata, “Dimanakah kita bila dibandingkan dengan Rasulullah Saw. Beliau yang tidak diampuni semua dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang”.

Salah satu dari mereka berkata, “Adapun saya, saya akan terus shalat malam untuk selamanya”.

Satu dari mereka berkata, “Saya akan berpuasa sepanjang tahun”.

Satu dari mereka berkata, “Saya menjauhi wanita. Saya tidak akan menikah untuk selamanya”.

Rasulullah Saw datang kepada mereka seraya berkata, “Kalian yang mengatakan anu dan anu. Demi Allah, sesungguhnya aku orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah diantara kamu. Tapi aku tetap berpuasa dan aku berpuasa. Aku shalat malam dan aku tetap tidur. Aku menikahi wanita. Siapa yang tidak mengikuti Sunnahku, maka bukanlah dari ummatku”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Kesimpulan:

Yang menjadi standar bukanlah perbuatan itu pernah dilakukan Rasulullah Saw atau tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw. Tapi yang dijadikan sebagai dasar adalah bahwa perbuatan itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat Islam. Jika bertentangan, maka bid’ah dhalalah. Jika sesuai dengan Sunnah, maka bid’ah hasanah.

Ijtihad Shahabat Setelah Rasulullah Saw Wafat.
Ijtihad Abu Bakar: Pengumpulan al-Qur’an Dalam Satu Mush-haf.

Dari ‘Ubaid bin as-Sabbaq, sesunggunya Zaid bin Tsabit berkata, “Abu Bakar mengirim korban perang Yamamah (memerangi nabi palsu Musailamah al-Kadzdzab) kepada saya. Umar bin al-Khaththab ada bersamanya.

Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya Umar datang kepada saya, ia berkata, ‘Sesungguhnya pembunuhan pada perang Yamamah telah menghabiskan para penghafal al-Qur’an. Aku khwatir pembunuhan juga menghabiskan para penghafal al-Qur’an di negeri-negeri lain sehingga kebanyak al-Qur’an akan hilang. Menurut pendapatku, engkau perintahkan pengumpulan al-Qur’an”.

Saya katakan kepada Umar, “Bagaimana mungkin engkau melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah Saw?’.

Umar menjawab, “Demi Allah ini perbuatan baik”. Umar terus membahas itu kepada saya hingga Allah melapangkan dada saya untuk melakukan itu, akhirnya saya melihat apa yang dilihat Umar”.

Zaid berkata, “Abu Bakar berkata, ‘Engkau (wahai Zaid) seorang pemuda yang cerdas, kami tidak menuduhmu tidak benar. Engkau pernah menjadi penulis wahyu untuk Rasulullah Saw. Engkau mengikuti al-Qur’an. Maka kumpulkanlah al-Qur’an”.

Zaid berkata, “Demi Allah, andai mereka membebankan kepadaku untuk memindahkan bukit, tidak ada yang lebih berat bagiku daripada apa yang ia perintahkan kepadaku untuk mengumpulkan al-Qur’an (dalam satu mush-haf)”.

Saya (Zaid bin Tsabit) katakan, “Bagaimana mungkin kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah Saw?”.
Abu Bakar berkata, “Demi Allah ini perbuatan baik”. Abu Bakar terus membicarakan itu kepadaku hingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana Allah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar. Maka aku pun mengikuti dan mengumpulkan al-Qur’an dari pelepah kurma, batu yang tipis dan dada para penghafal al-Qur’an, hingga aku dapatkan akhir surat at-Taubah bersama Abu Khuzaimah al-Anshari, aku tidak mendapatkannya bersama seorangpun selain dia. Ayat: ( لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْعُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتمُّْ ) hingga akhir surat Bara’ah (at-Taubah). Lembaran-lembaran al-Qur’an bersama Abu Bakar hingga Allah mewafatkannya. Kemudian bersama Umar selama hidupnya. Kemudian bersama Hafshah puteri Umar. (HR. al-Bukhari).
Lihatlah bagaimana kekhawatiran Zaid bin Tsabit melakukan perbuatan yang tidak dilakukan Rasulullah Saw, yaitu membukukan al-Qur’an, karena Rasulullah Saw tidak pernah melakukan dan memerintahkannya. Namun ketika Abu Bakar mampu meyakinkan Zaid bin Tsabit bahwa perbuatan itu baik dengan ucapannya, ( هُوَ وَاللََِّّ خَيْرٌ ) “Demi Allah, perbuatan ini baik”. Zaid bin Tsabit pun dapat menerima.

Bid’ah Hasanah Umar: Shalat Tarawih Berjamaah.

Ucapan Umar ketika orang banyak berkumpul melaksanakan Qiyam Ramadhan dengan satu imam di masjid. Umar keluar melihat mereka melaksanakan shalat, Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, “Jika ini adalah bid’ah, maka inilah sebaik-baik bid’ah”.
Diriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab bahwa Ubai bin Ka’ab berkata kepada Umar, “Sesungguhnya shalat Qiyam Ramadhan (Tarawih) berjamaah ini tidak pernah dilakukan sebelumnya”.
Umar menjawab, “Saya telah mengetahuinya, tapi ini baik”.
Ubai bin Ka’ab amat khawatir melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan dan diajarkan Rasulullah Saw. Namun ketika Umar dapat meyakinkan Ubai dengan ucapannya, ( قد علمت ولكنه حسن ) “Saya mengetahuinya, tapi perbuatan ini baik”. Akhirnya Ubai dapat menerima

dan ia menjadi imam shalat Tarawih berjamaah di Madina. Umar sendiri memuji, ( إن كانت هذه بدعة فنعمت البدعة ) “Jika ini perbuatan bid’ah, maka ini adalah sebaik-baik bid’ah”.

Takbir Berjamaah Pada Hari Nahr.

Sesungguhnya Umar bin al-Khaththab keluar di pagi hari Nahr (10 Dzulhijjah) ketika matahari mulai naik. Umar bertakbir, maka orang banyak pun ikut bertakbir mengikuti takbir Umar.
Kemudian Umar keluar lagi untuk yang kedua kali di hari yang sama setelah matahari naik. Umar bertakbir, orang banyak ikut bertakbir mengikuti takbir Umar.
Kemudian Umar keluar lagi untuk yang ketiga kali ketika matahari telah beralih. Umar bertakbir, maka orang banyak ikut bertakbir mengikuti takbir Umar. Hingga takbir itu bersambung dan sampai ke Baitullah. Dapatlah diketahui bahwa Umar telah keluar melontar Jumrah. (HR. Malik dalam al-Muwaththa’).

Doa Qunut Shubuh Buatan Umar.

Dari Sa’id bin Abdirrahman bin Abza, dari Bapaknya, ia berkata, “Saya shalat Shubuh di belakang Umar bin Khatthab, saya mendengar ia berkata setelah membaca ayat sebelum ruku’:

اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ ، وَلَكَ نُصَلِ ى وَنَسْجُدُ ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْعِدُ ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَ ى عَذَابَكَ ، إِنَّ عَذَابَكَ بِالْكَافِرِينَ مُلْحَقٌ
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتعَِينُكَ وَنَسْتغَْعِرُكَ ، وَنُثْنِى عَلَيْكَ الْخَيْرَ وَلاَ نَكْعُرُكَ ، وَنُيْمِنُ بِكَ وَنَخْضَاُ لَكَ ، وَنَخْلَاُ مَنْ يَكْعُرُكَ.

“Ya Allah, kepada-Mu kami menyembah. Untuk-Mu kami shalat dan sujud. Kepada-Mu kami berusaha dan beramal. Kami mengharap rahmat-Mu dan takut akan azab-Mu. Sesungguhnya azab-Mu terhadap orang-orang kafir pasti terbukti menyertai mereka.

Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan kepada-Mu dan memohon ampunan-Mu. Kami memuji-Mu atas semua kebaikan dan tidak kufur kepada-Mu. Kami beriman kepada-Mu dan tunduk kepada-Mu. Kami berlepas diri dari orang yang kufur kepada-Mu”

(Hadits ini disebutkan Imam Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Imam Abdurazzaq dalam al-Mushannaf, Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra dan kitab Ma’rifat as-Sunan wa al-Atsar dan Imam ath-Thahawi dalam Tahdzib al-Atsar).

Talbiyah Buatan Umar.

Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Talbiyah Rasulullah Saw adalah:
Aku sambut panggilan-Mu ya Allah. Panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kekuasaan milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.
Abdullah bin Umar menambahkan:

لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَل

Aku sambut panggilan-Mu, aku sambut panggilan-Mu. Kebaikan di tangan-Mu. Aku sambut panggilan-Mu. Berharap kepada-Mu, juga amal. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Bid’ah Hasanah Utsman: Azan Pertama Shalat Jum’at.

Sesungguhnya adzan pertama hari Jum’at ditambah oleh Khalifah Utsman bin ‘Affan karena hajat manusia terhadap adzan tersebut. Kemudian kaum muslimin terus mengamalkannya.

Jawaban Iqamat Buatan Utsman.

Dari Qatadah, sesungguhnya apabila Utsman mendengar mu’adzin mengumandangkan adzan, ia mengucapkan seperti ucapan pada Tasyahhud dan Takbir secara keseluruhan. Ketika mu’adzin mengucapkan: ( حَيَّ عَلَى الصَّلاَة ).
Utsman menjawab: ( مَا شَاءَ اللََُّّ ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِالَِلَّّ ).

Ketika mu’adzin mengucapkan: ( قَدْ قَامَتِ الصَّلاَة ).
Utsman menjawab: ( مَرْحَبًا بِالْقَائِلِينَ عَدْلاً وَصدقا ، وَبِالصَّلاَةِ مَرْحَبًا وَأَهْلا ).
Kemudian Utsman bangun untuk melaksanakan shalat.
(HR. Imam Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf dan Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir).

Itu Bukan Bid’ah, Tapi Sunnah Khulafa’ Rasyidin!
Jika ada yang mengatakan bahwa semua perbuatan di atas adalah Sunnah Khulafa’ Rasyidin, karena Rasulullah Saw bersabda,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَعَاءِ الرَّاشِدِينَ

“Hendaklah kalian mengikuti Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ Rasyidin”. (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Memang benar, tapi jangan lupa, semua itu tetaplah amalan berdasarkan ijtihad Khulafa’ Rasyidin, karena wahyu tidak turun kepada mereka. Andai mereka menerima wahyu yang absolut tidak terbantahkan, tentulah Zaid bin Tsabit tidak ragu mengikuti ajakan Abu Bakar untuk membukukan al-Qur’an. Tentulah pula Ubai bin Ka’ab tidak ragu mengikuti ajakan Umar untuk menjadi imam Tarawih di Madinah.

Maka perbuatan-perbuatan itu tetap masuk kategori bid’ah, tapi bid’ah hasanah.

Andai tidak setuju menggunakan kata Bid’ah, walau pun Umar mengucapkannya, pilihlah salah satu dari istilah yang dibuat oleh para ulama:

YH5BAEAAAAALAAAAAABAAEAAAIBRAA7

Kalau alergi dengan istilah Bid’ah Hasanah, saya pilih kata Bid’ah Mahmudah, mengikuti istilah Imam Syafi’i -rahimahullah- untuk menyebut suatu perbuatan yang tidak dilakukan Rasulullah Saw, tapi perbuatan itu baik menurut syariat Islam dan dilakukan oleh orang-orang shaleh setelah Rasulullah Saw:

Bid’ah Mahmudah Para Shahabat.
Berikut ini beberapa amalan yang dilakukan para Shahabat yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw, tidak pernah beliau ajarkan dan tidak pula beliau ucapkan. Tapi para shahabat melakukannya. Mereka tidak khawatir sedikit pun melakukannya, karena perbuatan itu Bid’ah Mahmudah.

Bid’ah Mahmudah Aisyah.
عن ابن أبي مليكة، أن عائشة كانت تصوم الدهر
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Malikah, sesungguhnya Aisyah melaksanakan puasa sepanjang tahun.

Bid’ah Mahmudah Abu Hurairah: 12.000 Tasbih Dalam Sehari.

Dari ‘Ikrimah, sesungguhnya Abu Hurairah bertasbih setiap hari sebanyak dua belas ribu kali tasbih.

Dua Teriakan Dalam Sehari.

Dari Maimun bin Maisarah, ia berkata, “Abu Hurairah memiliki dua teriakan setiap hari; pagi dan petang. Abu Hurairah mengatakan, ‘Malam telah pergi, siang telah datang, keluarga Fir’aun dimasukkan di dalam neraka’.
Tidak seorang pun yang mendengarnya melainkan memohon perlindungan kepada Allah Swt.

1000 Tasbih Sebelum Tidur.

Dari Abdul Wahid bin Musa, Nu’aim bin al-Muharrar bin Abi Hurairah meriwayatkan kepada kami, dari kakeknya (Abu Hurairah), sesungguhnya Abu Hurairah memiliki tali benang, pada tali benang itu ada seribu simpul. Abu Hurairah tidak tidur sebelum bertasbih menggunakan seribu simpul tali benang itu.

Bid’ah Mahmudah Abdullah bin Abbas:

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa ia memerintahkan agar menuliskan ayat al-Qur’an untuk perempuan yang sulit melahirkan, kemudian air dari tulisan itu dimandikan dan diberikan sebagai minuman bagi perempuan tersebut.

Bid’ah Mahmudah Abdullah bin az-Zubair:

Yusuf bin al-Majisyun meriwayatkan dari periwayat yang tsiqah (terpercaya) dengan sanadnya, ia berkata, “Ibnu az-Zubair membagi masa menjadi tiga malam. Satu malam ia shalat berdiri hingga shubuh. Satu malam ia ruku’ hingga shubuh. Dan satu malam ia sujud hingga shubuh”

Bid’ah Mahmudah Abu ad-Darda’: Tasbih 100.000 Kali Dalam Satu Hari:

Ditanyakan kepada Abu ad-Darda’ –ia tidak pernah berhenti berzikir-, “Berapa banyak engkau berzikir dalam sehari?”.

Abu ad-Darda’ menjawab, “Seratus ribu kali, kecuali jika jari jemari keliru”.

Bid’ah Dhalalah Shahabat.

Tapi tidak semua perbuatan shahabat itu dibenarkan. Karena mereka bukan ma’shum. Jika perbuatan mereka itu tidak bertentangan dengan Sunnah, maka diterima. Tapi jika perbuatan itu bertentangan dengan Sunnah, maka wajib ditolak dan disebut sebagai bid’ah Dhahalah, seperti yang dilakukan Marwan ibn al-Hakam membuat khutbah sebelum shalat ‘Ied. Ini ditolak karena bertentangan dengan Sunnah:

Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Rasulullah Saw keluar pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha ke tempat shalat. Perkara pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian bergeser, beliau berdiri menghadap orang banyak. Orang banyak dalam keadaan duduk pada shaf-shaf mereka. Rasulullah Saw memberikan nasihat kepada mereka, menyampaikan pesan dan memerintahkan mereka. Jika Rasulullah Saw ingin menghentikan, ia berhenti. Atau ia ingin memerintahkan sesuatu, beliau perintahkan. Kemudian Rasulullah Saw pergi.

Abu Sa’id berkata, “Kaum muslimin terus melakukan seperti itu, hingga kaum muslimin keluar bersama Marwan -ia adalah Amir kota Madinah- pada shalat Idul Adha atau Idul Fithri. Ketika kami sampai di tempat shalat, ada mimbar yang dibuat Katsir bin ash-Shalat. Marwan ingin naik ke atas mimbar sebelum shalat, maka saya menarik pakaiannya, ia balas menarik, kemudian ia naik dan menyampaikan khutbah sebelum shalat ‘Ied. Saya katakan kepadanya, “Demi Allah kalian telah merubah”.

Marwan berkata, “Wahai Abu Sa’id, apa yang engkau ketahui telah berlalu”.

Saya jawab, “Demi Allah, apa yang aku ketahui lebih baik daripada apa yang tidak aku ketahui”.

Marwan berkata, “Sesungguhnya orang banyak tidak akan duduk bersama kami setelah shalat, maka saya buat khutbah sebelum shalat ‘Ied”. (HR. al-Bukhari).

Komentar al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani,

Dalam riwayat ini terkandung pengingkaran ulama terhadap para pemimpin (umara’) jika mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Sunnah.

Bid’ah Mahmudah Golongan Salaf (Tiga Abad Pertama Hijrah):
Bid’ah Mahmudah Imam Zainal ‘Abidin: Shalat 1000 Rakaat Sehari Semalam.

Imam Zainal Abidin melaksanakan shalat sehari semalam sebanyak seribu rakaat hingga ia wafat. Ia disebut Zain al-‘Abidin (perhiasan para ahli ibadah), karena ibadahnya.
Siapa Imam Zainal ‘Abidin?
Imam adz-Dzahabi memperkenalkannya,

Beliau adalah Ali bin al-Husain bin Imam Ali bin Abi Thalib bin Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf. Bergelar Zain al-‘Abidin, al-Hasyimi (keturunan Bani Hasyim), al-‘Alawy (keturunan Ali), al-Madani (lahir dan besar di Madinah). Kun-yah panggilan Abu al-Husain. Juga disebut Abu al-Hasan. Juga disebut Abu Muhamad. Juga disebut Abu Abdillah. Ibunya adalah sahaya bernama Salamah binti Sulafah puteri Raja Persia bernama Yazdajard. Ada juga menyebut namanya Ghazzalah.
Ia lahir pada tahun 38 Hijrah, perkiraan.
Ia meriwayatkan hadits dari al-Husain ayahnya yang mati syahid.
Ia bersama dengan al-Husain pada peristiwa Karbala’, saat itu ia berusia 23 tahun.

Bid’ah Mahmudah Imam Ali bin Abdillah bin Abbas (Anak Abdullah bin Abbas): 1000 Kali Sujud Dalam Sehari.

Diriwayatkan dari Imam al-Auza’i dan ulama lainnya bahwa Ali bin Abdillah bin Abbas shalat satu hari 1000 kali sujud.

Siapa Imam Ali bin Abdillah bin Abbas?
Imam adz-Dzahabi memperkenalkan,

Beliau adalah Imam Ali bin Abdillah bin Abbas bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf. Seorang imam. Ahli ibadah. Disebut Abu Muhammad. Al-Hasyimi (keturunan Bani Hasyim). Al-Madani (berasal dari Madinah). As-Sajjad (ahli sujud/ibadah). Dilahirkan pada tahun terbunuhnya Imam Ali bin Abi Thalib, lalu ia diberi nama dengan nama Imam Ali.
Ia meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abbas ayah kandungnya. Ia juga meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abu Sa’id al-Khudri dan para shahabat lainnya.

Bid’ah Mahmudah Baqi bin Makhlad: Khatam al-Qur’an Setiap Malam, Shalat Siang 100 Rakaat, Puasa Setiap Hari.

Baqi bin Makhlad mengkhatamkan al-Qur’an setiap malam dalam shalat 13 rakaat. Shalat seratus raaat di siang hari dan puasa sepanjang tahun93.
Siapa Baqi bin Makhlad?
Imam adz-Dzahabi memperkenalkan:

Baqi bin Makhlad. Ibnu Yazid, seorang imam, seorang tauladan, bergelar Syaikhul Islam. Abu Abdirrahman, orang Andalusia, dari Cordova. Seorang al-Hafizh. Penulis kitab Tafsir dan al-Musnad (kitab hadits) yang tidak ada tandingannya. Lahir pada batas tahun dua ratus, atau sedikit sebelum itu94. Ini menunjukkan bahwa Imam Baqi bin Makhlad masih tergolong kalangan Salaf (tiga abad pertama Hijrah).

Bid’ah Mahmudah Imam Ahmad bin Hanbal: 300 Rakaat Sehari Semalam.

Abdullah putra Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Ayah saya melaksanakan shalat sehari semalam sebanyak tiga ratus rakaat. Ketika ia sakit disebabkan cambukan (karena fitnah khalq al-Qur’an), membuatnya lemah, ia shalat sehari semalam sebanyak seratus lima puluh rakaat”

Berdoa Untuk Imam Syafi’i Dalam Shalat Selama 40 Tahun.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku mendoakan Imam Syafi’i dalam shalatku sejak empat puluh tahun”.

Imam Ahmad bin Hanbal mengucapkan doa, “Ya Allah, ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris asy-Syafi’i”.

Bid’ah Mahmudah Sebagian Kalangan Salaf: Meminum Air Tulisan Ayat al-Qur’an.

Sekelompok kalangan Salaf berpendapat, ayat-ayat dari al-Qur’an dituliskan, kemudian airnya diminum. Imam Mujahid berkata, “Boleh hukumnya menuliskan ayat al-Qur’an, airnya dimandikan, diberikan kepada orang yang sakit”. Riwayat yang sama dari Abu Qilabah”.

Bid’ah Mahmudah Kalangan Khalaf (Setelah Tiga Abad Pertama Hijrah):
Bid’ah Mahmudah Imam Ibnu Taimiah (661 – 728H).
Imam Ibnu Taimiah berkata,

Siapa yang mengamalkan empat puluh kali setiap hari antara shalat Sunnat Fajar dan Shalat Shubuh,

ياحي ياقيوم لاإله إلا أنت برحمتك أستغيث

“Wahai Yang Maha Hidup, wahai Yang Maha Mengatur. Tidak ada tuhan selain Engkau. Dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan”.
Maka ia mendapatkan kehidupan hati. Hatinya tidak akan mati99.
Jelas Rasulullah Saw tidak pernah mengajarkan doa ini, apalagi dengan jumlah tertentu, pada waktu tertentu dengan keutamaan tertentu. Ini adalah doa buatan Imam Ibnu Taimiah.

Kebiasaan Imam Ibnu Taimiah:

Ketika selesaih melaksanakan shalat, Imam Ibnu Taimiah memuji Allah ‘Azza wa Jalla, ia dan orang-orang yang hadir, mengucapkan seperti yang disebutkan dalam hadits, ( اللهم انت السلام ومنك
السلام تباركت يا ذا الجلال والاكرام )

“Engkaulah Maha Keselamatan, dari Engkau keselamatan, Maha Suci Engkau wahai Yang Memiliki kemuliaan dan keagungan”.

Kemudian Imam Ibnu Taimiah menghadap ke arah jamaah.

Kemudian beliau membaca Tahlil yang ada dalam hadits.

Kemudian bertasbih, tahmid dan takbir 33 kali.

Beliau sempurnakan 100 dengan Tahlil, sebagaimana yang terdapat dalam hadits. Demikian juga dengan para jamaah.

Kemudian Imam Ibnu Taimiah berdoa kepada Allah Swt untuk dirinya dan untuk kaum muslimin, seperti doa-doa yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits.

Bid’ah Mahmudah Syekh Abdul Aziz bin Baz Mufti Saudi Arabia:
Doa Pengusir Sihir Buatan Syekh Abdul Aziz bin Baz.
Syekh Abdul Aziz bin Baz mengajarkan doa menjaga diri agar selamat dari gangguan jin dan sihir,

Diantara sebab-sebab keselamatan juga adalah membaca surat al-Ikhlas, surat al-Falaq dan surat an-Nas setiap selesai shalat. Ini merupakan bagian dari sebab-sebab keselamatan. Dan setelah shalat Shubuh dan shalat Maghrib membaca surat al-Ikhlas, surat al-Falaq dan surat an-Nas sebanyak tiga kali101.
Memang ada hadits riwayat ‘Uqbah bin ‘Amir dalam Sunan at-Tirmidzi menyatakan membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas seteleh selesai shalat, tapi sebagai bacaan zikir selesai shalat, tidak disebutkan sebagai tangkal sihir.
Memang ada hadits riwayat Abdullah bin Khubaib dalan Sunan at-Tirmidzi memerintahkan membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas. Tapi sebagai bacaan pagi dan petang.
Adapun mengkhususkan bacaan setelah shalat Shubuh dan shalat Maghrib dengan tujuan tertentu, tidak disebutkan dalam hadits. Dengan demikian, maka ini buatan Syekh Abdullah Aziz bin Baz.

Bid’ah Mahmudah di Masjidil-Haram dan Masjid-Masjid di Saudi Arabia Sampai Saat Ini:

Doa Khatam Qur’an Dalam Shalat Tarawih.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sampai saat ini setiap malam imam Masjidil-haram membaca satu juz al-Qur’an dalam shalat Tarawih. Ketika selesai juz 30, sebelum ruku’ imam membaca doa khatam al-Qur’an. Ini disebutkan Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi:

Pasal: Tentang Khatam al-Qur’an.

Al-Fadhl bin Ziyad berkata, “Saya bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal), saya katakan, “Jika saya khatam al-Qur’an. Saya lakukan pada shalat Witir atau pada shalat Tarawih?”.

Imam Ahmad bin Hanbal menjawab, “Lakukanlah dalam shalat Tarawih, agar kita mendapatkan doa dalam dua shalat tersebut (Tarawih dan Witir)”.Saya katakan, “Bagaimanakah saya melakukannya?”.

Imam Ahmad menjawab, “Apabila engkau selesai membaca akhir al-Qur’an. Angkatlah kedua tanganmu sebelum engkau ruku’. Berdoalah untuk kita ketika kita dalam shalat. Lamakanlah tegak”.

Saya katakan, “Apakah doa yang saya ucapkan?”.

Imam Ahmad menjawab, “Apa saja yang engkau inginkan”.

Saya pun melakukan apa yang diperintahkan Imam Ahmad bin Hanbal. Ia berada di belakang saya berdoa dalam keadaan berdiri, ia mengangkat kedua tangannya.

Hanbal berkata, “Saya mendengar Imam Ahmad berkata tentang khatam al-Qur’an, “Apabila engkau selesai membaca surat an-Nas, maka angkatlah kedua tanganmu dalam berdoa sebelum ruku’.”

Saya katakan, “Kepada pendapat manakah engkau berpegang dalam masalah ini?”. Ia menjawab, “Saya telah melihat penduduk Mekah melakukanya. Imam Sufyan bin ‘Uyainah melakukannya bersama mereka di Mekah”.

Al-‘Abbas bin ‘Abd al-‘Azhim berkata, “Demikian juga kami dapati orang-orang melakukannya di Bashrah (Irak) dan di Mekah”.

Penduduk Madinah meriwayatkan sesuatu tentang ini, disebutkan dari Utsman bin ‘Affan.

Pendapat Syekh Ibnu Baz:
Doa Khatam Qur’an Dalam Shalat Tarawih.

Hukum Doa Khatam al-Qur’an Dalam Shalat.
Pertanyaan: Sebagian orang mengingkari para imam masjid yang membaca doa khatam Qur’an di akhir bulan Ramadhan, mereka mengatakan bahwa tidak shahih ada kalangan Salaf melakukannya. Apakah itu benar?

Jawaban: Tidak mengapa melakukan itu (boleh). Karena perbuatan itu benar dari sebagian kalangan Salaf melakukan itu. Karena doa itu adalah doa yang ada sebabnya di dalam shalat, maka tercakup dalil-dalil yang bersifat umum tentang doa dalam shalat, seperti doa Qunut dalam shalat Witir dan bencana-bencana. Wallahu Waliyyu at-Taufiq.

Standar Penetapan Bid’ah Dhalalah.

Jika tidak diberi batasan, semua orang akan membuat-buat ibadah dan menyatakannya sebagai bid’ah hasanah, maka perlu menetapkan standar, jika tidak maka dikhawatirkan ummat akan terjerumus ke dalam perbuatan bid’ah. Suatu perkara dapat disebut Bid’ah Dhalalah jika termasuk dalam beberapa poin berikut:
Pertama, keyakinan batil yang berkaitan dengan dasar-dasar agama Islam. Misalnya menyerupakan Allah dengan makhluk. Mengatakan Allah duduk bersemayam di atas ‘Arsy seperti manusia duduk di atas kursi. Atau menyatakan bersatu dengan tuhan, seperti keyakinan Pantheisme, atau Manunggaling Kawula Gusti. Atau menyembah Allah Swt, namun menghadapkan diri beribadah kepada selain Allah Swt. Atau mengatakan al-Qur’an tidak lengkap. Mengingkari takdir. Mengkafirkan sesama muslim. Mencaci maki shahabat nabi. Menyatakan selain nabi itu ma’shum. Pernyataan bahwa agama Islam tidak relevan dengan zaman. Dan semua keyakinan yang dibuat-buat yang menyebabkan orang meyakininya disebut sebagai kafir.
Kedua, merubah bentuk ibadah yang telah disyariatkan, seperti menambah atau mengurangi. Misalnya menambah rakaat shalat wajib. Mengurangi takaran zakat Fitrah. Mengurangi jumlah sujud dalam shalat. Mengganti surat al-Fatihah dengan surat lain. Merubah lafaz azan. Membuat sujud sebelum ruku’.
Ketiga, merubah waktu ibadah, seperti shalat Shubuh jam sembilan pagi. Atau puasa setengah hari. Atau merubah tempat ibadah, seperti thawaf di bukit keramat. Thawaf di kuburan dan sebagainya.
Keempat, meyakini ada suatu keutamaan pada suatu ibadah yang dilakukan dengan cara khusus, tanpa ada dalil syar’i. Misalnya, berpuasa dengan menjemur diri di panas akan mendatangkan keutamaan ini dan ini. Berpuasa selama empat puluh hari akan mendapat ini dan ini. Atau shalat dengan pakaian tertentu akan mendapatkan keutamaan tertentu. Atau diam pada hari senin akan mendapatkan keutamaan khusus.
Kelima, menyatakan keutamaan khusus pada waktu tertentu, atau tempat tertentu, atau orang tertentu, atau zikir tertentu, atau surat tertentu, tanpa ada dalil syar’i. Seperti menyatakan ada keutamaan pada malam 12 Rabi’ul-Awal. Atau keutamaan zikir yang dibuat oleh orang tertentu.

Keenam, membuat ibadah khusus, dengan cara tertentu, dengan jumlah tertentu, dengan keutamaan tertentu. Misalnya, shalat 100 rakaat, pada malam maulid nabi, akan mendapatkan anu dan anu.
Ketujuh, berkumpul melakukan suatu ibadah, pada waktu tertentu dan tempat tertentu dengan keyakinan ada balasan tertentu terhadap perbuatan tersebut. Adapun berkumpul di masjid pada malam Maulid Nabi Muhammad Saw, dengan mendengarkan bacaan al-Qur’an dan ceramah agama seputar sejarah Nabi Muhammad Saw. Atau pada malam tahun baru Hijrah sebagai muhasabah diri, sangat dianjurkan untuk memanfaatkan momen tertentu dalam membahas masalah tertentu.
Kedelapan, membuat batasan tertentu dalam takaran, jarak, jumlah bilangan, waktu, yang telah ditetapkan syariat Islam. Seperti berat nishab zakat, jarak Qashar shalat, jumlah bilangan kafarat, jumlah batu melontar jumrah, jumlah putaran thawaf dan sa’i.
Kesembilan, semua perkara yang dibuat-buat, tanpa ada dalil dari syariat Islam, apakah dalil itu nash (teks), atau pemahaman terhadap nash, atau secara terperinci dalam dalil, atau dalilnya global bersifat umum, maka itu adalah bid’ah dhalalah. Jika terangkum dalam dalil, apakah dalil itu nash (teks), atau pemahaman terhadap nash, atau secara terperinci dalam dalil, atau dalilnya global bersifat umum, maka itu adalah Sunnah Hasanah. Ketika terjadi ikhtilaf antara dalil-dalil, maka dalil yang bersifat nash lebih didahulukan daripada dalil yang bersifat ijmaly (global). Dalil khusus lebih didahulukan daripada dalil yang bersifat umum. Dalil yang disebutkan secara nash lebih didahulukan daripada dalil pemahaman terhadap nash. Dengan demikian maka pintu ijtihad tetap terbuka bagi para ulama.

Andai Imam Syafi’i Tidak Membagi Bid’ah.
Imam Ibnu Taimiah merutinkan membaca al-Fatihah dari setelah shalat Shubuh hingga terbit matahari, padahal Rasulullah Saw tidak pernah mengajarkan dan melakukannya. Syekh Abdul Aziz bin Baz mengajarkan ramuan tangkal sihir, padahal Rasulullah Saw tidak membuat dan mengajarkannya. Syekh Ibnu ‘Utsaimin mengajarkan shalat sunnat Tahyatal-masjid di tanah lapang tempat shalat ‘Ied, padahal Rasulullah Saw tidak pernah melakukan dan mengajarkannya. Para imam masjid di Saudi Arabia membaca doa khatam al-Qur’an dalam shalat Tarawih di akhir Ramadhan, padahal Rasulullah Saw tidak pernah mengajarkannya, apalagi melakukannya. Andai Anda masih juga berpegang pada kaedah, “Setiap yang tidak dilakukan Rasulullah Saw, maka haram”. Maka Ibnu Taimiah, Syekh Ibnu Baz, Syekh Ibnu Utsaimin dan para imam Saudi Arabia, semuanya telah melakukan perbuatan haram.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: